MAKAM Romo JB Prennthaler SJ di Boro, Kulon Progo, DIY, merupakan salah satu situs sejarah misi Keuskupan Agung Semarang.
Romo JB Prennthaler SJ menjadi ikon semangat misi di Tanah Jawa di zaman Pemerintahan Hindia Belanda.
Dengan penuh kasih, beliau mendedikasikan diri dalam misi di Tanah Jawa; baik di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan rakyat di wilayah Bukit Menoreh.
Yang menarik, beliau juga berhasil menjalin hubungan baik dengan pemerintah.
Salah satu yang menarik dari sosok Romo Prennthaler adalah bahasa kasih yang beliau wartakan di dalam setiap perhatian dan penuh kasih sayang.
Beliau senantiasa berpikir keras dan mencari cara bagaimana masyarakat di kawasan luas Bukit Menoreh mendapatkan hak hidup yang layak di tengah situasi yang tidak menentu.
Beliau mendirikan gedung-gedung misi, Gereja Katolik St. Theresia Lisieux Boro dan tempat-tempat ziarah doa yang hingga saat ini dapat dikunjungi oleh umat Katolik di mana pun berada.
Seni Selaka khas Boro
Dalam suatu kesempatan, penulis bertanya kepada Pastor Paroki St. Theresia Lisieux Boro, Romo Romualdus Subyantara Putra Perdana Pr.
Beliau menjelaskan bahwa Seni Selaka sendiri berasal dari inkullturasi seni Islam yang dikembangkan dalam pewartaan agama Katolik.
Salawat ala Katolik ini merupakan lantunan syair yang diambil dari Alkitab yang dinyanyikan oleh sejumlah anggota umat dari wilayah yang ditunjuk.
Sembari menyanyikan alunan syair, diiringi pula alat musik tradisional Jawa seperti kendang buntung, rebana, beduk, tamborin, keting, kempyang, kempul dan jedor.
Selawatan Katolik (Selaka) tersebut muncul pertama kali di wilayah Kalibawang di awal abad XX oleh Bruder MT Tirtosunarto SJ. Tampilan umumnya persis seperti sholawatan atau tembangannya saudara-saudari dari Muslim; baik dari segi nada dan alat musiknya.
Setiap malam Jumat Kliwon
Seni Selaka yang diadakan di Paroki Boro ini selalu dilaksanakan setiap malam Jumat Kliwon atau hari Kamis pada malam harinya.
Setiap wilayah dari berbagai lingkungan memiliki giliran setiap bulan untuk menembangkan selawatan di kompleks makam Romo JB Prennthaler SJ.
Para pemusik yang menabuh gendang dan alat musik lainnya sahut-menyahut dengan tembang selawatan yang diiringi tepuk tangan yang saling susul menyusul.
Tepuk tangan yang dibunyikan seperti teknik kanon dalam bernyanyi, saling sahut-menyahut, susul menyusul, padu dan sangat indah untuk didengarkan.
Penulis yang merupakan orang Kalimantan Barat acapkali menemukan irama musik serupa di daerah asal di Kalbar. Tetapi belum pernah menemukan corak selawatan yang memadukan nyanyian, alat musik, tepuk tangan dan suasana yang khidmat dan agung.
Seni Selaka menurut penulis merupakan budaya yang harus senantiasa lestari. Juga bisa menjadi ciri khas daerah Boro.
Ini tentunya juga akan menjadi kekayaan iman Gereja Katolik secara umum dan umat di Boro secara khusus.
Dari segala macam keunikan yang ada di Boro, penulis merefleksikan hal yang penting bahwa karya misi yang diusahakan dengan gigih, penuh iman dan dengan kekuatan doa akan lestari seperti yang terjadi di Boro.
Seperti medan pastoral Keuskupan Ketapang
Medan pastoral di Paroki Boro sedikit mengingatkan penulis pada situasi jalan-jalan di wilayah Keuskupan Ketapang, Kalimantan. Ditandai dengan banyak jalan dengan tekstur badan jalan yang menanjak atau pun menurun.
Dalam perbincangan bersama Romo Subi dan Romo Andi menjadi jelas, era 15 tahun lalu, situasi jalan di wilayah Boro kurang lebih sama seperti di Ketapang. Namun, kondisi saat ini jauh lebih baik. Karena hampir setiap wilayah sudah dibangun jalan yang baik dan mulus.
Umat Paroki Boro sangat mandiri dan sangat maju dalam gerakan iman.
Hal ini terlihat dalam setiap perhatian, keikutsertaan atau partisipasi umat dalam setiap kegiatan gereja.
Bonus yang dapat dinikmati dan disadari sebagai rahmat adalah alam ciptaan, keanekaragaman hayati, kekayaan budaya dan semangat misi yang tidak akan pernah berhenti.
Dokumentasi: Komsos Boro.