Renungan – Berdua Mencari Kebenaran

0
695 views
Ilustrasi - (Ist)

Rabu, 12 Mei 2021

  • Kis 17: 5. 22-18: 1;
  • Yoh. 16: 12-15.

BANYAK kata dan perbuatan yang dapat mengungkapkan “kebenaran”. Sampai Pilatus berkata, “Apa itu kebenaran?”.

Semakin kebenaran itu “subjektif”, diharap tidak jauh berbeda dari kebenaran itu sendiri.

Manusia adalah pribadi multi tafsir. Tetapi kebenaran yang “kolektif” dapat juga menjadi sarana untuk bertindak ke arah yang lain.

Semakin mengembangkan kebaikan bersama semakin dekat dengan “kebenaran” itu sendiri. Kebenaran tidak terkait oleh “apa”. Tetapi terarah pada “siapa”.

Dalam keseharian dan kebersamaan, kita hanya bisa “sepakat” untuk hidup bersama. Traktat kesepakatan itu diharapkan mengikat dan memampukan pengembangkan kebaikan bersama.

Kesepakatan adalah sebuah konsensus bersama supaya kehidupan dapat dibangun dalam kebersamaan, seperti yang dicita-citakan.

Ini sendiri pun hanya merupakan satu sisi dari apa yang disebut kebenaran dunia. Kebenaran sejati bersifat abadi, mengarahkan hidup semakin manusiawi; semakin terbuka pada kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga dan menakjubkan.

Sebab, Yang Ilahi dan Abadi telah mencipta dan menebus dunia.

Kebenaran manusiawi

“Romo saya akan menikah, tapi keluarga dari pasangan saya keberatan kami harus nikah di Gereja Katolik”

“Kenapa?”

“Keluarga besarnya tidak mau. Beda agama. Ada sedikit ancaman, bila nekat. Mereka keukeuh berpendapat hanya nikah seturut kepercayaan mereka saja yang sah.”

“Kamu mencintainya?”

“Iya, Romo. Demikian juga dia. Kini kami bingung. Kami harus berhadapan dengan keluarganya. Awalnya dia keras. Saya pernah menggoda dia. Boleh di tempat kamu, asal kamu akhirnya bukan satu-satunya milikku?”

“Lalu?”

“Ia marah dan ngambek. Ia merasa tidak dihargai. Nggak mau cintanya dibagi-bagi. Terus saya bilang, justru di dalam Gereja kamu tuh dilindungi, dihargai sampai mati. Dan aku tidak bisa menceraikanmu, apa pun yang terjadi. Itu kalau kita ngomong soal agama lho ya. Soal iman dan moral menurut ajaran iman yang kuamini.”

“Hati kecilmu berkata apa?”.

“Ya saya tetap memilih di Gereja Katolik. Tetapi saya tidak mau kehilangan dia. Sama dia juga begitu. Saya butuh bimbingan, pedoman dan, ajaran supaya kehidupan kami itu langgeng; cinta kami tak terbagi dan kami tetap bersama selamanya.”

“Kalau tidak bersama dia gimana?”

“Wah, janganlah Romo. Kami sudah lama pacaran. Saya merasa cocok dan percaya  dapat saling membahagiakan. Banyak halangan telah kami atasi. Kedua orangtua juga sudah  setuju pada dasarnya. Masalahnya ya ini, Mo. Di mana bisa disahkan. Kami sepakat, apa pun halangan kami tempuh. Saya akan mencari cara lain supaya tetap bersama dengan dia.”

“Yakin? Kan harus ada yang mengalah bahkan mungkin kecewa? Kan harus ada yang berani berkorban dengan sebuah alasan yang benar dan pasti.”

Cinta sejati tak terbagi, kadang membutuhkan pengurbanan.

Bukan hanya demi aku dan kau, tetapi demi Dia, di mana kita akan kembali sebagai ciptaan.

Itulah salah satu alasan mengapa Gereja memberkati pasangan yang beda agama; tanpa memaksa yang lain menjadi Katolik.

Iman itu anugerah. Betul. Kita harus mempertanggungjawabkan.

Tetapi kita juga harus berani belajar membuka diri akan kemungkinan-kemungkinan tak terduga; akan karya Roh Kudus dalam diri setiap orang yang berkehendak baik.

Bicaralah dengan lebih baik; pertimbangkan lagi untung ruginya kamu berkeluarga dengan dia, dari dua sisi perbedaan.

Sadarilah, kebenaran saat ini “sering diartikan” sebagai sesuatu yang dapat dihasilkan lewat ilmuseperti apa yang terjadi seperti biasa di masyarakat; apa yang dapat membuat hidup lebih mudah dan menyenangkan.

Yesus berkata, “Apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran.” ay 12a.

Dan Santo Paulus meneguhkan, “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada ada.” ay 28a.

Tuhan, aku mohon untuk dapat setia dalam iman akan Engkau.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here