
SIANG di tengah teriknya panas matahari di Ketapang pada tanggal 27 Desember 2016 itu dan bersama Uskup Keuskupan Ketapang Mgr. Pius Riana Prapdi, kami datang mampir ke Biara Suster-suster Agustinian (OSA) di ‘pusat kota’ Ketapang. Ini merupakan kunjungan kami untuk kedua kalinya, setelah empat tahun sebelumnya kami juga masuk kompleks residensial dan karya para suster OSA ini bersama teman asal Ketapang: Anselmus Moly Paher.
Selain bertemu dengan Pemimpin Umum Tarekat Agustinian yakni Sr. Ignasia OSA dan para suster Agustinian lainnya di kamar tamu, kami juga bertemu kenal dengan Sr. Regina OSA.
Pertemuan dengan suster sepuh berdarah campuran Tionghoa dan Dayak ini menjadi menarik atas dua hal.
- Pertama, karena Sr. Regina baru saja merayakan pesta emas 50 tahun hidup bakti sebagai suster biarawati Agustinian di tahun 2016 lalu.
- Kedua, ia adalah cucu dari misionaris awam katolik yang langsung datang dari daratan Tiongkok menuju Singapura untuk tujuan berdagang sembari mewartakan Kabar Gembira di Tanah Kayong di Keuskupan Ketapang.
Baca juga:
- Turne Masuk Pedalaman Ketapang bersama Uskup: Pertama Kali Melihat Kota (2)
- Turne Masuk Pedalaman Ketapang bersama Uskup Mgr. Pius Riana Prapdi (1)
- Cerita Bergambar Turne Masuk Pedalaman Ketapang bersama Mgr. Pius Riana Prapdi
- Lebih Jauh dengan Keuskupan Ketapang, Kalbar: Para Uskup, Katekis, dan Tokoh Umat (2)
- Lebih Jauh dengan Keuskupan Ketapang, Kalbar: Misi Awam Katolik dari Tiongkok (1)
Sr. Regina OSA adalah seorang anak kembar. Ia menempati urutan anak ketiga dalam keluarga pasangan orangtua bernama Carolus Heng Izin dan Ana Tan Ngoi Kim. Lahir pada tanggal 8 Desember 1942 bersama saudara kembarnya, sebagai anak ia mengakut telah dididik dengan ekstra perhatian dari kedua orangtuanya.
“Karena itu, saya tumbuh menjadi seorang pribadi yang kurang mandiri, penuh keraguan, lamban dalam keberanian mengambil keputusan,” tulis Sr. Regina OSA dalam sebuah nukilan buku kecil bertitel Perjalanan Panggilan Hidupku: Pesta Emas 50 Tahun Hidup Membiara, 1963-2016 yang dirilis secara terbatas hanya dalam bentuk foto kopian ini.
Menempuh pendidikan SD dan kemudian SKP di Ketapang, Sr. Regina akhirnya tertarik ingin menjadi seorang suster biarawati dan kemudian melamar masuk Tarekat Suster-suster Agustinian di Susteran OSA Ketapang.
“Tahun 1963, saya masuk postulat OSA dan setahun kemudian menjadi novis kanonik lalu setahunnya lagi menjadi novis tahun kedua pada tahun 1965. Pada tahun 1966, saya boleh mengucapkan kaul pertama (sementara) sebagai suster Agustinian. Dari tahun kaul pertama inilah, saya lalu meniti masa hidup bakti saya selama 50 tahun terakhir ini,” tulisnya dalam buku tersebut disertai beberapa keterangan tambahan saat kami bertemu di Susteran OSA Ketapang.

Baru pada tahun 1972, Sr. Regina diberi kesempatan oleh OSA bisa mengucapkan kaul kekalnya sebagai suster Agustinian.
Kabar sedih
Tak lama setelah mengucapkan kaul kekalnya sebagai seorang suster Agustinian, ibu kandungnya meninggal dunia. “Dengan perasaan sedih, saya berusaha tetap bisa tegar hati dan tetap berkehendak mau menjalani hidup bakti sebagai seorang suster,” tulisnya.
Rupanya, kematian ibunya itu telah mengguncang hebat kedirian Sr. Regina. Lima tahun kemudian, goncangan jiwa itu terjadi lagi, ketika ayahnya juga meninggal dunia. “Ini pergumulan batin yang hebat melanda jiwa saya,” tulis Suster Regina OSA dalam nukilan buku sederhana itu.
Ada kabar senang yang membuat hatinya merona. “Adik saya akan menikah,” kenangnya dalam buku tersebut.
Satu abad Keuskupan Ketapang
Salah satu kebanggaan hati keluarga besar Sr. Regina adalah fakta sejarah bahwa kakeknya yakni Tan Ani merupakan satu dari tiga bersaudara ‘rasul awam katolik’ dari Tiongkok yang datang membawa kabar gembira pertama kali ke Tanah Kayong Ketapang.
Catatan historis yang disimpan Keuskupan Ketapang menyatakan kisah heroik sebagai berikut:
“Para pedagang Tionghoa berperan penting dalam pewartaan Injil di Ketapang. Mereka berdagang sampai ke daerah Matan, sebutan untuk Ketapang pada masa itu. Pada tahun 1910, ada lima keluarga Tionghoa dari Tiongkok pergi meninggalkan daratan RRC untuk keperluan berdagang menuju Singapura, Penang, dan akhirnya sampai ke Pontianak. Tiga dari lima keluarga yang berdagang tersebut akhirnya tiba dan menetap di Ketapang pada tahun 1911.”
“Ketiga keluarga itu adalah Tan A Hak, Tan A Ni dan Tan Kau Pue. Sambil berdagang mereka mewartakan Injil, Tan A Hak rajin bepergian ke daerah hulu Ketapang. Di Serengkah, Tan A Hak bertemu dengan orang-orang Dayak yang kemudian membuka diri dan imannya akan Yesus Kristus.”
“Usaha ‘misi katolik’ oleh aum awam ini rupanya telah menarik perhatian Mgr. Pacifikus Bos OFMCap (Prefek Apostolik Pontianak) dan beliau akhirnya mengunjungi mereka di Ketapang pada tahun 1911. Sejak saat itu, setiap dua tahun sekali, para pastor Kapusin diutus dari Pontianak agar bisa mengunjungi Ketapang.”
“Atas undangan Tan A Hak pada tahun 1917, Mgr. Pacifikus Bos OFMCap akhirnya datang mengunjungi Ketapang untuk kedua kalinya. Kali ini, beliau menyempatkan diri pergi ke Kampung Serengkah. Ia bertemu dengan Demong Gomalo dan masyarakat setempat serta mengajarkan iman katolik kepada mereka. Demong Gomalo merupakan orang Serengkah pertama yang dibaptis. Nama Baptisnya adalah Yosep. Kelak di kemudian hari, St. Yosep menjadi nama pelindung Paroki Serengkah.”
Bertugas di pedalaman
Usai mengucapkan kaul kekalnya pada tahun 1972 di Ketapang, Sr. Regina OSA mendapat tugas pelayanan pastoral di Sandai –sekitar 180 km jauhnya dari ‘pusat kota’ Ketapang. Setahun di Sandai, ia ditugaskan di Tanjung (6 tahun), lalu di Menyumbung (11 tahun). “Saat tugas di Menyumbung itulah, saya merayakan pesta perak hidup membiara sebagai suster biarawati Agustinian,” tulisnya dalam buku.
Berkarya di kawasan pedalaman hutan dan hulu sungai dimana tidak banyak permukiman penduduk telah membentuk mental baja sebagai pewarta Kabar Gembira. Transportasi darat dan melalui sungai dari Ketapang menuju kawasan pedalaman dan hulu pada waktu itu sungguh tidak sebaik seperti di tahun 2016 ini.

“Perjalanan dengan sepeda motor dan sampan klotok juga tidak selancar seperti sekarang ini. Ketika kami melewati Pesaguan, saya harus rela naik ojek puluhan kilometer dengan kondisi badan jalan penuh kobangan lumpur,” tulisnya.
“Saya juga masih ingat bagaimana harus pergi hilir mudik dari Menyumbung menuju kota di Ketapang dengan sampan motor berukuran kapasitas kecil PK (tenaga kuda) sehingga terdengar bunyi thok …thok… saat sampan kecil itu menyusuri aliran sungai,” kenangnya.
karena bunyi mesin thok …thok itulah, sampan motor berukuran kecil dengan tenaga mesin berukuran minim itu pula lalu disebut sampan klothok.
Semua pengalaman ‘dahsyat’ di pedalaman itu kian mengokohkan niatnya menjadi seorang suster biarawati Agustinian (OSA).
Keprihatinan besar sebagai warga lokal
Sebagai warga lokal asli Ketapang, Kalimantan Barat, hati kecil Sr. Regina OSA ikut menjerit haru. Inilah pengalaman batin yang menyesakkan hati, ketika setiap kali di pedalaman ia menyaksikan setiap hari saudara-saudari masyarakat Dayak di pedalaman harus bekerja sangat keras untuk menyambung hidup keluarga.
“Saya kadang merasa ikut prihatin dengan keseharian hidup mereka ini. Dari mulai terbitnya matahari sampai terbenamnya, mereka tiada henti bekerja keras untuk bisa hidup dan melanjutkan ritme kehidupan keluarganya sebagaimana mestinya,” tulisnya.
Ada hal besar yang telah ikut membuat hati Sr. Regina jadi ikut terhibur akhirnya. Yakni, ia mampu melihat kegigihan masyarakat lokal Dayak di banyak kawasan pedalaman hutan dan hulu sungai yang bagaimana pun keadaannya masih saja tetap hepi dalam semua keterbelakangan dan ketiadaan banyak fasilitas hidup sosial ini.
“Ada satu hal yang saya kagumi dari kehidupan para teman di kampung pedalaman di sana. Yakni, mereka tetap senang dan bahagia dengan apa yang mereka jalani dan miliki, sekalipun di mata saya semua itu serba terbatas dan sangat sederhana,” begitulah isi hati Sr. Regina OSA ketika melihat sisi keterbelakangan masyarakat Dayak di pedalaman Keuskupan Ketapang.
Ketika hidup di pedalaman, Sr. Regina sering ikut masuk pergi ke hutan belantara.
“Kadang kali, saya ikut mencari rebung bersama mereka. Juga tak lupa ikut nyandau. Inilah kegiatan tradisional orang-orang di pedalaman yang hingga kini masih tetap berlangsung, ketika orang harus masuk hutan belantara guna mencari buah-buahan yang masak saat tengah musim panen buah seperti durian, duku, dan lainnya di hutan. Ini merupakan sebuah pengalaman yang mengasyikkan dan sangat menyenangkan,” kenang Sr. Regina OSA.
Hadiah ziarah
Saat akhirnya merayakan pesta panca windu 40 tahun membiara, Sr. Regina OSA mendapat hadiah bisa mengikuti ziarah rohani ke Tanah Suci. “Saya sangat bahagia, bersyukur bisa pergi bersama sanak-saudara dan para donatur membawa saya pergi ke Tanah Suci,” kenangnya penuh syukur.
Ketika mau merayakan pesta emas 50 tahun hidup membiara, Sr. Regina OSA menyempatkan diri retret di Pratista Lembang, Bandung untuk persiapan batin menyambut hari sukacita tersebut.
Di penghujung tahun 2016, Sr. Regina OSA masih saja berpostur mungil. Namun, di ujung bibirnya senantiasa tersungging senyum hangat ketika menyambut Bapak Uskup Mgr. Pius Riana Prapdi, Ping dari Yayasan Bhumiksara (Jakarta) dan penulis dari Sesawi.Net dan AsiaNews.