Romo Pertapa Martin Suhartono: Mengembara dalam Pencarian Batin Terus-menerus (8)

1
3,509 views

SEMASA masih sebagai Yesuit, saya berpendapat bahwa Serikat Yesus lewat pembesar berwenang “demi ketaatan suci” untuk kapan saja menyetop saya untuk tidak meneruskan apa pun yang saya lakukan, entah apa pun itu, entah suci entah bukan, bahkan untuk menganjurkan atau malahan menyuruh saya keluar dari Serikat. Dan saya akan taat tanpa reserve.  (Baca:  Romo Pertapa Martin Suhartono: Dari Kaul Privat ke Kaul Publik Menjadi Eremit Diosesan KAS (1)

Itu dari pihak saya sebagai “bawahan”, namun tampaknya dari pihak Serikat sendiri, atau paling tidak dari pembesar-pembesar yang saya alami, mereka berpendapat bahwa tidak bijaksana berlaku demikian.

Terus terang, sebenarnya saya berharap bahwa para pembesar saya dulu menyetop pencarian batin saya akan hidup eremit. Sayangnya, cuma Rm Putranto yang dengan tegas menyuruh saya menyelesaikan studi di Cambridge dan sementara waktu menunda keinginan untuk menjadi eremit.

Waktu dulu sebagai frater novis tahun kedua saya mohon agar Rm Magister Haryata SJ menyuruh saya melupakan saja Ayat Ratapan 3:28 dan meneruskan untuk kaul pertama dalam SJ; beliau menolak dan dalam penegasan selanjutnya malah mendukung dan menerima kaul privat saya sebagai pertapa.

Rm A. Sunarja SJ dulu begitu yakin akan panggilan eremit saya. Beliau mendampingi peziarahan saya seakan sebagai pembesar. Beliau menyuruh saya menghentikan eksperimen di Rawaseneng setelah sebulan di situ dan menyuruh saya tanpa buang waktu lagi mempersiapkan hidup eremit dengan studi teologi di Bandung, bukan di Kentungan bukan juga di Driyarkara; supaya jauh dari lingkungan Yesuit.

Waktu ketemu beliau di Novisiat Ursulin di Bandung akhir tahun 1977 saya mengutarakan kekangenan saya pada SJ. Saya tanya beliau apakah sebaiknya saya meneruskan rencana studi teologi di STFT Surya Agung seperti yang beliau tugaskan kepada saya atau bagaimana.

Beliau cuma menarik nafas panjang dan bilang “Yah, mungkin kamu memang belum siap untuk itu. Tapi memang Serikat memberi kamu kesempatan setahun, jadi ya ke Girisonta saja sekarang untuk retret penegasan lagi.” (Baca:  Romo Pertapa Martin Suhartono: Mengembara tanpa Bentuk, Wajah, dan tanpa Nama (7)

Sesudah retret saya memberi tahu beliau bahwa saya memutuskan terus sebagai Yesuit, beliau memeluk saya tanpa bilang apa-apa lagi. Sejak itu, kalau tak sengaja bertemu, tak pernah lagi beliau menyinggung soal panggilan hidup pertapa.

Sewaktu di Manila di tahun 2006, saya mengatakan pada Pater Adolfo Nicolás, pembesar saya di Manila, kalau beliau meminta saya untuk meneruskan tugas sebagai Rektor AIR (Arrupe International Residence) sampai masa jabatan selesai 6 tahun lagi dan melupakan saja desakan ke keheningan, maka saya akan taat.

Beliau mengatakan tidak bisa melakukan hal itu karena beliau melihat gerakan batin lain dalam diri saya sehubungan dengan panggilan ke keheningan, berbeda dari yang dialami sebagai Yesuit pada umumnya. Lagi pula saya sudah berumur 50 tahun, padahal untuk jadi rahib atau eremit butuh fisik yang kuat; akan tidak fair terhadap saya andaikata musti menunda lagi.

Beliau menutup demikian, “We are not indispensable to the Society of Jesus. I am not indispensable to the Society of Jesus. You are not indispensable to the Society of Jesus. So continue with your search.”

Beliau hanya mohon saya bersedia tinggal di AIR sampai Pater Jenderal menunjuk pengganti resmi. Namun bahkan sebelum hal itu terjadi pun, ketika beliau berhasil membujuk salah satu staff AIR sebagai acting rector, beliau mengatakan bahwa saya boleh segera pergi padahal saya baru menjabat lima bulan saja.

Ketika meninggalkan para Karthusian dan kembali ke Yogyakarta, saya berkonsultasi dengan Pater Henk van Opzeeland SJ. Beliau mengatakan bahwa kalau sekarang muncul lagi gerakan ke arah pertapaan, anggaplah itu sebagai godaan setan dan katakan saja “Jangan ganggu saya lagi!”

Meskipun beliau bukan pembesar saya, bukan juga pembimbing rohani saya, saya melakukan apa yang dinasehatkan beliau itu demi ketaatan suci. Dan saya pun jatuh dalam depresi.

Fakta bahwa Hukum Gereja mengatur perpindahan anggota antar Tarekat, meski sudah berkaul kekal, dan SJ memiliki aturan-aturan khusus juga mengenai leave of absence, ex clausura dll, menunjukkan bahwa memang pencarian panggilan hidup itu tak akan pernah selesai. Mungkin baru selesai, paling tidak secara kelihatan secara kasat mata, di dunia ini kalau orang sudah jadi almarhum. Mengenai apakah sesudah kematian, masih ada pencarian juga, mari kita sama-sama lihat sendiri kelak.

Mengembara dalam melaksanakan suatu visi dan misi
Saya pribadi mengimani bahwa setiap manusia lahir ke dunia ini dengan mengemban tugas, misi, perutusan masing-masing. Tuhan tidak menciptakan orang serampangan saja, atau tanpa design khusus tertentu untuk setiap pribadi. Memakai istilah sekarang, tiap orang punya visi dan misi masing-masing. Suatu lembaga/tarekat hidup bakti pun punya visi dan misi tertentu, sejak dari zaman para pendirinya dulu dan setiap masa diperbaharui dan dirumuskan kembali sesuai dengan masanya.

Alangkah indahnya, bila keduanya bisa bertemu, saling meneguhkan dan menguatkan. Namun, menurut hemat saya, kedua pihak harus sama-sama tulus dan jujur.

Bila suatu lembaga/tarekat hidup bakti menyadari bahwa visi dan misinya tak dapat dipenuhi oleh seseorang anggota karena orang tsb punya visi dan misi pribadi yang berbeda, lembaga/tarekat tersebut harus dengan iklas melepaskan orang tsb; atau menganjurkan atau memerintahkan orang tsb keluar dari lembaga/tarekat, meskipun merupakan kerugian besar bagi lembaga/tarekat bila dihitung dari segala segi, terutama kelembagaan dan finansial.

Sebaliknya, bila seseorang anggota menyadari bahwa visi dan misi pribadinya tak dapat memenuhi visi dan misi lembaga/tarekatnya, tak dapat dilaksanakan dalam lembaga/tarekatnya, sebaiknya dia punya kejujuran dan keberanian untuk meninggalkan lembaga/tarekatnya itu, betapa pun beratnya.

Saya terkesan akan satu adegan singkat dalam film Forrest Gump, saat sang ibu menghembuskan napas terakhir ditunggui oleh Forrest. Sang ibu mengungkapkan betapa ia berbahagia karena telah melaksanakan misinya di dunia, her own destiny in the world.

Forrest bertanya sedih, apakah misi ibunya itu. Sang ibu menjawab, melahirkan dan membesarkan Forrest.

Forrest pun bertanya bingung, “Ma, what is my destiny?”

Dengan bijak sang ibu menjawab, “It is not for me to say, it is for you to find out!”

Adegan itu menggambarkan juga situasi antara Serikat Yesus dengan saya pribadi. Dan betapa saya berhutang budi kepada Serikat Yesus untuk itu.

Mengembara sebagai Eremit dan sekaligus Imam
Hidup menyendiri untuk berkanjang dalam doa demi bersatu dengan Allah Yang Tunggal, atau sering disebut dalam istilah bahasa Latin, Solus cum Solo Deo (harfiah: sendirian dengan Allah yang Sendiri), kerap dipandang umum sebagai tujuan hidup mistik.

Menurut hemat saya, setiap orang beriman, entah Benediktin atau Jesuit, atau bahkan entah kristiani atau muslim, dalam pengalaman doa pribadinya, bahkan pada hakekatnya ketika berdoa berjamaah sekalipun, ia berdiri sendirian sebagai makhluk di hadirat Khaliknya.

Bahkan sebenarnya, bukan hanya dalam saat-saat khusus untuk berdoa saja, melainkan dalam segala segi kehidupannya, dalam segala aspek kehidupannya, ia solus cum solo Deo, bahkan juga ketika ia hidup bersama orang lain. Dan meskipun ia melakukan hal apa pun, entah sendirian entah tidak, bahkan dalam kebersamaan dengan banyak orang, pada akhir hidupnya kelak, ia akan dimintai pertanggungan jawab akan apa yang dilakukannya solus cum solo Deo.

Rudyard Kipling dalam puisinya Tomlinson berkisah tentang Tomlinson yang meninggal dunia dan di gerbang sorga dicegat oleh St. Petrus. Tomlinson menyebut nama teman yang bisa menjadi saksi akan kebaikannya. St. Petrus bilang kesaksian itu tak ada gunanya; karena “The race is run by one and one, and never by two and two.”

Di gerbang neraka ia dicegat Setan. Tomlinson menyebut nama orang dengan siapa ia bersama-sama berbuat dosa. Setan bilang itu tak akan meringankan kesalahannya, karena “The sin that ye do by two and two ye must pay for one by one.”

Saya tidak melihat dan tidak menghayati apa yang saya gulati dalam pengalaman pengembaraan menjadi eremit ini sebagai ingin mengutamakan, atau ingin mencapai solus cum solo Deo.

Para eremit pada umumnya, semoga saya juga demikian, menghayati panggilannya sebagai, meminjam ungkapan-ungkapan yang saya terima dari beberapa eremit: “living separated from all, united to all”, “standing alone in front of God in the name of all (people)” “being alone before God for the sake of all (people)”.

Sejak entah kapan dari awalnya, umat beriman dihadirkan dalam upacara pengudusan eremit, anakoret, atau perawan kudus, oleh Uskup.

Sebelum seorang recluse perempuan dimasukkan dalam ruang tertutup, yang dibangun di samping gereja/katedral pada abad pertengahan di Eropa, dan pintunya dikunci dari luar dengan jendela kecil saja untuk memasukkan makanan dan lewat jendela itu umat bisa berkonsultasi dengan sang recluse, ia diberkati oleh Uskup dalam upacara meriah yang dihadiri umat beriman di katedral. Kurang lebih itulah yang saya alami ketika mengikrarkan kaul kekal sebagai eremit diosesan di Sendangsono 8 September ini.

Kehadiran umat beriman dalam upacara ikrar eremit ini bukan sekedar mau menunjukkan, tapi lebih lagi, mau menekankan sungguh-sungguh, bukan hanya kepada eremit ybs., tapi juga kepada umat beriman bahwa eremit tsb. diutus ke padang gurun demi kepentingan umat beriman.

Meskipun tak sama pengertiannya, tapi eremit bagaikan scape-goat yang dibuang ke padang gurun demi kesejahteraan umat beriman sebagaimana dikisahkan dalam Imamat 16.

Maka saya tak melihat adanya suatu pemisahan antara hidup imamat dan hidup eremit. Bagi saya halnya bukanlah either/or, melainkan sebagai suatu both/and; untuk sikap ini saya amat berterima kasih kepada Pater Joe Verhaar SJ yang menjadi pembimbing rohani saya selama di STF sesudah Pater Verhaak SJ.

Memang seorang rahib dan juga eremit tidaklah harus seorang imam, sebagaimana dianut juga oleh para Benediktin dan Trappist. Namun saya terkesan oleh para Karthusian yang menghayati bahwa panggilan mereka dalam kesunyian adalah suatu panggilan imami. Entah, saya tidak berani mengatakan, apakah visi Ignatius bagi karakteristik imami panggilan Yesuit itu diilhami oleh para Karthusian atau tidak.

Para Yesuit tentu tahu dan mengalami bahwa faham khas Yesuit mengenai imamat itu berbeda dengan pengertian para klerus lain atau para imam diosesan tentang imamat mereka. Maka seorang astronom Yesuit sendirian di observatorium itu tetap melaksanakan fungsi imamatnya, tak kurang dari seorang pastor paroki.

Tempat tinggal para Karthusian disebut charterhouse, untuk membedakan dari monastery para biarawan/wati yang hidup bersama dan hermitage pertapa yang hidup sendirian saja. Cara hidup para Karthusian merupakan gabungan keduanya: para pertapa yang hidup dalam suatu komunitas.

Selagi hidup di St. Hugh’s Charterhouse di Parkminter dulu, saya mengalami bahwa segera sesudah conventual mass pagi hari di gereja, yaitu misa konselebrasi dengan para imam Karthusian lain, saya sebagai imam masih harus merayakan Ekaristi sendirian di kapel pribadi saya sendiri.

Secara kebetulan saya disuruh memakai kapel Kapel Malaikat Pelindung untuk misa pribadi. Misa pribadi ini biasa dilakukan segera sesudah misa konselebrasi agar dengan demikian imam Karthusian hanya perlu sekali ini saja di pagi hari keluar dari selnya.

Ternyata sejak dari zaman St. Bruno di abad ke-11 para imam Karthusian merayakan misa sendirian, dan baru karena tuntutan Konsili Vatikan II, mereka merayakan juga misa konselebrasi tiap hari. Jadi para Imam Karthusian merayakan Ekaristi dua kali sehari.

Waktu itu saya mendapat izin untuk misa pribadi pada sore hari sesudah Vesper, dan bukan di pagi hari segera sesudah misa konselebrasi. Saya ketika itu teringat akan beberapa imam Yesuit di almamater saya, Institut Biblicum Roma, yang lebih suka misa sendirian (termasuk saya sendiri), atau bahkan sesudah misa komunitas masih juga merayakan misa pribadi (saya tidak demikian).

Mengenai panggilan imamat ini. Ada cerita tersendiri. Pada tahun 2006 saya mengadakan retret tiga hari di Novisiat SJ di Filipina untuk penegasan mengenai gerakan batin ke arah pertapaan. Dalam suatu pergulatan batin di kapel, ketika saya menyadari bahwa Tuhan menghendaki saya meninggalkan SJ, saya berseru dalam batin: “At least, let me keep my priesthood!”

Saya pikir, okelah kalau saya musti tidak menjadi Yesuit lagi, tapi ya paling tidak saya ingin tetap menjadi imam. Tiba-tiba saya “mendengar” jawaban, “The priesthood is not yours. The priesthood is Mine!”

Saya pun ketika itu disadarkan bahwa kita semua umat kristiani diikutsertakan dalam Imamat Yesus Kristus. Para imam memang diikutsertakan secara khusus, tapi tetap saja yang empunya imamat itu adalah Yesus Kristus. Para imam hanya berpartisipasi saja dalam imamat Yesus.

Eremit, tidak lebih dan tidak kurang daripada para pengikut Kristus lainnya, terlebih lagi bila ia juga seorang imam, diundang untuk berpartisipasi dalam imamat Yesus, terutama dalam kesendirian-Nya di Getsemani dan Golgota. (Baca:  Romo Pertapa Martin Suhartono: Mengembara bersama Para Kudus (9)

Kredit foto: Romo Pertapa Martin Suhartono Sanjoyo, eremit diosesan KAS, bersama Uskup Agung Keuskupan Agung Semarang Mgr. Johannes Pujasumarta. (Courtesy of Romo Antonius Dadang Hermawan)

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here