Lembut Keluar, Tegas Kedalam

0
1,070 views

Minggu Biara 26, B; 27 Oktober 2015
Bil. 11:25-29; Yak. 5:1-6; Mrk. 9:38-43.45.47-48

Ajaran Yesus hari ini, bicara tentang dua hal.

Yang pertama adalah sikap kita terhadap orang yang ada disekitar kita. Barangsiapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita.

Yang kedua adalah sikap kita terhadap kelemahan diri kita. Barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil… dan jika tanganmu menyesatkan engkau.. Ajaran Yesus adalah untuk kita yang menyebut diri pengikutNya: Kepada orang luar, Yesus bersikap lembut dan pengertian. Kita perlu tegas pada diri kita sendiri.

Hal-hal yang membuat kita tersesat, jatuh dalam dosa, menjadi sandungan bagi orang lain, harus dicabut dari diri kita. Juga seandainya hal itu merupakan hal yang sangat berharga seperti mata, tangan dan kaki. Kata menyesatkan, bahasa Yunaninya skandalizō, dalam bahasa Indonesia menjadi skandal, hal yang membingungkan, memberi kesan keliru pada orang lain. Jadi ukurannya ialah apakah tindakanku membantu atau malah menyesatkan orang-orang yang menjadi tanggung jawabku?

Di sini kita dihadapkan antara pilihan sikap dunia: sangat memahami dan penuh pengertian untuk diri sendiri dan keras kepada orang lain dan sikap Yesus: penuh pengertian kepada orang lain dan tegas kepada diri sendiri.

Ini cerita dari seorang teman yang bertahun silam pergi ke Papua New Guinea untuk urusan bisnis. Ia ditemani oleh dua orang temannya dan tinggal di sebuah rumah di pedalaman. Rumah ini dirawat oleh seorang lokal, yang tugasnya hanya dua yakni merawat rumah dan memasak. Semuanya oke-oke saja, kecuali satu hal: mereka punya satu botol anggur yang mahal yang disimpan di ruang makan, yang setiap harinya sepertinya terus berkurang padahal mereka tidak pernah meminumnya.

Anggur ini mahal dan mereka ingin menyimpannya untuk acara spesial. Mereka pun memutuskan untuk mengukur kekurangannya dengan membuat garis kecil pada botol, sehingga apabila memang berkurang lagi mereka bisa tahu dengan jelas. Dan setelah membuat garis tersebut, mereka menemukan memang jumlah anggur dalam botol tersebut berkurang terus setiap hari, walau sedikit demi sedikit.

Mereka tidak punya tertuduh lain lagi selain sang penunggu rumah lugu tersebut, sebab ketiganya memang jarang di rumah. Suatu kali ketiganya pulang ke rumah dalam keadaan mabuk dan mereka merencanakan memberi pelajaran si penunggu rumah. Mereka mengambil botol anggur dan mengganti isinya dengan (maaf) air seni mereka. Setelah itu mereka letakan kembali seperti biasa. Dan yang mereka temukan, setiap hari jumlah air seni ini pun berkurang seperti halnya anggur.

Suatu hari mereka tidak tega lagi membayangkan bahwa si penunggu rumah yang baik hati ini sampai meneguk air seni mereka. Mereka memutuskan untuk memanggil si penunggu rumah dan menanyakan perihal anggur. Dan dengan gaya yang tidak menuduh langsung, mereka mengatakan bahwa mereka perhatikan persediaan anggur mereka di satu-satunya botol di rumah itu selalu menipis, dan pasti ada seorang di rumah ini yang meminumnya!

Serta merta si penunggu rumah polos ini menyahut, “Not me, Boss! Selama ini saya hanya selalu pakai untuk keperluan memasak untuk para Boss!” Kalau bisa bertanya, kenapa berasumsi? Kadang kita justru mendapatkan akibat dari perbuatan kita sendiri, yang sebenarnya tidak perlu. (Today’s insight: Not Me, Boss).

Kita sudah belajar tentang perlunya bersikap kasih terhadap orang lain.

Mengapa Yesus yang penuh cintakasih menjadi begitu keras kepada kita? Jika kita membaca Injil, Yesus penuh kelembutan kepada mereka yang sakit, lemah, kecil, berdosa dan sederhana. Tetapi kepada para penguasa, pimpinan bangsa Yahudi, dan kepada para muridNya Yesus tegas dan bahkan berani mencela mereka. Bagaimana sikap Yesus terhadap diriNya sendiri? Ada saat-saat Yesus memperhatikan kepentinganNya: Ia tertidur di kapal waktu ada badai. Dia membiarkan kakiNya diurapi Maria Magdalena dan Ia mengurus agar dapat masuk kota Yerusalem dengan arak-arakan meriah waktu Minggu Palma. Tetapi hal-hal itu dilakukanNya demi pengajaran dan iman orang yang dilayaniNya. Selain dari itu, Ia menyebut diri tidak punya batu untuk kepalaNya dan Yesus membiarkan diriNya ditangkap, disiksa dan dibunuh.

Seperti dosa dan penyesatan itu terwujud lewat mata, tangan dan kaki – yang melambangkan seluruh tubuh manusia – begitu juga Cinta kasih, perlu mendapat wujud nyata dalam sikap hidup sehari-hari. Salah satu wujud cintakasih dalam hidup bermasyarakat dan hidup bersama ialah: sikap mementingkan, perhatian, pengertian pada orang lain dan memilih tegas kepada diri sendiri. Jika kita memang hidup dalam cintakasih Tuhan dan mengalami kasih Tuhan itu dalam hidup setiap hari kita, maka kita juga akan mendapat kekuatan untuk mewujudkan cinta kasih ilahi itu dalam hidup kita bermasyarakat.

Saya sudah mencurahkan tenaga pada sebuah proyek. Tetapi saya gagal. Saya berjuang untuk jadi suci. Tapi saya tetap berdosa. Saya melayani Tuhan sebaik yang saya mampu dan kareha hal ini saya dianianya, dilecehkan, dihina, dicurigai, dituntut, dicurangi berkelompok, dihancurkan, diinjak-injak, dihancurkan. Saya orang gagal, cuma cacing yang tak berharga.

Tetapi anak saya datang dan berkata: “Papa tahu, saya adalah anak yang paling beruntung di dunia. Karena papa jadi ayah saya! papa orang baik dan papa itu yang terbaik!” Istri saya datang dan bercerita. “Sayang, tante baru saja nelpon dan bilang bahwa keputusanku yang terbaik adalah menikah dengan kamu. Dan dia benar! Saya tak dapat membayangkan hidup tanpamu.” Lalu ibu menelpon saya dengan suara parau setengah menangis dia berbisik: “Mama sayang kamu nak. Mama bangga sama kamu. Kamu yang membuat keluarga kita bersatu dan utuh.”

Saya menutup mata, sambal berlinang air mata saya berdoa: “Terimakasih Tuhan. Tuhan membuat saya jadi orang yang sangat penting. Saya seorang PEMENANG, saya DICINTAI’ saya BERHARGA.” (Food for Thought: Worthless … Priceless).

Mari kita mohon agar perjuangan kita menjadi baik, membuahkan Cintakasih Allah tinggal dalam hati kita. Semoga kasih itu melimpah dalam hidup kita; dari Tuhan dan dari sesama di sekitar kita; sehingga kita dapat menularkannya kepada sesama yang ada dalam hidup kita setiap hari. Amin.

Kredit foto: Ilustrasi (Ist)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here