PW Wafatnya St. Yohanes Pembaptis
Bacaan I: Yer. 1: 17-19
Injil: Mrk. 6: 17-29
PADA suatu pagi, saya dapat kunjungan seorang teman yang sudah begitu lama tidak berjumpa. Pagi itu dia datang menggunakan sepeda motor berboncengan dengan isterinya.
Melihat mereka datang menggunakan sepeda motor, spontan saya menyapa: “Wah gak salah loe naik motor? Gak masuk angin tu isteri loe?”
Saya menyapa begitu karena sejak saya kenal, dia tidak pernah naik motor, dan pernah suatu ketika dengan bercanda mengatakan kalau naik motor takut masuk angin. Mendengar sapaan saya dia tertawa terbahak: “Bisa aja loe Wan.”
Teman saya ini berprofesi sebagai konsultan pajak. Kalau dilihat dari sisi materi untuk ukuran seusianya pada masa itu, dia boleh disebut orang yang sukses. Dia dan keluarganya selalu memakai mobil-mobil keluaran terbaru. Maka ketika dia datang dengan sepeda motor yang biasa, itu amat mengejutkan.
“Eh, setan apa yang bikin loe sekarang naik motor?” tanya saya keheranan.
“Ha……ha setan bunting kali. Ceritanya panjang Wan,” jawabnya.
“Wan, loe tahu kerjaan gue. Waktu gue masih dikerjaan itu, wah duit tuh mengalir deras seperti air. Gue gak pernah mikir soal duit, karena akan selalu datang. Gue seneng, gue bersyukur dan gue nikmati itu semua.”
“Nah suatu kali gue ke gereja karena anak yang besar komuni pertama. Itu pertama kali gue ke gereja sejak menikah. Denger kobah pastor gue jadi gundah. Pekerjaan gue ini gak sepenuhnya halal, dan uang uang yang gue terima juga gak sepenuhnya halal. Tapi mo gimana, ini kerjaan gue dan gue harus hidup. Sejak saat itu gue selalu ke gereja, dan setiap pulang gereja selalu gundah dan resah. Gue tahu ada yang gak beres dengan hidup gue tapi ya mau gimana lagi. Semakin lama, hidup gue semakin resah, dan jawaban mau gimana lagi tidak bisa menghilangkan keresahan gue.”
“Ya udah, gue mutusin gak usah pergi ke gereja. Tetapi gak pergi ke gereja tambah resah, karena ada sesuatu yang hilang. Sampai suatu saat saya punya niat nih, udah gue mau tinggalin pekerjaan ini dan cari pekerjaan lain.”
“Gue ngomong ke bini gue. Bini gue marah, gimana harus hidup, gimana dengan teman-temannya, gimana dengan anak-anak, macam-macam dah pokoknya. Wah, Wan, berbulan-bulan gue ngobrolin ini ama bini. Akhirnya bini gue menyerah juga dan siap untuk mulai sesuatu yang baru.”
“Jadilah, gue tutup kantor konsultan pajak dan gue buka bengkel mobil. Kendaraan dan beberapa rumah habis buat modal. Hidup gue berubah drastis yang dulu gak mikirin duit, sekarang harus berhitung sungguh-sungguh. Kami bersyukur dengan setiap rupiah yang kami dapat. Wah, gak mudah, betul-betul gak mudah. Bini gue sempat stres, karena ditinggalkan teman-temannya dan macam-macam omongan yang amat tidak enak sering kami denger.”
“Tapi ya Wan, anehnya hidup kami jadi lebih tenang, lebih adem dan bahagia. Sekarang kerja lebih berat, dapetnya jauh lebih sedikit tapi kami damai.”
Teman saya mengakhiri cerita panjangnya.
Allah selalu membuat manusia gelisah dan resah. Kegelisahan dan keresahan yang menggoncang-goncang kemapanan seseorang. Kegelisahan dan keresahan yang menuntun pada kehidupan yang semakin baik.
Namun demikian, kegelisahan dan keresahan ini membutuhkan pengolahan diri yang luar biasa untuk sampai pada kehendak dan keputusan untuk bertindak yang lebih baik.
Banyak hal yang dipertaruhkan untuk sampai pada hasrat bertindak yang lebih baik. Hal yang paling berat adalah mempertaruhkan harga diri.
Pengalaman Herodes yang gagal dengan keresahan yang menuntun sampai pada kehendak untuk bertindak yang lebih baik karena tidak ada keberanian mempertaruhkan harga dirinya.
Bagaimana dengan aku?
Beranikah aku mengolah keresahan dan kegelisahanku, tidak hanya sampai pada kehendak saja, tetapi sampai pada hasrat untuk bertindak lebih baik?
Apakah aku berani mempertaruhkan harga diriku untuk mencapai hasrat itu?