Trusting First, Then Communicate

0
33 views
Ilutrasi: Kepercayaan.

“Namun, niat baik saja tidak cukup. Program-program besar perlu dikomunikasikan dengan baik, agar bisa dimengerti, tanpa distorsi”
(Panji Irawan, “Realitas Versus Persepsi Ekonomi”, Kompas, Selasa, 8 April 2025)

Judul dan cuplikan di atas, bukan suatu pemahaman baru. Apalagi bagi mereka yang sudah basah-kuyub “nglampahi” dunia kepemimpinan, manajemen atau birokrasi.

Program-program yang menyasar target akan gagal bila komunikasi antar pelakunya dilakukan asal-asalan atau belepotan, yang biasanya kontra-produktif.

Meski artikel di atas, sangat mencerahkan, ada satu prasyarat yang tidak disebutkannya. Komunikasi akan mengena (efektif) bila penerima pesan percaya (“trust”) terhadap pengirim pesan.

Trust harus dibangun lebih dahulu, sebelum komunikasi dilancarkan. Sementara trust bisa kental, bila terjalin hubungan baik antara kedua belah pihak.

Relasi antar stakeholders harus mulus dan tanpa cela, baru trust tumbuh, dan komunikasi yang kondusif siap dijalankan.

Doktor Dewi Matindas, dosen senior Fakultas Pskologi UI, dalam salah satu kuliahnya mengatakan, bahwa keberhasilan komunikasi, 80% ditentukan oleh relasi (yang baik).

Sisanya adalah faktor-faktor skill, lingkungan, latar belakang budaya, usia dan pemahaman konten.

Bila ada masalah dengan komunikasi antar pemangku kepentingan, hampir pasti yang tak beres adalah relasi dan trust di antara mereka.

Tak heran kalau anak-anak dari Jepang, misalnya, yang tak bisa berbahasa Indonesia atau Jawa, dapat asyik bermain dengan anak-anak asal Jawa Tengah yang sehari-hari berbahasa daerah.

Mereka tanpa kecurigaan, tanpa pretensi, tanpa niat jahat dan hanya ingin bersenang-senang bersama. Relasinya mulus, maka kekurangan skill (berbahasa) dalam berkomunikasi mudah teratasi.

Trust harus diciptakan sedikit demi sedikit, bertahap, melalui rekam jejak yang baik, kata-kata yang tidak menciderai atau kasar, tidak membalas, konsisten, tidak mencla-mencle, jujur dan setulus hati, tanpa niat setitik pun untuk mengelabui pihak lain. Hasil yang dipetik adalah tercapainya tujuan atau target bersama.

Sementara, trust (sangat) sulit terwujud bila ada agenda tersembunyi yang disimpan oleh salah satu pihak untuk mengelabui lawan bicaranya.

Mutual trust makes us strong and sturdy in overcoming difficulties – lack of it, weakens it.” (AVM)

Trust dan relasi baik memerlukan iklim yang egaliter. Feodalisme jelas mempersulit lahir keduanya. Merasa diri lebih tinggi dari salah satu pihak, sulit membangun relasi yang setara, dan akhirnya menyetop komunikasi.

“Trust is not a gift. It must be earned.” (anonim)

Trust rentan terhadap janji-janji kosong. Janji yang tak kunjung dibuktikan, bahkan, kemudian, yang terjadi adalah sebaliknya, langsung menghapus trust dengan sendirinya.

Entah bagaimana dan mengapa, trust selalu berhimpitan dengan satunya kata dengan perbuatan, satunya janji dengan kenyataan.

“The best way to restore trust is to deliver result.” (anonim)

Singkat kata, trust membuahkan relasi, relasi memperlancar komunikasi, tiga hal yang erat berkelindan. Salah satu absen, semuanya runtuh. Ia juga membutuhkan rasa “handarbeni” plus niat sungguh-sungguh untuk merakitnya.

Jangan pernah merasa “sok kuasa” dengan menganggap pihak lain lebih inferior.

“The key to successful leadership today is trust, not authority.” (anonim)

@pmsusbandono
11 April 2025

Baca juga: Waktu begitu cepat berputar, Lebaran pun tiba

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here