“Apa pun yang kamu lakukan, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.” – 1 Korintus 10:31
SALAM dari Zaman Digital.
Pernah nggak sih, kamu merasa lebih sering “dengerin” AI daripada Tuhan sendiri? Lebih cepat buka ChatGPT buat cari jawaban hidup daripada membuka hati di hadapan Sakramen Mahakudus?
Kalau iya, kamu nggak sendirian.
Banyak dari kita -kaum muda Katolik dan bahkan para pelayan pastoral- semakin akrab dan tergantung pada teknologi, termasuk Kecerdasan Buatan (AI).
AI hari ini bukan cuma robot di film fiksi. Dia ada di genggamanmu, di hape-mu, bahkan masuk ke ruang refleksi pribadi kita. Tapi di tengah segala kemudahan itu, muncul pertanyaan penting:
- Apakah iman kita masih hidup dalam dunia yang serba digital ini?
- Atau justru makin tergerus oleh layar dan logika?
Netralitas AI vs. hati yang tak netral
AI itu netral ibarat pisau: bisa dipakai motong roti, bisa juga melukai.
Sama halnya, AI bisa kita pakai untuk hal baik: belajar, menulis renungan, menyusun bahan pelayanan. Tapi kalau kita bergantung terlalu jauh, kita bisa kehilangan sesuatu yang jauh lebih berharga: perjumpaan pribadi dengan Tuhan.
Paus Fransiskus pernah mengingatkan: “Kemajuan teknologi harus disertai kemajuan hati nurani moral.” – Pesan Hari Komunikasi Sedunia 2024
Artinya? AI memang cerdas, tapi tidak bijaksana. Dan hanya manusia -yang terbuka pada kasih- yang bisa menimbang dengan hati nurani.
ChatGPT bisa bantu bikin bahan syering rohani, tapi dia nggak bisa menenangkan kamu saat galau.
Nggak bisa peluk kamu waktu kamu patah harapan.
Tapi Tuhan bisa. Dan Tuhan sudah ada lebih dulu.

Kecerdasan Buatan vs. Kebijaksanaan Ilahi
“Tak ada hikmat, pengertian, atau pertimbangan yang dapat menandingi Tuhan.” — Amsal 21:30
Kita boleh kagum sama teknologi. Tapi jangan sampai kita lupa:
Ada hal-hal yang nggak bisa dan nggak akan pernah diciptakan ulang oleh mesin, seperti:
- Airmata pertobatanmu.
- Doa dari hati yang hancur.
- Tatapan mata penuh pengampunan.
- Pelayanan yang lahir dari cinta, bukan perintah program.
AI nggak bisa mencintai.
AI nggak bisa mengampuni.
Dan AI nggak bisa mati di salib demi keselamatanmu.
Tapi Yesus bisa. Dan Ia sudah melakukannya.
Godaan baru dalam pelayanan
Sekarang ini, banyak pelayan muda tergoda:
- Menyusun bahan KBG dengan copy-paste.
- Menulis renungan tanpa lebih dulu berdoa.
- Cari ayat Alkitab bukan untuk direnungkan, tapi buat dicocok-cocokin.
Padahal pelayanan bukan cuma soal tugas beres, tapi hati yang terbakar oleh kasih dan semangat Injil.
“Hatiku berkobar-kobar dalam diriku, api menyala dalam renunganku.” – Mazmur 39:4
Kalau bahanmu selesai tapi hatimu kosong, itu bukan pelayanan.
Itu hanya produksi konten.
Tuhan memanggilmu bukan jadi konten kreator rohani, tapi jadi penyala terang dunia (Matius 5:14).
Kiat praktis: pakai teknologi, jaga iman
- Mulailah dari doa, bukan dari browsing.
Awali persiapanmu dengan doa sederhana: “Tuhan, tuntun aku.”
Biar AI jadi alat, bukan “Tuhan kedua”. - Jangan copy-paste, tapi renungkan.
Pakai AI untuk inspirasi? Boleh.
Tapi tambahkan hatimu. Doakan. Hidupkan. Jadikan itu milikmu. - Ingat: umat bukan penonton.
Mereka bukan sekadar pendengar konten. Mereka butuh sapaan, pelukan, perhatian nyata.
Kehadiran jauh lebih penting daripada suara yang sempurna. - Tanyakan: ‘Apakah ini mendekatkan aku pada Tuhan?’
Segala bentuk teknologi harus diuji dengan pertanyaan ini.
Jadi terang di Era Digital
“Jangan kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu.” – Roma 12:2
Kita bisa kudus, bahkan di zaman serba digital ini.
Tapi butuh kesadaran, latihan, dan hati yang setia.
AI boleh canggih, tapi hanya hati yang terbakar oleh cinta Kristus yang bisa menyelamatkan dunia.
Pesan penutup
Besti Katolik, yuk tetap update teknologi
tanpa offline dari Tuhan.
Pakai AI, tapi jangan lupa IHS.
Tulis pakai ChatGPT, tapi hidupkan dengan Roh Kudus.
Karena dunia ini butuh bukan hanya jawaban,
tapi saksi.
Dan itu kamu.
Kalau tulisan ini menyentuhmu,
jangan cuma dibaca.
Renungkan. Bagikan. Hidupi.
Mari jadi generasi digital
yang tetap sak-sik Kristus yang hidup.