Panti Asuhan Bhakti Luhur Donomulyo, Malang

0
0 views
Suster ALMA dari Panti Asuhan Bhakti Luhur Donomulya, Malang, memberi penjelasan kepada para pengunjung. (Laurensius Suryono)

SANGAT mudah mencari alamat Panti Asuhan Bhakti Luhur Donomulyo (PA Bhakti Luhur) di Kabupaten Malang, jika menggunakan bantuan Google Maps.

Namun, dalam jarak sekitar 60 km dari Kota Malang, akan cukup sulit dijangkau dengan kendaraan umum karena harus berganti-ganti angkutan dan akan memakan waktu lama.

Cara paling tepat adalah menggunakan kendaraan pribadi atau sewaan; bisa juga menggunakan bus jika berombongan.

Pada pagi menjelang siang hari libur nasional Waisak, 12 Mei 2025, setidaknya ada dua rombongan dari Kota Malang yang mengunjungi PA Bhakti Luhur ini.

  • Satu rombongan datang dengan dua bus ukuran sedang dari Paroki Santa Maria Diangkat ke Surga, Demako.
  • Satu rombongan lagi datang dengan satu mobil Hiace dari Bidang Kesaksian Paroki Katedral Malang.
Anak-anak yang kini diasuh dan dirawat oleh para Suster ALMA di Panti Asuhan Bhakti Luhur Donomulyo, Malang. (Laurensius Suryono)

Tahun Yubelium 2025

Kunjungan ini dilakukan dalam rangka menyambut Tahun Yubileum 2025, di mana salah satu kegiatan yang dianjurkan adalah mengunjungi panti asuhan. PA Bhakti Luhur ini letaknya tidak jauh dari Porta Sancta di Gua Maria Purwaningsih, Paroki Purworejo Donomulyo, Keuskupan Malang.

Saat ini PA Bhakti Luhur dihuni oleh delapan orang wanita remaja–dewasa yang berkebutuhan khusus dan satu bayi sehat berusia 10 bulan. Mereka diasuh oleh dua orang Suster Kongregasi ALMA dan dibantu oleh lima perawat. Seluruhnya tinggal dalam satu bangunan rumah yang sama.

Merawat para penghuni panti memang merupakan tindakan amal kasih yang luar biasa – melayani mereka selama 24 jam sehari, dari pagi hingga pagi berikutnya tanpa henti.

PA Bhakti Luhur Donomulyo, Malang: penampakan bangunan kamar baru untuk remaja laki-laki. (Laurensius Suryono)

Ketika ditanyakan, “Apakah ada konsekuensi dari merawat dan melayani mereka ini?”

“Ya, pastilah. Setidaknya kami harus memberi mereka makan tiga kali sehari. Kalau ada yang sakit, kami juga harus mengantar ke puskesmas atau rumah sakit, belum lagi kebutuhan harian lainnya,” jawab Sr. Eliz ALMA.

Di hadapan para tamu, penulis mencoba menghitung kebutuhan konsumsi harian mereka.

Jika dalam sehari setiap anak makan tiga kali dengan biaya setiap kali makan Rp10.000, maka kebutuhan bulanan adalah:
8×3×30× Rp10.000= Rp7.200.000 (tujuh juta dua ratus ribu rupiah).

“Nah, itulah, dan itu belum termasuk konsumsi untuk para perawat,” jawab Sr. Eliz cepat.

“Kami memang punya lahan yang ditanami sayur-sayuran untuk konsumsi harian. Kami juga menanam ketela pohon dan pisang, jadi para perawat -selain merawat anak-anak- juga berkebun,” tambahnya.

Mengajak para penghuni Panti Asuhan Bhakti Luhur Donomulyo, Malang, bernyanyi bersama. (:aurensius Suryono)

Hasil panen ketela pohon dan pisang oleh suster diolah menjadi keripik, dikemas dalam plastik, dan dijual seharga Rp10.000 per bungkus.

“Tapi kami kesulitan memasarkan keripik itu. Bahkan di sekitar Donomulyo pun sulit, karena tidak ada informasi pada produk, misalnya masa kedaluwarsa, tidak ada tanda ‘halal’, apalagi izin dari BPOM. Kami juga belum punya merek dagang,” kata Sr. Eliz ALMA.

“Makanya harapan kami, para tamu yang berkunjung bisa membelinya. Beberapa juga kami tawarkan ke Kota Malang lewat jalur pertemanan,” imbuhnya.

Proses membuat keripik juga tidak mudah. Pernah gagal karena hasilnya tidak ‘kriuk’. Maka, Sr. Eliz menyuruh mereka belajar dari orang yang sudah berpengalaman dalam mengolah, menggoreng, dan mengemas keripik.

Ketua Bidang Kesaksian mohon pamit kepada Sr. Elis ALMA, Ketua Panti Asuhan Bhakti Luhur Donomulyo, Malang, (Laurensius Suryono)

Ia juga menyampaikan bahwa anak-anak panti ini tidak memiliki dokumen kependudukan seperti Nomor Induk Kependudukan (NIK). Mereka diserahkan oleh orangtua mereka begitu saja, tanpa akta kelahiran.

“Untuk mengurus NIK harus ada akta kelahiran dan akta perkawinan orangtuanya. Dokumen-dokumen ini penting untuk keperluan administratif, baik dengan Dinas Sosial maupun untuk mengurus BPJS Kesehatan kalau mereka sakit,” jelas Sr. Eliz.

Di sebelah barat rumah induk PA Bhakti Luhur ada sebuah bangunan dengan dua kamar yang tampak sudah beberapa waktu tidak dilanjutkan pembangunannya – kemungkinan karena kendala biaya. Ketika ditanyakan fungsinya: “Itu untuk perawat laki-laki. Mereka dulunya juga anak panti, sekarang sudah menjelang remaja. Maka kami buatkan kamar tidur terpisah agar tidak bercampur dengan yang perempuan,” jawab suster.

Menjelang akhir kunjungan, kami membaur dengan anak-anak panti dan para perawat, lalu mengajak mereka bernyanyi bersama lagu Hidup Ini Adalah Kesempatan: “Hidup ini adalah kesempatan, hidup ini untuk melayani Tuhan…

Suster pun berpesan, “Silakan berkunjung lagi. Mereka, anak-anak ini, senang kalau melihat wajah-wajah baru yang datang.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here