ATMOSFIR gelombang sukacita dan kebanggaan tengah melingkupi umat Katolik di Papua Nugini (PNG).
Hari Minggu, 19 Oktober mendatang, Paus Leo XIV akan mengangkat Beato Peter (Petrus) To Rot menjadi Orang Kudus dengan predikat Santo dalam ekaristi Hari Minggu Misi Sedunia di Basilika Santo Petrus, Roma.
Kanonisasi ini menjadi peristiwa bersejarah – menandai pengakuan resmi atas santo pertama dari tanah Papua Nugini.
Lebih dari dua juta umat Katolik di negara kepulauan itu kini menantikan momen ini dengan penuh haru. Di berbagai paroki, misa syukur dan Doa Novena digelar untuk menghormati sang martir yang mati dibunuh tentara penjajahan Jepang demi mempertahankan kesucian perkawinan dan imannya kepada Kristus.
Puncak ziarah iman di Roma
Atmosfer kebanggaan nasional juga akan terasa di Roma. Menurut Pastor Tomas Ravaioli IVE, wakil postulator untuk proses kanonisasi To Rot, empat anggota keluarga martir itu akan berperan langsung dalam perayaan misa kanonisasi – tiga orang dalam bagian persembahan dan satu orang dalam doa umat.
“Sekitar seratus peziarah dari berbagai paroki di Papua Nugini akan hadir di Roma akhir pekan ini,” ujar Jimmy Son dari Konferensi Waligereja Papua Nugini dan Kepulauan Solomon.
Rangkaian acara untuk rombongan peziarah meliputi vigil doa pada Sabtu malam, Misa syukur pada Senin, dan audiensi khusus bersama Paus Leo XIV pada Senin pagi pukul 11.00.

Teladan iman di tengah adat dan tantangan budaya
Peter To Rot lahir tahun 1916 di Rakunai, New Britain, sebagai anak seorang kepala suku. Ia menempuh pendidikan di sekolah katekis dan menikah dengan Paula la Varpit tahun1936, membangun keluarga yang menjadi teladan kesetiaan Kristiani.
Ketika tentara kolonial Jepang menduduki wilayah itu pada masa Perang Dunia II dan kemudian memenjarakan para misionaris asing, To Rot tetap tampil ke muka memimpin umatnya. “Jika tidak ada imam, maka katekislah yang harus menjadi gembala yang baik bagi domba Kristus,” katanya suatu kali.
Ia membaptis umat, memberkati perkawinan, memimpin doa, bahkan membangun kapel kayu sederhana. Diam-diam, ia membawa Sakramen Mahakudus dari tempat persembunyian seorang imam untuk diberikan kepada orang sakit dan sekarat – sebuah tindakan yang mempertaruhkan nyawanya sendiri.
Martir demi martabat Sakramen Perkawinan
Keteguhan imannya diuji, ketika tentara Jepang berusaha menghidupkan kembali praktik poligami di masyarakat.
To Rot menolak tunduk dan menegaskan bahwa kesetiaan dalam perkawinan merupakan panggilan suci dari Tuhan. “Saya tidak akan pernah berhenti berbicara kepada umat Kristiani tentang martabat dan makna sakral dari Sakramen Perkawinan,” tegasnya.
Ketika isterinya, Paula, merasa takut, To Rot menjawab dengan iman teguh: “Jika saya harus mati, biarlah – demi hadirnya Kerajaan Allah di antara umat kita.”
Ucapan itu menjadi semacam “nubuat”. To Rot akhirnya memang ditangkap, dipenjara, lalu dibunuh pada Juni 1945 – konon ia disuntik racun dan dicekik hingga meninggal.
Kepolisian Jepang menuduhnya “menentang peraturan baru” karena melarang poligami di kalangan umatnya.
Warisan rohani yang hidup
Kematian Peter To Rot tidak memadamkan imannya – justru menyalakan api panggilan baru.
Desa kelahirannya kini telah melahirkan sedikitnya dua belas imam dan biarawan-biarawati. Kisah hidupnya bahkan menjadi bagian dari kurikulum Christian Living untuk siswa sekolah menengah di Papua Nugini.
Pastor Ambrose Pereira SDB, imam Paroki Sabama, menilai kesaksian To Rot relevan bagi generasi muda masa kini. “Peter To Rot adalah teladan untuk hidup dan mati demi iman Katolik,” ujarnya.
“Ia menyadari bahwa imannya lebih luhur daripada adat sukunya. Pesan ini penting bagi anak muda Papua yang kerap beralasan, kastom blo mi -inilah adat kami.”
Pastor Pereira juga mengajak umat untuk memohon doa melalui perantaraan santo baru ini. “Mohon doakan agar rumah dan keluarga kami diberkati dengan damai, dan agar kami memperoleh sebidang tanah yang baik melalui doa St. Peter To Rot,” katanya kepada LiCAS News.
Santo Papua untuk dunia
Kanonisasi Peter To Rot bukan hanya tonggak sejarah bagi Gereja di Papua Nugini, tetapi juga bagi seluruh Gereja Katolik dunia.
Sosok sederhana, suami setia, dan katekis berani ini menjadi saksi bahwa kekudusan bukan hanya milik imam atau biarawan, tetapi juga milik umat awam yang berani setia hingga akhir.
Melalui pengangkatannya menjadi santo, Gereja universal kini memiliki seorang martir baru dari kawasan Pasifik – seorang saksi iman yang mengajarkan bahwa kesetiaan pada Kristus dan keluarga adalah bentuk kasih yang paling sempurna.
“Jika saya harus mati, biarlah – demi Kerajaan Allah di antara umat kita.”
Santo Peter To Rot (1916–1945)
PS: Sumber Licas.News