In Memoriam Pater Stanis Ogabrek SVD: Uang di Saku Penderma, Mengemis untuk Membangun Gereja Lokal (2)

0
487 views
Almarhum Romo Stanis Ogabrek SVD. (Dok SVD Provinsi Jawa)

SEJARAH berdirinya Tarekat Societas Verbi Divini (SVD, Soverdi, Serikat Sabda Allah) berangkat dari satu keyakinan berikut ini. Kalau kerja kita layak untuk Tuhan, pasti Dia akan mengirim penolong untuk kita.

Santo Arnold Janssen mengungkapkannya dalam bahasa yang sederhana tapi sangat mendalam: “Uang ada di saku penderma.“

Itu tidak berarti para imam misionaris tinggal duduk diam saja. Para misionaris harus menunjukkan kerelaan dan kepekaan mereka, sikap solidaritas mereka untuk berkorban bagi umat yang mereka layani. Duka dan cemas mereka adalah duka dan cemas setiap murid Kristus.

Karena itu, para misionaris tidak malu“ untuk “mengemis” ke orang-orang yang berhati dermawan baik di daerah kelahirannya atau pun ke lembaga donatur lainnya di Eropa.

Para misionaris ini sadar, ketika mereka membuat proposal. Mereka sangat sadar diri akan kewajiban harus bisa mempertanggungjawabkan penggunaan keuangan yang mereka terima. Satu sen pun harus mereka pertanggungjawabkan kepada pihak donatur.

Urusan birokratis ini, tentu tidak mudah bagi mereka yang bergelut dengan dunia praktis. Tapi, urusan administrasi juga harus mereka lakukan secara tuntas dan tertib.

Kepribadian mereka dan pertanggungjawaban atas projek yang telah mereka ajukan itu membuat mereka dipercaya oleh para penderma dan lembaga donatur.

St. Arnoldus Janssen, imam berdarah Belanda-Jerman, sang Pendiri Serikat Sabda Allah (SVD).

Belaskasih para penderma

Selain karena kejujuran para misionaris, pembangunan di daerah misi tercapai berkat belaskasih para dermawan.

Para penderma di Eropa, misalnya, tidak selamanya orang kaya. Mereka juga harus bangun pagi-pagi buta dan pulang ketika hari sudah malam untuk bekerja dan menghasilkan uang.

Uang yang mereka dapatkan dari kerja keras itu lalu mereka sisihkan bagi para misionaris, untuk karya mereka dan untuk orang-orang yang mereka layani di “seberang lautan sana”.

Para penyumbang di Eropa, tidak hanya datang dari kawanan para saudagar, orang-orang kaya dan para pemilik perusahaan-perusahaan. Melainkan juga datang dari mereka yang sangat biasa-biasa saja. Bahkan tidak jarang, mereka itu hanyalah anak-anak SD, anak-anak SMP-SMA. Banyak dari mereka adalah keluarga muda, namun yang terbanyak adalah orang-orang tua.

Di kampung asal para misionaris itu selalu ada kegiatan pengumpulan dana untuk mendukung karya “anak kampungnya“ di negeri seberang.

Ilustrasi: Kolekte dalam sebuah misa bersama Mgr. Aloysius Murwito OFM di Stasi Sagare, tujuh jam perjalanan naik speedboat dari Asmat. (Mathias Hariyadi)

Sternsinger

Orang Eropa, di Jerman misalnya, sejak dini anak-anak sudah dididik untuk membantu orang lain.

Salah satu gerakan pengumpulan dana terbesar seperti Sternsinger (Anak-anak Tiga Raja) yang aksinya selalu berlangsung pada akhir pekan menjelang pesta Tiga Raja. Program ini dibuat oleh anak-anak untuk anak-anak.

Mereka “mengemis“ dari rumah ke rumah. Tujuan pengumpulan dana sudah mereka sebarkan melalui berbagai kanal.

Kanzler/in Jerman, Presiden Jerman sampai ke rumah orang-orang sederhana mereka kunjungi. Kegiatan ini telah berhasil mengumpulkan puluhan bahkan ratusan million Euro (Triliun Rupiah) untuk karya misi Gereja. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here