Melihat Tuhan dari Perempuan Berkebaya dan Berjarit

2
700 views
Bu Painah dari Lingkungan Barnabas Paroki St. Paulus Pringgolayan, Bantul, DIY. (Balaseda)

MATAHARI belum begitu menyengat, suasana pagi juga belum begitu ramai. Di sela lalu-lalang kendaraan tampak sosok para ibu atau simbah yang berkebaya dan berjarit. Ada yang sedang ngobrol dengan tukang becak, ada yang menunggu bus kota, dan ada yang cuma berdiri saja, mungkin karena menanti jemputan dari keluarga.

Kira-kira begitulah suasana yang saya alami puluhan tahun yang lalu di seputaran Yogyakarta ketika masih berstatus mahasiswa perantau dari luar Jawa. Kebetulan pula momen seperti itu biasanya terjadi pada hari Minggu di sekitar area gereja.

Ya…, para perempuan berkebaya dan berjarit itu adalah umat Gereja.

Berjarit

Tampilan mereka sederhana saja, tapi pancaran keteduhan dan kedamaian bisa saya rasakan ketika menatap mereka. Kesan itu begitu membekas di benak saya sampai saat ini.

Setelah menikah dan menetap di Lingkungan Barnabas Paroki St. Paulus Pringgolayan ternyata memori itu muncul kembali. Saya bertemu langsung dan bahkan mengenal lebih dekat para simbah yang ketika ke gereja selalu memakai kebaya dan jarit. Mungkin bukan hanya saat ke gereja saja tetapi sudah merupakan kebiasaan mereka sehari-hari untuk selalu memakai kebaya dan jarit.

Kebaya adalah baju wanita bagian atas dan berlengan panjang. Baju ini adalah pakaian tradisional yang umumnya terbuat dari bahan yang tipis. Sementara jarit adalah sarung, batik, atau tenunan tradisional berbentuk panjang yang biasa dikenakan berpasangan dengan kebaya.

Bu Painah

Salah satu sosok pemakai kebaya dan jarit yang saya kenal adalah Ibu Maria Magdalena Painah, sering disapa dengan sebutan Bu Painah. Wanita yang berumur sekitar 75 tahun ini adalah umat Lingkungan kami yang berstatus janda dan tinggal sendirian di sebuah rumah yang lumayan sempit.

Sejak awal kedatangan saya di Lingkungan Barnabas, sosok Bu Painah telah memberi kesan yang berbeda. Saya kagum dengan kesederhanaan dan kegigihannya.

Sebagai seorang janda yang lanjut usia, beliau tetap semangat mengikuti berbagai kegiatan di lingkungan. Dalam kondisi malam hari tetap semangat berjalan kaki ke tempat acara walau mungkin cukup berat baginya.

Sebenarnya, bukan hanya Bu Painah yang telah memberi inspirasi, karena di lingkungan kami juga ada beberapa warga yang di tengah berbagai keterbatasan dan hambatan tetap berusaha terlibat aktif di lingkungan.

Salam dan hormat saya bagi mereka semua.

Tulisan pendek ini saya akhiri dengan sebuah cerita.

Beberapa hari lalu di Lingkungan kami diadakan pertemuan dalam rangka Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN). Di tempat pertemuan, sebelum mulai acara, saya bertemu dan disapa oleh Bu Painah, “Pak, nanti saya ikut mbonceng kalau pulang ya…”.

Spontan sambil tersenyum saya membalas, “Ya… Bu Painah”.

Bu Painah dan beberapa ibu yang sudah sepuh memang kadang meminta tolong untuk ikut bonceng motor saat pulang, apalagi kalau acaranya malam.

Singkat cerita, setelah acara pertemuan selesai maka saya pun memenuhi janji untuk mengantar pulang Bu Painah.

Dalam perjalanan, di atas motor terjadi percakapan, Bu Painah beberapa kali berkata, “Maaf ya pak…sudah merepotkan”.

 

Sampai suatu ketika, Bu Painah berbicara lagi, “Orang-orang dan tetangga saya itu sering ngomong, Bu Painah kok gak takut tinggal sendiri dan ke mana-mana jalan sendiri?”

Kemudian bu Painah berkata, “Kenapa harus takut? Kan ada Tuhan saya”.

Mendengar kalimat terakhir dari Bu Painah itu sontak membuat saya cukup tersentak. Pembicaraan pun tidak berlanjut lagi karena sudah sampai ke rumah Bu Painah.

Saya pamit ke Bu Painah sambil terus terbayang kalimat terakhir dari beliau tadi, “Kenapa harus takut? Kan ada Tuhan saya”.

 

Saat sampai di rumah saya kembali merenung, dan akhirnya saya malah bersyukur bahwa saya mendapat “pelajaran” dari bu Painah. Saya merasa diingatkan oleh Tuhan dari seorang perempuan berkebaya dan berjarit itu bahwa Tuhan selalu ada bagi saya.

 

Semoga saya dan semua pembaca kisah ini bisa semakin diteguhkan dalam iman bahwa “Tuhan Yesus selalu ada” bagi kita di tengah berbagai persoalan dan pergumulan hidup kita. Amin.

2 COMMENTS

  1. Saya baru kali ini membuka biji sesawi.net ketika hape sedang direparasi. Saya merasa bahwa dengan isi yang padat berisi dari renungan ini membuat saya lebih mampu mencerna. Terlebih lagi gambar yang membuat saya bisa membayangkan seorang yang sedang menabur benih di Palestina yang jauh dari Indonesia.

    salam dalam Kristus

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here