Antara “Soegija” dan Soegijapranata SJ (3)

1
5,312 views

BAGAIMANA harus meletakkan peran penting Romo Kanjeng Mgr. Albertus Magnus Soegijapranata SJ dalam konteks sejarah panjang proses  “menjadi Indonesia”?

Romo Budi Susanto SJ –jesuit anthropolog lulusan Cornel University—sekali waktu menulis paparannya dengan meletakkan Romo Kanjeng Mgr. Soegijapranata pada zamannya. Era Romo Kanjeng sungguh sezaman  –demikian tulis Romo Budi Susanto SJ— dengan era Presiden pertama RI Ir. Soekarno yang kala itu dikenal dengan sebutan Penyambung Lidah Rakjat.

100 persen katolik, 100 % Indonesia yang menjadi sesanti  abadi Romo Kanjeng rasanya bisa mengungkapkan betapa uskup pribumi pertama di Indonesia ini  punya perhatian besar akan bagaimana seharusnya mengembangkan kebangsaan (nasionalisme) dan Gereja Indonesia yang nasionalis.

Proses “menjadi Indonesia”

Bung Karno –Sang Proklamator dan Penyambung Lidah Rakjat–  bergerak pada tataran politik praktis dalam tata pengelolaan negara dan pemerintahan. Sementara, Romo Kanjeng bergerak  menggelorakan semangat nasionalisme Indonesia melalui jalur diplomasi gerejani. Jasanya terbesar yang sudah dilupakan banyak orang adalah fakta cepatnya respon positif yang diberikan Vatikan hingga Tahta Suci ini termasuk di antara negara-negara pertama yang  akhirnya mengakui kemerdekaan RI.

Itu berarti lahirnya nation baru bernama Indonesia mulai diakui  di pentas politik internasional waktu itu. Proses “menjadi Indonesia” bergulir di Nusantara dan di panggung internasional. Romo Kanjeng Mgr. Albertus Soegijapranata SJ ikut membidani lahirnya proses “menjadi Indonesia” itu.

Lahirnya Soegija

Tahun 2012 ini akhirnya lahirlah Soegija. Maka film layar lebar yang sejatinya pernah mau diberi titel Silent Diplomacy ini  mesti dilihat sebagai jendela untuk melihat sejarah masa lalu era tahun 1940-an. Era dimana Romo Kanjeng Mgr. Soegijapranata SJ telah “naik pentas” menjalankan diplomasi damai namun tegas untuk mengembangkan ke-Indonesia-an di pentas dunia. Romo Murti Hadi SJ dari Studio Audio Visual Puskat Yogyakarta secara pribadi ingin lebih memaknai film Soegija sebagai media visual untuk menghadirkan kembali sisi-sisi “tak kelihatan” dari seorang tokoh Gereja Indonesia bernama Romo Kanjeng  yang berjasa besar mengembang model Gereja Indonesia yang nasionalis dan cinta damai.

Mengutip omongan kelakar seniman Djaduk Ferianto beberapa waktu lalu, Romo Murti Hadi SJ menyebut Romo Kanjeng ini sebagai pahlawan nasional yang “keselip” alias tidak kelihatan dalam pentas penulisan sejarah nasional. Padahal, jasa dan peran Romo Kanjeng ini sangat besar. Barangkali karena tidak angkat senjata, makanya sejarah dan profil Romo Kanjeng ini jadi tidak menarik bagi para penulis sejarah era Orde Baru yang lebih banyak memberi atensi berlebihan kepada tokoh-tokoh politik dan militer.

Romo Kanjeng bergerak di jalur diplomasi di pentas internasional. Karena itu, figur ketokohannya menjadi tidak menarik diabadikan dalam bentuk narasi historik oleh para penulis buku-buku sejarah era Orde Baru.  Nyaris tak pernah muncul nama Romo Kanjeng dalam buku-buku pelajaran sejarah.

Lalu mengapa kemudian harus lahir Soegija pada tahun 2012 ini?

Romo Murti Hadi SJ dari Puskat Yogyakarta yang boleh dibilang menjadi produser eksekutif  Soegija ini sekali waktu bertutur, film Soegija ini jangan dimaknai hanya sebagai hasil kreasi seni dengan keindahan artistik atau media komunikasi semata. “Soegija merupakan jendela masa lalu untuk melihat masa kinim” tulisnya dalam sebuah media internal.

Melalui Soegija ini, kata Romo Murti, bangsa Indonesia bisa bercermin diri tentang tokoh nasional masa lalu –kebetulan saja dia itu katolik dan uskup lagi—yang selalu mengedepankan semangat nasionalisme sejati untuk sebuah kepentingan nasional melewati batas-batas sektarian seperti jatidiri agama.

Soegija melalui Soegija adalah teladan tentang bagaimana seorang pemimpin harus berjiwa nasionalis sejati. Soegija memanglah seorang pemimpin agama (Gereja Katolik dan persisnya Uskup Vikariat Apostolik Semarang). Namun melalui Soegija, Soegija telah memperlihatkan bagaimana Romo Kanjeng ini  berani keluar dari pagar kekatolikannya dan berpikir untuk seluruh bangsa ini. “Di tengah-tengah situasi maraknya radikalisme agama-agama di negeri ini, film Soegija  ini menyajikan figur agamawan yang berpikiran luas dan terbuka pada keberagaman bangsa Indonesia ini,” tulis Romo Murti Hadi SJ. (Bersambung)

Photo credit: Studio Audio Visual Puskat Yogyakarta

Referensi: Perhati SJ Provindo

Artikel terkait:

1 COMMENT

  1. Bravo.Tanpa Romo Kanjeng mungkin agama Katolik tidak akan berkembang spt sekarang….Romo Kanjeng disurga pasti tersenyum menyaksikan film kehidupannya akan disaksikan oleh umat katolik Indonesia. Semoga pemutaran film Soegija akan sukses!!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here