Saya Juga Suka Pamer

0
101 views
Pamer by Faultable

“Aja ngewak-ewakake
Petentang-petenteng bijine diumukake
Bocah kok le ambeg, sajak ngece-ece
Rumangsane cah kelas papat pinter dewe”

(Jangan mengejek
Belagu, nilainya dipamerkan
Anak kok sombong, suka meledek
Perasaanmu, anak kelas empat, paling pandai gitu?)

Itu lagu yang diajarkan Pak Widi, guru kelas empat kami, sekian 40 lalu di SD St. Yusup, Semarang.

Isinya ajaran budi pekerti berupa nasihat untuk tidak pamer, tidak sombong atau tidak banyak gaya meski nilai ulangannya bagus.

Pamer” adalah kosa kata Bahasa Jawa, yang sudah melebur menjadi Bahasa Indonesia.

Selain kepandaian, “pamer” juga bisa digunakan untuk menunjukkan kekayaan, ketampanan, kekuasaan, atau bahkan kesolehan.

Teman-teman SD yang orangtuanya berada, sering memamerkan mainan, baju, sepatu dan tasnya yang baru atau mahal. Mereka sengaja melakukan itu agar teman-temannya berdecak kagum dan memuja “kehebatan” itu. Tak peduli apakah karenanya teman-temannya menjadi kecil hati.

Pamer” itu:

“Perilaku yang menunjukkan (mendemonstrasikan) sesuatu yang dimilikinya kepada orang lain dengan maksud memperlihatkan kelebihan atau keunggulan untuk menyombongkan diri” (KBBI)

Tidak hanya anak kecil, perilaku “pamer” melekat sampai dewasa, lebih-lebih ketika sarananya semudah orang membalikkan telapak tangannya.

Kini, media sosial menjadi alat pamer yang akurat dan juga sangat cepat beredar di antara komunitas yang masif. Sekali klik, maka “kehebatan” seseorang bisa dilihat oleh begitu banyak orang tanpa ada batas waktu dan jarak.

Sekira tahun 1984, saya ditugaskan sementara, di daerah operasi perusahaan di Sumatera Selatan. Jeep CJ-7 menjadi kendaraan dinas sehari-hari.

Tak bisa dibayangkan, bagaimana begitu mongkok (besar hati) mengendarai mobil elit, yang sebelumnya, memegang pun belum pernah.

Keinginan untuk pamer kepada siapa saja, kepada sebanyak mungkin orang, begitu menggebu-gebu. Sayang, kamera instan dan ponsel masih jauh dari impian. Keinginan untuk pamer kepada keluarga, pacar dan teman-teman, nun jauh di sana, tak bisa terlaksana.

Tak terbayang, Jeep CJ-7 penggerak 4 roda, yang dulu pernah saya kendarai, ternyata bermetamorfosa menjadi Jeep Wrangler Rubicon, yang sekarang menjadi simbol perilaku pamer.

Orang kaya merasa baru afdol kalau sudah berpose mengendarai Rubicon atau meliuk-liuk dengan moge dan fotonya viral ke mana-mana. “Aja ngewak-ewakake, aja petentang-petenteng”.

Jadi bagaimana dengan pamer?.

Pak Widi mengajarkan “jangan pamer” melalui “lagu dolanan” kala kami kelas 4, dahulu kala.

Pamer kepandaian membuat minder mereka yang nilainya jelek. Pamer harta jelas menciderai hati mereka yang tak punya. Pamer kesolehan justru menjerumuskan seseorang menjadi munafik. Pamer kekuatan membuat si lemah ketakutan. Pamer kekuasaan menumbuhkan feodalisme baru yang menyebalkan.

Kalau saja benar, pamer merupakan naluri yang ada di dalam diri manusia, maka yang harus dihindarkan adalah pamer berlebihan yang mencetak ekses negatif bagi orang lain.

Karena manusia pamer mengharapkan pengakuan (recognition) atas kelebihannya, dan “pengakuan” menghasilkan “hormon Dopamin”, yang pada ujungnya menimbulkan rasa bahagia, maka sah saja orang pamer, dalam syarat dan batas tertentu.

Pertama, silakan pamerkan prestasi yang substantif yang didapat dari hasil kerja keras yang sah. Jangan mengaku prestasi orang sebagai karyanya.

Silakan pamer saat meraih nilai 10, untuk ujian akhir Matematika, hasil belajar mati-matian. Rubicon atau Moge tentu saja boleh dimiliki kalau itu dibeli dari hasil kerja keras tanpa merugikan siapa pun.

Kedua, “tepa selira” atau tenggang rasa mutlak diperlukan.

Menunjukkan sesuatu secara berlebihan, apalagi di kalangan yang berkekurangan, rasanya tak elok.

Sak madya”, yang bisa bermakna “tidak kurang dan tidak lebih”, “sewajarnya”, atau “secukupnya” adalah pilihan yang tepat.

Ketiga, naluri pamer yang ada dalam diri setiap insan bisa diredakan dengan selalu bersyukur.

Kepandaian, kekayaan, kesolehan, kekuasaan, atau apa saja kelebihan yang dipunyai, adalah titipan dan tak dimiliki selamanya. Membagi kelebihan tak akan membuat kekurangan, tapi justru menambahnya.

Nampaknya, pamer adalah naluri yang ada di dalam diri manusia. Hanya mereka yang sudah selesai (tuntas) dengan dirinya, tak lagi punya keinginan pamer. Namun itu sangat jarang.

Tak heran, pamer sering berbuah kesukaan palsu dan bukan kebahagiaan abadi. Silakan dicatat, pamer yang berlebihan menandakan kebodohan yang luar biasa pula.

“Showing off is the fool’s idea of glory.” (Bruce Lee)

@pmsusbandono
24 Maret 2023

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here