GODAAN kedua yang dihadapi Yesus dan yang juga kita hadapi adalah godaan menjadi orang yang dikagumi. Iblis membawa Yesus ke kota suci, menempatkan-Nya di bubungan Bait Allah dan berkata kepada-Nya “Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah dirimu ke bawah…”
Godaan untuk melakukan perbuatan yang sensasional, sesuatu yang luaaaaarrr biasa, perbuatan itu tidak pernah menjadi surut sejak saat Yesus dicobai. Kita pun mulai meyakini bahwa suatu pelayanan dianggap berarti ketika pelayanan tersebut dinantikan banyak orang; Aksi protes atau demo dipandang penting ketika kamera dari berbagai macam studio televisi hadir meliputnya. Kelompok kajian masyarakat dinilai pantas dihadiri ketika orang berbondong-bondong mendaftar ingin mengikutinya. Gereja dinilai berhasil ketika banyak orang ingin menjadi anggotanya/baptisan meningkat.
Menjadi tidak terkenal, siap?
Sulit bagi kita untuk meyakini bahwa ada sesuatu yang sangat bagus yang berasal dari suatu tempat tak dikenal. Kita sulit mengimani bahwa Allah kita adalah Allah yang datang dalam rupa seorang hamba/pelayan/jongos. Allah kita masuk Yerusalem dengan menunggang seekor keledai (lambang ketololan/keluguan/kenaifan) dan bahwa Dia mati bak seorang penjahat publik.
Pusat perhatian kita tersedot pada masalah bagaimana menjadi sosok yang /populer/terkenal/hebat lagi mengagumkan, sehingga kita hampir tidak dapat mengerti bahwa apa yang tidak dikenal, apa yang tidak menimbulkan rasa kagum dan apa yang tersembunyi dapat mengandung sesuatu yang sangat bernilai/berarti.
Bagaimanakah kita mengatasi godaan yang sudah merasuki hidup kita ini?
Sungguh penting menyadari bahwa godaan ingin menjadi heboh/sensasional – sebagaimana keinginan kita untuk menjadi relevan – sangat berkaitan dan berikatan dengan uapaya kita untuk menemukan jati diri kita. Menjadi seorang pribadi yang terkenal, dipuji, disanjung, disukai, dan diterima hampir terdapat pada diri banyak orang.
Siapakah saya ini jika tidak ada seorang pun menaruh perhatian padaku, menyampaikan rasa terima kasihnya atau mengakui pekerjaan saya? Semakin kita merasa tidak aman, ragu-ragu dan sendirian, semakin besarlah kebutuhan kita akan popularitas dan pujian itu kuat.
Sayangnya, rasa lapar ini tidak pernah terpuaskan. Semakin banyak pujian kita terima, semakin kita merindukan pujian. Rasa lapar untuk diterima/diakui sebagai manusia yang popular/terkenal/dipuja ibaratnya seperti tong tanpa dasar. Kita tidak akan pernah dapat memenuhinya.
Yesus menghadapi si penggoda dengan bersabda, “Janganlah engkau mencobai Tuhan Allahmu”.
Sesungguhnya, usaha untuk memperoleh pamor yang penuh kemilau merupakan ungkapan bahwa kita meragukan cinta Allah yang utuh/holistik dan tanpa syarat atas diri kita. Allah menerima kita seutuhnya, apa adanya. Upaya mencari pamor merupakan sikap mencobai Allah. Dengan upaya itu, kita sebetulnya mau mengatakan, “Saya tidak yakin bahwa Engkau sungguh peduli, bahwa Engkau sungguh mengasihi aku. Dan bahwa Engkau memang menganggapku berharga di mata-Mu” (Bersambung)