Bacaan I: Yer. 14: 17-2
Injil: Mat. 13: 36-43
DALAM sebuah kesempatan mendampingi retret anak-anak SMU, pagi itu saya meminta peserta untuk mencari barang-barang yang ada di sekitar mereka yang melambangkan siapa diri mereka. Semua peserta mencari barang, ada yang membawa bunga, pensil, air dan lain-lain.
Setelah semua mendapatkan barang yang menjadi simbol dirinya, mereka sharing tentang simbolnya.
Ada satu simbol yang dibawa peserta seketika menyedot perhatian saya. Dia membawa sebuah pot dengan tanaman yang sudah kering, tinggal batang sudah tidak ada daunnya lagi. Tanah dalam pot kering kerontang, kiranya pot dan tanaman itu memang sudah dibuang tidak dipelihara lagi.
Ketika giliran anak itu sharing, dia hanya mengatakan ini simbol saya, dan kemudian diam tidak mengucapkan apa-apa lagi. Dia diam terpaku, tatapan wajah kosong. Sesaat saya menunggu, kalau-kalau dia akan melanjutkan sharing-nya. Selama kurang lebih 10 menit dia tetap diam terpaku, semua peserta hening menunggu.
Ketika saya sapa dia, apakah sudah cukup, dia mengangguk dan kembali ke tempat duduk.
Saat istirahat siang, saya ajak anak itu untuk ngobrol. Saya mulai dengan tanya tentang kesehatan, tentang harapannya ikut retret ini. Kemudian saya bertanya tentang simbol dirinya. Mengapa dia memilih simbol itu. Dia menangis, bibir bergetar tetapi tidak mengeluarkan satu katapun.
Saya diam menemani. Setelah menjadi tenang, dia mulai bercerita.
“Romo, simbol itu melambangkan diri saya sesungguhnya. Saya seperti tanaman yang kering karena tanahnya gersang tidak ada air. Saya ini seperti tanaman itu yang sudah dibuang, dan tidak diurus lagi. Pot itu saya temukan di antara tumpukan sampah dan brangkal di belakang sana. Sudah dibuang dan tidak dibutuhkan lagi.
Romo, sejak kelas 5 SD saya tinggal dengan nenek. Papa dan mama sudah bercerai. Papa sudah punya isteri lagi dan punya dua anak; mama juga sudah punya suami lagi dan punya tiga anak. Papa dan mama masih membiayai hidup saya, bahkan apa pun yang saya minta pasti akan diberi. Tetapi sering kali saya merasa bukan itu yang saya butuhkan. Saya gak tahu ya Mo, sering saya merasa pengin dipeluk papa, dipeluk mama, bahkan saya pengin dimarahi oleh mereka, tapi itu tidak pernah terjadi.
Romo, saya sering iri dengan anak-anak papa dan anak-anak mama, mereka punya papa dan mama, mereka bisa pergi bareng, foto-foto bareng, sedangkan saya? Saya memang ada nenek tetapi saya kasihan dengan nenek. Nenek dari pukul 06.30 sudah buka toko grosir sampai nanti pukul 5 sore. Saya tahu nenek pasti capek.
Romo, sering saya merasa sebagai anak yang paling menderita, saya sering bertanya kenapa tidak ada orang yang mencintai saya, kenapa saya seperti disingkirkan? Kadang saya merasa kenapa saya tidak mati saja?”
Saya terpaku mendengar ceritanya. Penderitaan yang luar biasa yang dirasakan anak ini.
Pengalaman itu menyadarkan saya, penderitaan terbesar manusia adalah ketiadaan cinta. Orang yang paling menderita adalah orang yang tidak mengalami cinta.
Nabi Yeremia melukiskan umat Israel yang kehilangan cinta Allah dengan amat baik. Gambaran penderitaan akibat kehilangan cinta Allah.
Pertanyaan besar bagiku apakah aku merasa menderita karena kehilangan cinta Allah?
Jangan-jangan aku tidak merasakan apa-apa, kehilangan cinta Allah karena aku tidak pernah menyadari dan merasakan cinta Allah.