Turne ke Keuskupan Ketapang, Kalbar: Pastor Pejantan Tangguh Bernyali Besar Mengukur Jalan Panjang Berliku (2)

0
1,090 views
Ilustrasi: sendiri di pedalaman hutan. (Mathias Hariyadi)

TAK ada istilah pastor ‘manja’ alias suka ‘bermanja-manja’  dengan fasilitas dan layanan kebaikan umat di Keuskupan Ketapang. Yang ada di sini adalah  para pastor ‘pendekar’ yang boleh dikata suka berpetualang ria melibas jalanan sepi, berkelok, berliku, dan ‘campur aduk’ dan itu mengisi hari-hari mereka berpastoral di Keuskupan Ketapang, Kalbar.

Amat sedikit kisah yang pernah saya dengar, misalnya, pastor harus dijemput umat ketika akan melakukan pelayanan sakramental atau keperluan lain. Yang terjadi, para pastor diandaikan sudah harus punya ‘nyali besar’ untuk pergi kemana saja.

Bisa sendirian atau mengajak OMK untuk sekedar ‘menemani jalan-jalan bersama’ daripada sendirian.

Mgr. Pius Riana Prapdi naik sepeda motor meniti jalan papan bernama miting (Ist)

Simbiosis mutualis. Pastornya dapat teman jalan, sementara para OMK juga dengan senang hati ‘melampiaskan’ jiwa avonturirnya dengan mengunjungi daerah-daerah yang mungkin takkan mereka jumpai atau kunjungi bila tidak diajak pastornya.

Sudah sepuh, tetap oke punya

Dua pastor diosesan (praja) Keuskupan Ketapang ini bisa dibilang sudah tidak muda lagi. Mereka berdua yakni Romo Made Sukartia Pr dan Romo Atmo Pr. Keduanya alumni Seminari Mertoyudan tahun masuk 1974, empat tahun senior saya. Usia mereka sudah pasti di atas 60 tahun.

Dan yang menarik,  keduanya tidak ‘manja’ fasilitas. Ke mana pun pergi, kedua imam diosesan ini suka mengendarai motor bebek yang sudah butut untuk melakukan pelayanan sakramental dan pastoralnya.

Romo Made Pr asli berasal dari Bali. Salah satu kakak kandungnya adalah almarhumah suster biarawati OSF Semarang.  Bangunan gedung Gereja St. Carolus Boromeus – Paroki Tembelina –sekitar 3,5 jam perjalanan bermobil dari pusat Kota Ketapang—adalah salah satu hasil karyanya. Maka tak heran, bila bangunan gereja ini bercorak arsitektur Bali.

Romo Atmo Pr mengaku tak bisa lagi naik sepeda motor ‘laki’. Perabot tubuhnya,terutama di bagian lutut, sudah tak mampu kuat menyangga beban berat sepeda motor ukuran besar. Karena itu, kata imam yang menyelesaikan teologinya di Roma ini, ia lebih suka naik sepeda motor bebek dan itu pun juga sudah butut lagi.

Romo Atmo Pr sesaat sebelum berangkat meninggalkan Pastoran Air Upas menuju Paroki Tembelina –sekitar 4 perjalanan naik sepeda motor– lengkap dengan “seragam tempurnya’. (Mathias Hariyadi)
Romo Atmo menikmati pesta kebun usai misa tahbisan imamat di halaman Gereja MRPD Air Upas. (Mathias Hariyadi)

Penulis secara kebetulan menjumpai keduanya di Gereja St. Maria Ratu Pencinta Damai (MRPD) Paroki Air Upas, selepas misa penerimaan Sakramen Imamat – Tahbisan Imam Diakon Bonefasius Mite Pr, tanggal 29 Juni 2019 lalu.

Lantaran sama-sama alumni Seminari Mertoyudan, kami bertiga lantas menjadi akrab dalam pembicaraan. Apalagi, adik kandung Romo Sukartia adalah Ambrosius Adiwijaya, teman seangkatan saya di Mertoyudan.

Juga dengan Romo Atmo. Kami pernah dalam satu ‘perahu besar’  dalam masa pendidikan kami.

OMK kecelakaan

Usai acara tahbisan di Air Upas, kami melakukan perjalanan pulang naik mobil 4×4 WD bersama Romo Bangun Pr. Itu terjadi pada hari Sabtu tanggal 30 Juni 2018 menjelang sore.

Berbeda dari rute awal melalui Kendawangan, kali ini kami memilik rute berbeda yakni dari Air Upas menuju Ketapang melalui Tanjung, Tumbang Titi, dan Tembelina.

Menolong OMK yang baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas tunggal di Jalan Bauksit.
Masih bisa bercanda, meski meringis kesakitan karena perih kakinya. (Mathias Hariyadi)

Tujuannya tak lain ingin mengenal lokasi paroki-paroki di pedalaman yang sering kali hanya mampir di telinga, tapi tak pernah mendapatkan gambaran nyatanya.

Selepas kami meninggalkan Air Upas, kami bertemu rombongan OMK bersama Romo Made Sukartia Pr tengah beramai-ramai naik motor melalui Jalan Bauksit –begitu orang lokal menamai ‘jalan perusahaan’ ini.

Namun, tiba-tiba di tengah jalan, kami melihat seorang OMK mengalami kecelakaan lalu lintas. Motornya selip dan kedua penumpangnya berguling-guling terlempar ke jalan.

Tekstur tanah yang lumayan keras ini menjadikan OMK –pengemudi motor—mengalami luka di sepanjang kakinya, lantaran kulitnya terkelupas terkena gesekan tanah keras. Pergelangan tangannya juga cidera. Yang pasti, kata Pipit Prahoro, tidak ada luka serius di tubuhnya.

Syukurlah, di mobil kami masih tersedia tempat longgar bagi OMK yang kesakitan dan tanpa henti mengaduh kesakitan di sepanjang jalan ini.

Persinggahan kami di Tanjung untuk minta pengobatan berhasil, karena Sr. Elisa Petra OSA yang tahu soal pengobatan medik jsudah tiba dari perjalanan pulang dari Air Upas. Karena itu, kami segera berlanjut menuju ke Tumbang Titi untuk selanjutnya ke Tembelina.

Romo pejantan tangguh

Di sebuah titik menjelang Tanjung dan ketika hari sudah menjelang sore hari, rombongan kami bertemu dengan Romo Atmo.

Wajahnya sudah kuyu, sedikit pucat, lantaran sudah hampir tiga jam meninggalkan Air Upas menuju Paroki Tembelina –masih 4 jam perjalanan lagi– di mana sekarang ini ia tengah bertugas.

Medan tempur tidak terjadi di ‘lapangan’ jalan perusahaan yang penuh kobangan lumpur. (Topan Putra Tan)
Topan asal Paroki Sandai menimati petualangannya naik motor di jalan berdebu.
Jalan berlumpur pekat adalah ‘makanan’ sehari-hari dalam berpastoral di Keuskupan Ketapang.
Jalan perusahaan yang sangat licin di kala musim hujan karena jenis tanah merah. Namun menjadi sangat ‘berkabut’ karena penuh debu ketika jalan ini dilalui kendaraan mobil atau bahkan motor sekalipun. (Topan Putra Tan)

Kontak dengan Romo Atmo amat susah dilakukan di sepanjang perjalanan dari Jalan Bauksit ke Tanjung ini lantaran ketiadaan sinyal.

Barulah di sebuah titik perjumpaan itu, kami bisa bertemu Romo Atmo.

Turne ke Keuskupan Ketapang, Kalbar: Jalan Panjang, Rusak, dan Berliku ke Air Upas (1)

Ketika mendengar bahwa salah satu OMK-nya dari Paroki Tembelina mengalami kecelakaan lalu lintas tunggal di Jalan Bauksit, naluri ‘pejantan tangguhnya’ terusik cepat. Ia buru-buru mengatakan mau menyusul ke lokasi. Ini berarti ia harus ber balik arah lagi menuju Air Upas untuk mendapatkan lokasi OMK-nya itu.

Untunglah bahwa Romo Made sudah berhasil menggapai lokasi persinggungan itu  lebih dulu. Ampun dah. Dengan naik sepeda motor butut, imam berdarah Bali ini berhasil mencapai lokasi di titik singgung itu lebih cepat dari mobil kami.

Ngebut sudah.  Itu pasti karena roda-roda motor itu bisa melalui  ‘jalan bebas hambatan’. Hambatan utamanya hanyalah hujan debu,  ketika musim kemarau.

Bisa dibayangkan, dengan cara apa Romo Atmo akan bisa ‘membopong’ OMK-nya yang terluka itu kalau hanya memakai sepeda motor.

Barangkali harus dikatakan begini. Tuhan setidaknya telah “menuntun” perjalanan kami dengan mobil melalui rute berbeda dari Air Upas ke Ketapang dibanding rute awal dari Ketapang menuju Air Upas.

Berkat keputusan ini, OMK yang terluka itu bisa ‘kami ambil’ tanpa harus merepotkan Romo Atmo dan Romo Made yang sudah mau berusaha ‘mengangkutnya’ dengan motornya.

Di sini memang tidak terjadi aksi ‘angkut-mengangkut’ korban kecelakaan oleh kedua imam praja Keuskupan Ketapang ini. Namun, dari niatan luhur ‘mau mencari dan menemukan’ lokasi OMK terluka itu, saya melihat semangat dasar mereka dalam pelayanan.

Di Keuskupan Ketapang, para pastor itu sungguh petarung pejantan yang tangguh dalam mengarungi jalan panjang berliku, tanpa banyak mengeluh di sana-sini. (Berlanjut)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here