Perjalanan Menantang di Paroki Tumbang Titi, Keuskupan Ketapang, Kalbar (1)

0
391 views
Ilustrasi: Perjalanan Menantang di Paroki Tumbang Titi, Keuskupan Ketapang, Kalbar.

SAYA sangat bersyukur atas penyertaan Tuhan Yesus Kristus yang sungguh amat sangat baik di dalam merencanakan hal-hal baik yang terjadi di dalam hidup saya. Khususnya keputusan untuk pengutusan melaksanakan pengenalan pastoral di Paroki St. Paulus Rasul Tumbang Titi, Keuskupan Ketapang.

Banyak hal yang terjadi -baik suka dan duka- yang saya alami; khususnya selama menjalani pengenalan pastoral di Paroki Tumbang Titi ini.

Namun itu semua sangat saya syukuri. Sebab tanpa suka duka itu, saya tidak akan bisa merasakan sukacita yang sempurna selama saya menjalani proses ini.

Saya merasakan sukacita besar sejak dikeluarkannya SK penugasan dari Rektor Seminari Tahun Orientasi Rohani (TOR) St. Laurensius Ketapang Romo Andreas Budi Setyosambodo yang mengutus saya ke Paroki St. Paulus Rasul Tumbang Titi ini.

Saya tidak terlalu memikirkan apa yang akan terjadi, apa yang akan saya alami, saya hanya merasa bersyukur bisa ditempatkan di daerah yang belum pernah sama sekali saya kunjungi.

Kondisi jalan pasca hujan di kawasan luar kota Ketapang selalu ditandai dengan banyak kubangan berisi bubur lumpur. Inilah kondisi medan pelayanan di wilayah pastoral Keuskupan Ketapang.

Dan tentu, semangat belajar saya akan reksa pastoral, kebudayaan dan pelayanan di pastoran menggugah diri saya untuk semakin membuka pikiran pada pembelajaran langsung yang akan saya terima.

Di awal pengutusan, saya ditempatkan pada sebuah pastoran yang sangat menarik bagi saya, bangunan terbuat dari kayu, bergaya klasik seperti rumah Panembahan zaman dahulu dan sangat nyaman untuk ditempati.

Apalagi saya akan tinggal bersama dengan dua sosok imam yang saya kagumi yaitu Romo Bonifasius Ubin dan Romo Fransisco El Tara yang sangat ramah menerima saya sebagai pelajar yang baik di pastoran.

Saya tidak khawatir pada apa yang ada, untuk mencuci, untuk mandi dan perlengkapan, makan selalu teratur selama tiga kali sehari, segala hal yang saya butuhkan sudah tersedia.

Saya sangat bersyukur untuk segala hal yang sudah saya terima selama dua bulan ini.

Saya juga mendapatkan banyak teman, sahabat, umat yang sangat baik, para penasehat dan rekan di pastoran. Khususnya Romo Ubin dan Romo El Tara yang senantiasa memberikan saya masukan dan pelajaran yang berharga selama saya melaksanakan pembelajaran.

Terkadang ada kritik dan juga ada saran, semuanya itu diutarakan kendati untuk membuat saya semakin berkembang dan semakin maju.

Baik Romo Ubin dan Romo El Tara tidak pernah mengabaikan saya.

Ini saya anggap sebagai perhatian akan diri saya, karena segala masukan yang saya dapatkan dari keduanya sangat amat membantu saya dalam menjalankan tugas-tugas saya di Paroki St. Paulus Rasul Tumbang Titi ini.

Setiap tugas yang didelegasikan, saya kerjakan dengan sebaik mungkin. Pertama-tama mendengarkan saran dari keduanya agar saya tidak salah mengambil keputusan, diskusi dalam menafsirkan perikop, dan lain sebagainya.

Melalui nasihat-nasihat beliau berdua, saya mendapatkan pelajaran berharga untuk lebih banyak mendengarkan daripada berbicara serta menjadi lebih rendah hati.

Sukacita dan dukacita

Selain sukacita, saya juga tentu merasakan dukacita pada saat melaksanakan tugas pastoral dan semua itu saya terima dengan lapang dada sebagai pembelajaran untuk semakin lebih baik.

Saat perjalanan turne, misalnya, saya merasakan berkali-kali jatuh bangun saat mengendarai kendaraan motor. Bahkan karena jatuh tersebut, motor saya mengalami kerusakan di bagian depan.

Saya merasa sedih dan menyesal karena jatuh, namun Romo El Tara senantiasa menasehati saya untuk tidak khawatir akan hal tersebut, yang paling penting saya baik-baik saja.

Ibadat pemakaman Bapak Andreas Supawi.
Bersama koor Stasi Kelampai di Jungkal.
Foto bersama OMK Kelampai.
Latihan koor di Sebauk.

Saya juga merasakan kesedihan setiap kali menghadiri ibadat kematian yang dipimpin baik oleh Romo Ubin maupun Romo El Tara. Saya merasakan kesedihan dari hati keluarga yang ditinggalkan.

Betapa tidak mudah meyakinkan umat bahwa kematian kekal adalah hal yang membahagiakan. Betapa sulit untuk berbahagia ketika kenangan-kenangan masih tersirat begitu jelas.

Namun, saya merefleksikan ini sebagai air mata duka yang manusiawi dan wajar dirasakan oleh setiap orang.

Pada iman yang sejati, umat melalui sang waktu akan memahami bahwa cinta kasih Allah pada orang yang meninggal dunia dinyatakan di dalam Kristus yang bangkit dari antara orang mati sebagai yang sulung.

Dan bagi mereka yang meninggal ini karena pembabtisannya, ia menjadi serupa dengan Kristus, mati untuk hidup kekal. Kejadian sedih yang saya rasakan berkisar di lingkaran kejadian kematian di mana orang menangis dan meratap kepergian orang-orang yang mereka kasihi. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here