RABU 17 Agustus 1966. Menurut kalender Gregorian, hari Rabu itu adalah hari ke-229 tahun 1966 atau 136 hari sebelum lembaran terakhir tahun itu ditutup.
Ini adalah yang bersejarah; dan dikenang hingga kini.
Ketika itu antara lain Bung Karno mengatakan: “Seorang pemimpin berkata, one cannot escape history. Saja pun berkata seperti itu, tapi saja tambahkan. Never leave history! Djangan sekali-kali meninggalkan sedjarah! Djangan sekali-kali meninggalkan sedjarah!.”
Bung Karno mengingatkan kepada masyarakat untuk tidak meninggalkan sejarah; untuk tidak melupakan sejarah. Karena, ketika kita semua meninggalkan sejarah, maka kita akan berdiri di atas kekosongan, kebingungan, dan kehampaan.
Mengapa demikian?
Karena sejarah, menurut Santo Augustinus (354-430), sejarah berputar di sekitar hal yang baru dan hal yang abadi, dan Allah adalah abadi dan Ia adalah pencipta masa dan Yang Abadi tidak boleh dipahami dan dideskripsikan dari wawasan hal yang baru.
Dan, menurut Bung Karno, karena sejarah selalu berjalan, dan berulang, maka ketika kita melupakan sejarah, kita sendiri yang akan termakan oleh sejarah kita sendiri.
Di sisi lain, sejarah sangat diperlukan untuk membangun bangsa yang baik dan sejahtera. Untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan dalam melangkah maju demi perjuangan bangsa Indonesia selanjutnya.
Di akhir pidatonya, Soekarno sekali lagi menegaskan: “Peladjarilah sedjarah-perdjoanganmu-sendiri jang sudah lampau, agar supaja tidak tergelintjir dalam perdjoanganmu jang akan datang.”
Yang dikatakan Bung Karno, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” itu kemudian dikenal dengan sebutan “Jas Merah.” Dan, “Jasmerah” diteriakkan dengan lantang oleh Bung Karno pada pidato 17 Agustus 1966.
Apa yang diteriakkan Bung Karno saat itu, dalam bahasa lain sudah dikatakan oleh Jose Augustín Nicolás Ruiz De Santayana yang lebih dikenal denga nama George Santayana (1863-1952). Filosof, penyair, dan humanis Amerika-Spanyol ini mengatakan, “Mereka yang tidak mengenal masa lalunya, dikutuk untuk mengulanginya.”
Mengapa, misalnya, di setiap zaman selalu muncul orang-orang yang bertabiat, berkarakter, berwatak, berlaku sebagai diktator.
Misalnya, Adolf Hitler (Jerman), Benito Mussolini (Italia), Joseph Stalin (Uni Soviet), Pol Pot (Kamboja), Idi Amin (Uganda), Robert Mugabe (Zimbabwe), Mao Zedong (China), Muammar Khadafi (Libya), Francsco Franco (Spanyol), Manuel Noriega (Panama), Fulgencio Batista (Kuba), Kim Jong-il (Korut), Omar al Bashir (Sudan), Nicolás Maduro (Venezuela), Saddam Hussein (Irak), Juan Manuel de Rosas (Argentina), Mobutu Sese Seko (Kongo), Nicolae Ceausescu (Romania), Slobodan Milosovic (Serbia-Bosnia), Jean-Claude Duvalier (Haiti), Ferdinand Marcos (Filipina), Antonio Salazar (Portugal), Alfredo Stroessner (Paraguay), Jean Bedel Bokassa (Republik Afrika Tengah), dan masih banyak lagi.
Siapa yang pernah menduga, misalnya Adolf Hitler yang naik ke puncak kepemimpinan lewat pemilu demokratis, ada akhirnya menjadi diktator kejam? Dengan partai politik berhaluan kanan, ultranasionalis, yang sebenarnya memiliki nama asli “National Sozialistische Deutsch Arbeiter Partei, yang dalam bahasa Indonesia berarti “Partai Buruh Nasional-Sosialis Jerman” dan lebih dikenal dengan nama Nazi, Hitler memenagi pemilu secara demokratis pada tahun 1933.
Lalu, Hitler menjadi Kanselir Jerman pada tahun 1934. Sejak Nazi berkuasa mereka memiliki misi untuk mengembalikan kejayaan Jerman yang porak-poranda akibat Perjanjian Versailles (1919), pasca kalahnya Jerman pada Perang Dunia I.
Hitler berambisi untuk mengembalikan kejayaan Jerman (German Great Again, dalam bahasa sekarang) yang “dikebiri” oleh Sekutu, dengan menyerang Danzig, sebuah kota kecil di Polandia, yang nantinya akan mengawali sejarah paling berdarah di dunia, Perang Dunia II.
Bukan hanya Hitler, pemimpin hasil pemilu demokratis yang menjelma menjadi diktator dan pemimpin otoriter. Hampir semua pemimpin diktator yang disebut di atas adalah hasil pemilu, meski ada yang merebut melalui kudeta.
Mussolini, misalnya, agak berbeda politiknya naik ke puncak kepemimpinan. Setelah gagal pada Pemilu 1919, Mussolini mengembangkan paham kelompoknya yakni fasisme, sehingga mulai mendapat pengaruh.
Mereka, kaum fasis, menolak parlemen dan mengedepankan kekerasan fisik. Anarki pecah di mana-mana. Pemerintah liberal tak berdaya menghadapinya. Ia membawa “geng”nya, sejumlah besar kaum fasis yang bertampang sangar, penjahat, kriminal, dan preman yang bertindak sebagai tukang pukul para cukong, untuk Berbaris ke Roma.
Melihat rombongan preman berwajah angker memasuki Roma, Raja Vittorio Emanuele III menciut nyalinya. Mussolini diundang ke istana lalu diberi posisi Sang Pemimpin. Pada Oktober 1922, Raja memintanya membentuk pemerintahan baru.
Jadilah Italia dikelola pemerintahan fasis.
Bukan tidak mungkin kalau orang tidak mau belajar dari sejarah—seperti dikatakan oleh Winston Churchill, yang mengatakan: “Satu-satunya hal yang kita pelajari dari sejarah adalah bahwa kita tidak benar-benar belajar darinya”—maka akan muncul pemimpin seperti itu, diktator di mana-mana. Mengapa, karena rakyat memberikan peluang untuk munculnya diktator di negaranya.
Karena itu, benar yang dikatakan oleh filsuf Jerman, Georg Wilhelm Friedrich Hegel, “Inilah yang diajarkan oleh sejarah dan pengalaman: bahwa manusia dan pemerintahan tidak pernah belajar apa pun dari sejarah atau prinsip-prinsip yang didapat darinya.”
PS:
- Artikel lengkap ada di https://triaskun.id/2019
- Tulisan ini sudah tayang di Kompas.id.