Puncta 03 April 2024
Rabu Oktaf Paskah
Lukas 24: 13-35
SAYA bertugas di Paroki Simpang Dua, Ketapang hanya satu tahun. Tetapi kendati singkat ada banyak pengalaman menarik. Hampir setiap bulan, saya turun ke kota kabupaten untuk berbagai urusan.
Kadang ada rekoleksi, rapat, pembekalan, atau urusan administratif. Tentu yang tidak ketinggalan karena rindu sate atau tongseng kambing di warung sate “Yogyakarta,” makan bersama Romo Pamungkas Pr.
Jarak Paroki Simpang Dua ke Keuskupan di Ketapang sekitar 250 km atau sekitar tujuh jam perjalanan naik sepeda motor. Ada jalur lebih pendek lewat Perawas, Teluk Batang, Sukadana, dan Siduk.
Tetapi karena tidak hapal jalurnya, saya lebih suka lewat jalur panjang dari Gerai, Kalam, Randau, Sandai, Tayap, Sungai Kelik, Sumber Priangan, Siduk, dan Ketapang.
Perjalanan panjang sangat melelahkan. Apalagi jika disertai hujan, jalanan sangat buruk. Untung jika ada teman dalam perjalanan. Kalau tidak, perjalanan itu terasa berat, melelahkan dan ngantuk di jalan.
Jika kelelahan, keluarga Pak Herman atau Bu Ahuang jadi tempat untuk singgah. Sambil ngopi dan minum juice, saya beristirahat di rumah mereka.
Mereka selalu menyiapkan makan untuk para pastor yang singgah. Rumah mereka selalu terbuka bagi romo, bruder, suster juga Bapak Uskup, jika sedang turne ke pedalaman.
“Singgahlah di rumah kami jika romo turun ke ketapang, atau kalau balik ke Simpangdua,” mereka menerima dengan sukacita. Tayap seperti Emaus bagi para romo yang sedang dalam perjalanan.
Seperti dua murid yang pulang ke Emaus, dalam perjalanan mereka mengalami kesedihan, muka muram dan putus asa. Apa yang mereka harapkan ternyata gagal total. Yesus yang diharapkan menjadi pemimpin bangsa ternyata mati hina di salib.
Dalam keputusasaan itu, Yesus hadir menemani perjalanan mereka. Yesus menerangi mereka yang gelap hatinya dengan membaca Kitab Suci bahwa para nabi sudah menubuatkan bahwa Mesias memang harus menderita, wafat dan bangkit.
Ketika sampai di rumah mereka, Yesus diajak singgah. “Mane Vobiscum Domine,” artinya Tinggalah bersama kami Tuhan. Ketika duduk makan, memecah-mecahkan roti, terbukalah mata mereka dan mereka mengenal Yesus.
Perjamuan makan adalah perayaan ekaristi. Dalam ekaristi itulah murid-murid berjumpa dengan Yesus. Sebagaimana yang dipesankan sebelum wafat, para murid diminta untuk memecah-mecahkan roti sebagai kenangan akan Kristus.
Ketika ber-ekaristi itulah kita semua mengenangkan perjamuan Tuhan. Kita berjumpa dengan Tuhan sendiri.
Apakah kita sungguh-sungguh menghayati Ekaristi sebagai kesempatan istimewa berjumpa dengan Tuhan Yesus?
Makan bersama simbol persaudaraan,
Bukan makan apa tetapi dengan siapanya.
Yesus bangkit membawa kemenangan,
Kita diangkat menjadi anak-anak Bapa.
Cawas, bangkit dari kegelapan….
Rm. A. Joko Purwanto Pr