“Suara Kebenaran” Selalu Mendapat Tentangan

0
93 views
Ki-ka Mgr Romero, Romo Mangun, dan Romo MAW Brouwer OFM. (Ist)

SETUA sejarah umat manusia, “suara kebenaran” selalu mendapat tentangan. Bahkan dalam bentuk kekerasan. “Suara kebenaran” disebut pula “suara kenabian” atau “suara langitan”.

Kitab Kejadian Perjanjian Lama mengajar bahwa sejarah awal manusia ditandai dengan pembunuhan yang dilakukan Kain terhadap adik kandungnya, Abil.

Abil menyatakan “suara kebenaran” dengan metafora asap putih hasil kurban bakarannya yang membubung tinggi ke langit. Ini membuat Kain iri. Diambilnya tongkat, dipukulnya kepala Abil hingga tewas. Skor 0-1 untuk kekalahan “suara kebenaran”.

Banyak kisah senada yang mewarnai tentangan terhadap “suara kebenaran”. Salah satunya di Amerika Latin, kota San Salvador, El Salvador.

Oscar Arnulfo Romero (1917-1980), prelatus Gereja Katolik El Salvador sekaligus Uskup Keuskupan Agung San Salvador, ditembak mati saat mempersembahkan misa di Kapel kecil La Divina Providencia, 24 Maret 1980. Mgr. Romero dikenal sebagai pembela rakyat kecil terhadap kekejaman penguasa, yang dikenal otoritarian dan penuh ketidakadilan.

“Suara kebenaran” terus dikumandangkan oleh Mgr. Romero dalam khotbah-khotbahnya, pernyataan-pernyataan politiknya, dalam dialog. Tak bisa dihentikan oleh ancaman senjata dan rumah penjara.

Tak heran kalau Mgr. Romero dibenci oleh para tuan tanah yang didukung pemerintah yang sewenang-wenang.

Dengan semboyan option for the poor, Mgr. Romero secara konsisten membela rakyat hingga akhirnya tewas diterjang peluru penentangnya.

Upacara pemakaman “sang martir” dihadiri oleh 250.000 pelayat dari seluruh penjuru dunia. Sempat diwarnai ledakan hebat di lokasi lain, The Cathedral Square yang menewaskan puluhan orang tak berdosa.

Suara kenabian “non-violence” dijawab dengan “non-existence”.

Gereja Katolik Roma tak ragu untuk mengakui dan mendukung “suara langitan” sang romo.

Pada tanggal 14 Oktober 2018, Monsinyur Oscar Arnulfo Romero menerima kanonisasi (dideklarasikan dengan predikt Orang Kudus) oleh Paus Fransiskus. Bukti bahwa peran dan kiprahnya sejalan dengan perjuangan Gereja Katolik Roma.

Perjuangan tak kenal lelah dan tak kenal takut yang dilakukan oleh Santo Arnulfo Romero diikuti oleh mereka yang selalu membawakan “suara kebenaran”. Mereka tahu persis bahwa “suara kenabian” harus terus dikumandangkan; tak peduli resiko seberat apa pun yang mengancamnya.

“Suara kenabian” tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Dalam skala dan lingkup yang berbeda, dua contoh kisah heroik serupa terjadi di Indonesia.

Yang pertama adalah Pater MAW Brouwer. Lengkapnya Martinus Antonius Weselinus Brouwer OFM (1923-1991). Beliau seorang fenomenolog, psikolog, budayawan dan penulis yang terkenal. Tulisan-tulisannya kritis dan tajam.

“Suara kebenaran” digaungkan melalui media massa terhadap pemerintah Orde Baru, terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa.

“Ulah” Pater Brouwer OFM memetik “buahnya”. Dalam suatu seminar yang diselenggarakan di kampus ITB dalam rangka Perayaan Natal (1976), Pater Brouwe, yang menjadi duo narasumber bersama KH Mahbub Djunaidi, tokoh NU dan budayawan, menceritakan pengalamannya. “Saya bukan seorang pemberani. Menggigil ketakutan, ketika diinterograsi oleh petugas tentang tulisan kritis yang dimuat media cetak.”

Terakhir, Pater Brouwer mendapat “hukuman berat”, ketika harus kembali ke Belanda karena permohonannya untuk menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) ditolak.

Yang kedua adalah Romo Mangun. Lengkapnya Yusuf Bilyarta Mangunwijaya (1929-1999). Beliau seorang budayawan, arsitek, penulis, dan aktivis sosial. Perjuangannya membela kaum miskin dan terpinggirkan menjadikan dirinya dicap kritis oleh pemerintah Orde Baru.

Julukan sebagai oposan melekat pada dirinya. Ditunjang dengan predikat sebagai aktivis, yang selalu gerah dan “berteriak” bila melihat ketidakadilan, Romo Mangun seolah masuk dalam “black list”.

Dua “proyek” besar yang menjadi perhatiannya adalah Relokasi Kali Code dan Pembangunan Waduk Kedung Ombo. Romo Mangun pernah mengancam mogok makan, bila penggusuran penduduk Kedung Ombo tetap dieksekusi. Itu sebab-musabab beliau dijuluki “ular” (ulo) oleh penguasa daerah waktu itu.

Di lain sisi, Romo Mangun malahan mendapat penghargaan “Aga Khan Award for Architecture” atas jasanya menata pemukiman di pinggir Kali Code.

Itulah kontradiksi yang dipetik bila seseorang selalu mengekspresikan “suara kebenaran”.

“Suara-suara kebenaran” serupa masih berbunyi sampai sekarang, bahkan sampai kapan pun. Ada benang merah sikap antara Santo Romero, Pater Brouwer dan Romo Mangun. Ketiganya berasal dari budaya yang berbeda tapi bentuk perjuangan mereka sama, tak mungkin ditutupi. Itulah sifat hakiki dari suatu “Kebenaran”.

Three things cannot be long hidden: the sun, the moon and the truth.” – (Buddha)

@pmsusbandono
14 April 2024

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here