Kamis, 16 Oktober 2025
Rm. 3:21-30.
Mzm. 130:1-2,3-4b,4c-6. Luk. 11:47-54
TIDAK mudah untuk berdiri di pihak kebenaran, terutama ketika dunia lebih memilih diam demi aman, atau kompromi demi diterima.
Kadang, diam tampak lebih bijak, kompromi terasa lebih aman, dan mengikuti arus terlihat lebih cerdas. Namun di hadapan Allah, keberanian untuk tetap setia pada kebenaran jauh lebih berharga daripada segala bentuk penerimaan manusia.
Kita hidup di zaman ketika kebenaran sering dipelintir. Kejujuran bisa dituduh sebagai kesombongan, ketegasan dianggap kekerasan hati, dan kesetiaan pada nilai-nilai iman dianggap kuno.
Dalam situasi seperti ini, pilihan untuk tetap berpihak pada kebenaran menuntut kedewasaan rohani: hati yang tertambat pada Allah, bukan pada penilaian manusia.
Iman yang sejati menuntut keberanian untuk bersuara, bahkan ketika suara itu membuat kita berbeda, ditolak, atau disalahpahami.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat, sebab kamu telah mengambil kunci pengetahuan; kamu sendiri tidak masuk ke dalam dan orang yang berusaha untuk masuk ke dalam kamu halang-halangi.”
Tuhan Yesus sendiri memberi teladan keberanian yang sempurna. Ia tidak takut mengoreksi kemunafikan, menegur ketidakadilan, dan mengungkap kebenaran meski tahu bahwa akibatnya adalah salib. Ia tidak mencari popularitas, melainkan kesetiaan pada kehendak Bapa.
Dalam terang Injil, kita belajar bahwa menyatakan kebenaran bukanlah soal menang debat, tetapi soal mengasihi, karena kasih sejati tidak bisa diam ketika melihat kebohongan, penindasan, atau ketidakadilan berkuasa.
Namun keberanian ini sering menuntut harga. Kadang kita kehilangan teman, posisi, atau rasa aman. Tetapi justru dalam momen seperti itu, Tuhan memperkuat hati kita.
Tuhan tidak membiarkan kita sendirian. Ia memberi damai yang dunia tak dapat berikan — damai karena tahu bahwa kita berjalan bersama-Nya di jalan yang benar.
Kita dipanggil agar berani menyatakan kebenaran dengan kerendahan hati, tanpa kebencian, tanpa kesombongan, dan tanpa takut.
Sebab lebih baik menderita karena kebenaran daripada hidup nyaman dalam kebohongan.
Bagimana deengan diriku?
Apakah aku pernah memilih diam padahal tahu kebenaran perlu disuarakan?