Artikel Politik: Nyanyian dari Roma

0
487 views
Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar by the National

HARI Rabu (5/6) lalu, pas Hari Lebaran, saya mendapat kiriman video pendek berdurasi dua menit tiga detik dari Duta Besar RI untuk Tahta Suci Agus Sriyono. Video itu menayangkan paduan suara spontan yang mendadak “terbentuk” di KBRI Vatikan.

Paduan suara itu terdiri dari para suster (biarawati), pastor, awam, duta besar dan isteri. Bahkan, ada dua perempuan muslim berkerudung di tengah para pastor dan biarawati itu. Ini menegaskan bahwa musik adalah bahasa universal, yang merupakan simbol dari kehidupan.

Lagu yang dinyanyikan dengan iringan drum, biola, gitar, saksofon, dan flute dan sungguh enak didengar serta sangat tepat dilatunkan pada saat ini adalah Lebaran (Selamat Hari Lebaran).

Demikianlah potongan lagu yang mereka nyanyikan dengan penuh semangat itu:

Selamat hari lebaran,
Minal ‘aidin wal faizin,
Mari bersalam-salaman,
Saling memaaf-maafkan,
Ikhlaskanlah dirimu,
Sucikanlah hatimu,
Sebulan berpuasa,
Jalankan perintah agama..


Lagu itu, sederhana dan sangat akrab di telinga kita. Tetapi, dalam kesederhanaan lagu yang disebut sebagai karya M. Jusuf pimpinan Orkes Widjaja Kusuma dan pertama kali dinyanyikan oleh Oslan Husein pada tahun 1960-an (ada yang menulis 1959), tersimpan pesan yang sangat mendalam.

Pesan kemanusiaan, pesan persahabatan, pesan persaudaraan, bahkan pesan agama. Sebuah lagu syukur, bersyukur kepada Tuhan, “Mari mengucapkan syukur, ke hadirat Illahi…”

Apalagi, Azyumardi Azra menulis, ibadah puasa yang ditunaikan kaum mukmin dan muslim, seperti selalu diulang-ulang para Guru Sufi, merupakan riyadhah jismaniyah wa ruhaniyah, latihan fisik dan spiritual ke arah penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs) yang pada gilirannya akan dan dapat mengembangkan unsur-unsur lahut (ketuhanan) dalam diri manusia.

Jika hal itu bisa dicapai, manusia bukan hanya akan dapat membuka “tabir” (hijab) yang membatasi dirinya dengan Tuhan, tetapi sekaligus dapat memiliki ma’rifah (pengetahuan) yang memungkinannya untuk lebih arif dalam memandang diri, masyarakat, dan lingkungan alamnya. Inilah kemanusiaan yang fitri (Kompas, Sabtu, 23/12/200).

Idul Fitri adalah hari istimewa. Sebab, pada hari itu tidak ada seorang pun merasa benar. Semua mengaku salah; dan yang lebih penting lagi berani mengakui kesalahan, meminta maaf.

Betapa damainya negeri ini, kalau orang dengan tulus ikhlas mengakui kesalahannya dan meminta maaf dalam kehidupan sehari-hari.

Yang kemarin dulu mencerca, menghina, memfitnah, mengadu-domba, menyebarkan kabar bohong, dan juga mengumbar ujaran kebencian, dengan tulus ikhlas muncul dari relung hati paling dalam dan kesadaran penuh mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Bukankah, ajining diri soko lathi, harga diri seseorang ditentukan oleh tutur katanya (lathi = lidah).

Itulah, sebenarnya, roh dari Idul Fitri, yang semestinya bisa menjadi marwah dalam kehidupan sehari-hari, baik di rumah, di lingkungan pergaulan, lingkungan perkerjaan, bahkan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. 

Sayangnya, kita semua menyaksikan, dalam kehidupan nyata sehari-hari ternyata begitu banyak pernik-pernik kecil yang tidak hanya membutakan mata, tetapi bahkan membutakan mata hati. Kebenaran semu menjadi acuan.

Akan tetapi, mendengarkan lagi lagu Selamat Hari Lebaran yang dinyanyikan para suster dan para pastor  serta awam di Vatikan, kembali mengingatkan bahwa Idul Fitri menjadi asal dan orientasi kehidupan manusia ke hadirat Tuhan.

Idul Fitri menjadi makna simbolik kehadiran Tuhan di tengah manusia dalam awal kehidupan baru, yang fitri, yang murni.

Bukankah manusia diciptakan dalam keadaan suci. Karena itu, manusia dalam kehidupannya selalu merindukan apa yang baik, apa yang suci, apa yang benar; kebenaran yang sesungguhnya bukan kebenaran semu, bukan kebenaran palsu, atau merasa paling benar sendiri.

Bila hal itu benar-benar terjadi, maka rekonsiliasi politik, rekonsiliasi nasional yang musti dibangun—demi tetap terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa dan negara—setelah Pemilu 17 April lalu, akan terwujud. Sebab, tidak akan pernah ada rekonsiliasi kemanusiaan bila hati kita semua masih tersumbat residu kebencian, permusuhan, dan ketidak-saling percaya.

Itu berarti semangat cinta kasih, persaudaraan sesama anak bangsa, tinggallah cerita menjelang tidur. *

PS:

  • Artikel ini sdh tayang di Kompas.id hari Jumat tanggal 7 Juni 2019.
  • Tulisan selengkapnya bisa dibaca di https://triaskun.id/2019/06/07/nyanyian-dari-roma/

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here