70 Hari di Rumah Khalwat Roncalli: Pentingnya Keheningan untuk Spiritualitas Medior (3)

0
520 views
Berdoa dan menyalakan lilin di The Virgin Mary Church "Goshin" di Wadi, Kairo, Mesir. (Mathias Hariyadi)

Rabu, 5 Oktober 2016

HARI ini semua peserta kursus diharap mengikuti olah raga, yang dimulai pkl. 05.00, tetapi sebelum itu sudah ada beberapa peserta yang jalan-jalan atau lari-lari di halaman. Di hari pertama sebagian besar peserta, termasuk saya mengikuti poco-poco yang dipimpin oleh Br. Anton Karyadi, FIC. Teman-teman yang lain, yang putra khususnya main bulutangkis. Kami olah raga selama satu jam. Lumayan melelahkan karena sudah lama saya tidak pernah olah raga. Tubuh saya basah kuyup dengan keringat, tetapi sesudahnya terasa enak dan segar.

Baca juga:

Spiritualitas medior

Pertemuan sore hari dimulai pkl. 16.30 sampai menjelang misa sore hari pkl. 18.25. Materi hari ini sampai hari Jumat, 07 Oktober ialah Spiritualitas Medior yang diberikan oleh Br. Anton Sumardi, FIC.

Batasan usia medior ada aneka pendapat, tetapi pada umumnya berkisar antara 35-55 tahun, tetapi jangan dimutlakkan. Usia medior merupakan panggilan untuk “pulang/kembali” kepada diri yang kadang berada dalam persimpangan jalan.

Spiritualitas Medior selalu berkaitan dengan perkembangan hidup pribadi/rohani, perkembangan kedewasaan diri, kedewasaan rohani termasuk penghayatan kaul-kaul. Menjaga dan memelihara semangat keheningan merupakan fondasi dasar hidup religius dan secara khusus sebagai medior.

Hening menemukan kehendak Tuhan dalam diri kita melalui perayaan ekaristi harian. (Ilustrasi/Mathias Hariyadi)

Pentingnya keheningan

Keheningan adalah keberanian untuk tetap tinggal dalam situasi padang gurun ketidakpastian. Dalam keheningan kita menemukan diri bersama dengan Allah. Hening itu berani berkurban, membiarkan pribadi lain berada dalam hening, pemberian diri, rela menanggung derita, mengendalikan diri dari keinginan yang buta, bebas dari ambisi dan kuasa, menyirnakan kehausan akan pujian dan pengakuan.

Keheningan tidak dibatasi ruang dan waktu, tempat dan jarak, terang dan gelap, baik dan buruk, segala situasi dapat mengantar hati untuk masuk dalam keheningan. Di sana kita melihat kebebasan, keindahan, dan sukacita setiap pribadi dan ciptaan.

Keheningan mengajarkan bahwa ketakutan yang tak dikenali, kecemasan yang tak tergali, kemarahan yang tak terungkapkan telah mendorong kita membangun tembok kebenaran diri. Ketika hening bercahaya, ketakutan diterima, kecemasan dirangkul, kemarahan disambut dengan lembut dan kebenaran diri hanyalah sia-sia belaka.

Keheningan membimbing kita untuk melihat untaian cinta sebagai panggilan dan tawaran untuk mengubah hati dan pikiran, semakin murni, sederhana, dan penuh sukacita. Melalui keheningan kita belajar melihat keterbatasan dan kelemahan orang lain. Pada saat yang sama pun kita dihadapkan pada realitas keterbatasan dan kelemahan kita.

Kering kerontang, tiada air, dan nyaris tiada kehidupan di padang pasir Gurun Sinai, Mesir. (Mathias Hariyadi)

Pengalaman padang gurun

Yesus dan Gereja dalam perjalanannya mengupayakan waktu hening. Yesus sendiri menyempatkan diri untuk mencari waktu hening. “Pagi-pagi benar Ia pergi ke tempat yang sunyi untuk berdoa di sana…”

Nasihat Pastoral untuk Rasul Tuhan, “Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah.” (Kol 3,3). Gereja pun dalam ajarannya menekankan dimesi keheningan dengan sangat mendasar (PC No. 6). Seruan Apostolik Evangelii Gaudium Paus Fransiskus No 3, 7, 8, 119. Ini semua menjadi dasar dan spirit keheningan.

Krisis usia medior

Spiritualitas Medior juga membahas pergumulan wanita dan pria. Hal ini pun dialami oleh kaum religius karena pada usia medior, mereka berada pada usia tengah baya. Fakta usia tengah baya mulai mengalami penglihatan yang mulai kabur, yang sering mengakibatkan kecelakaan, jatuh di gang atau di kamar mandi. Merasa cepat lelah.

Meniti krisis. (Ist)

Daya ingatan mulai menurun. Lebih rentan terhadap penyakit karena daya tahan tubuh mulai menurun. Fungsi organ tubuh mulai menurun. Pendengaran mulai berkurang, sehingga sering terjadi salah dengar, salah pengertian, atau salah menangkap makna pembicaraan.

Cara mengatasi pergumulan ini, antara lain: menerima kenyataan, berpikir realistis, rajin olah raga, cukup beristirahat, mengenal kapasitas dan kemampuan diri, merawat diri dan memerhatikan penampilan, menambah wawasan dan meningkatkan pengetahuan, mengikuti senam aerobik.

Diberikan beberapa pertanyaan refleksi untuk menjadi bahan diskusi komunitas kecil. Pengalaman apa yang menarik akhir-akhir ini, yang membuat kami bersemangat untuk tetap bertekun dan setia dalam menjalani panggilan sebagai Imam, Bruder, maupun Suster? Hal-hal mana yang bagi kami cukup menggelisahkan, yang kadang bahkan memancing emosi, merasa lelah, terasa beban yang menimpa kami?

Berhadapan dengan tantangan-tantangan yang paling dirasakan saat ini, manakah solusi-solusi yang telah kami usahakan dan akan kami usahakan? Apakah yang paling membahagiakan bagi kami sebagai seorang religius/imam umur tengah baya ini?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here