Mati demi Hidup Kekal

0
2,456 views

[media-credit name=”Mats Eriksson” align=”alignleft” width=”300″][/media-credit]INI sebuah kisah yang bisa menjadi teladan bagi kita semua bagaimana kasih mesti diwujudkan dalam sebuah tindakan bukan kata-kata. Ditulis oleh Pastor Markus Marlon MSC.
Pernah terjadi kebakaran di sebuah rumah yang membumihanguskan seluruh isi rumah sekaligus kandang ayam yang berada di belakang rumah. Ketika para pemadam kebakaran sedang mengais-ais reruntuhan demi menyelamatkan korban yang mungkin masih tersisa untuk diselamatkan, seekor induk ayam yang sudah menjadi arang ditemukan.

Setelah diperhatikan lebih teliti, ternyata dari balik sayap malang itu, keluar beberapa anak ayam yang lucu menciap-ciap, seolah hendak membangunkan induknya yang sudah mati tak berwujud. Rupanya dalam kebakaran itu, sang induk mengorbankan dirinya supaya anak-anaknya selamat.

Dalam dunia ikan, kita kenal dengan ikan Salmon. Jenis ikan ini hidup di laut yang maha luas.  Tetapi, jika hendak bertelur, ikan ini harus menempuh beratus-ratus kilometer untuk menemukan sungai yang tenang. Setelah bertelur dan menetas, sang induk harus mati, mengorbankan diri, karena dagingnya dimakan oleh anak-anak Salmon tersebut.

Dalam dunia burung, kita kenal burung pelikan. Burung ini menjadi simbol pengorbanan di Eropa pada Abad  Pertengahan. Burung pelikan ini selalu mempunyai paruh berwarna merah, bukan karena lipstik.

Ada kisahnya, begini. Bila si induk itu tidak dapat mencari makanan bagi anak-ananknya, si induk akan menusukkan paruhnya ke dalam temboloknya dan memberikan darahnya sendiri untuk anak-anaknya. Darahnya dikorbankan untuk anak-anaknya.

Kisah lain datang dari pengalaman seorang ibu. Ada seorang ibu miskin yang tersesat di hutan dengan bayinya. Ibu itu berjalan berhari-hari dan berteriak-teriak minta tolong sambil  menangis. Tetapi  tidak terdengar oleh siapa pun juga.

Ketika ibu  itu kehabisan tenaga dan melihat anaknya kelaparan dalam bahaya mati, ibu itu berkata dalam hati, “Tidak apalah saya mati, tetapi anakku ini harus hidup.”

Dia menusuk tangannya dengan kayu yang runcing dan meletakkan bibir anaknya pada luka yang mengalirkan darah segar, agar dapat minum dan hidup.

Esok harinya, beberapa pemburu lewat dan menemukan ibu itu sudah meninggal dunia, namun para pemburu itu menyelamatkan bayi yang masih hidup.

Pengorbanan  adalah kata kunci untuk  cerita-cerita ini. Tidak dapat diragukan lagi bahwa korban dari seorang ibu itu sungguh luar biasa. Bahkan pernah ada kisah seorang ibu sedang akan melahirkan seorang bayi.

Saat hendak operasi, dokter memberikan pilihan. Jika bayi hidup, maka ibu tidak tertolong dan sebaliknya. Tetapi jawaban ibu itu di luar dugaan, “Biarkanlah anakku yang hidup, sebab anakku belum menikmati indahnya dunia sedangkan aku sudah menikmati asam-garamnya kehidupan ini.”

Benar juga lagu anak-anak yang berjudul, “Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi, tak harap kembali  bagai sang surya menyinari dunia.”

Kita tahu dengan pasti bahwa pengorbanan seperti ibu ini secara definitif kita temui dalam diri Yesus Kristus. Ia mengorbankan nyawaNya supaya manusia mendapatkan keselamatan.

Yesus pernah menjawab apa yang dilontarkan para murid tentang diriNya : “Telah tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah. Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal.” (Yoh. 12: 23 – 25)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here