Hari Minggu Biasa 4C – 30 Januari 2022: Mukjizad vs. Iman

0
213 views
Ilustrasi - Kabar suka cita ditolak di Nazaret by Jesus-story
  • Yer.1:4-5.17-19
  • 1Kor. 13:4-13
  • Luk. 4:21-30

INJIL hari ini merupakan sambungan bacaan Injil Minggu yang lalu.

Yesus memulai karya-Nya di kampung-Nya sendiri; orang-orang pada mulanya kagum akan pengajaran-Nya, tetapi kemudian menolak Dia.

Alasan penolakan, karena mereka kecewa bahwa Yesus tidak mau membuat mukjizad di kampung asal-Nya sendiri.

Bahkan mereka mencoba memaksa Yesus membuat mukjizad dengan membawa Dia ke tebing, supaya Yesus terpaksa menyelamatkan diri dari kematian jatuh dari tebing; seperti bujukan Iblis di padang gurun.

Setelah peristiwa ini, kota Nasaret tidak lagi disebut dalam Injil, kecuali dalam sebutan Yesus dari Nasaret, yang justru ditolak oleh orang sekampung-Nya sendiri.

Orang Nasaret yang mengagumi Yesus akhirnya menolak Dia karena menuntut mukjizad. Kekaguman mereka tidak tumbuh menjadi kepercayaan, tapi merosot jadi kebencian.

Iman yang diharapkan tumbuh, terbunuh oleh mukjizad.

Lukas menempatkan kisah ini pada awal karya Yesus untuk menunjukkan bahwa Yesus ditolak oleh bangsa-Nya sendiri, sejak awal hidup-Nya sampai pada kematian-Nya.

Bangsa Israel yang mengagumi Yesus juga menolak Dia karena irihati, demi kemapanan hukum dan adat-istiadat. Penolakan bangsa Israel itu menjadi kesempatan bagi bangsa lain untuk menerima Dia; termasuk kita sekarang ini.

Mukjizad sebagai kriteria

  • Tetapi, bukankah kita sering seperti orang-orang Nasaret itu juga?
  • Tuhan tidak adil, mengapa saya sudah begini-begitu, masih juga dapat penyakit ini?
  • Apa salah saya sehingga saya ditimpa kesulitan seperti ini?

Kalau Tuhan memang baik, pasti doa saya sudah dikabulkan. Mukjizad harus menjadi jawaban dari iman. Aturan harus menjadi jaminan keamanan kita. Doa menjadi jimat pengabulan atas keinginan-keinginan kita.

Kita ingin Tuhan bekerja sesuai dengan skenario yang sudah kita buat.

Bukan kita melayani Tuhan, tetapi Tuhan harus bekerja untuk keinginan kita.

Kita dibelenggu oleh nafsu-nafsu kita sendiri. Tuhan Yesus tidak ingin kita terpenjara oleh nafsu kita.

Seperti kepada Yeremia, Tuhan punya rencana besar bagi kita, sejak kita diciptakan dan lahir di dunia.

Tuhan sudah memberi kita karunia terbesar: kasih yang tak berkesudahan.

Tuhan ada untuk kita, supaya kita tumbuh dalam rencana-Nya.

Sekedar kisah

Pada suatu hari, saya memutuskan untuk berhenti. Berhenti dari pekerjaan, dari relasi dari hidup rohani.

Saya ingin berhenti hidup. Saya pergi ke hutan untuk bicara terakhir kalinya dengan Tuhan.

“Tuhan, dapatkah Tuhan memberi saya satu alasan saja untuk tidak berhenti?”

Tuhan menjawab: “Lihat sekelilingmu. Apakah kamu melihat pakis dan pohon-pohon bambu itu? Waktu Aku menabur benih-benih pakis dan bambu, Kupelihara mereka dengan baik. Kuberi sinar matahari, kusirami dengan hujan.

Pakis tumbuh dengan cepat. Daunnya yang hijau cemerlang segera menutupi tanah tetapi bambunya tidak kelihatan.

Tahun kedua lewat. Pakis tumbuh lebih tinggi dan lebih subur, tetapi bambu tetap tidak kelihatan. Tetapi Aku tidak berhenti berharap pada bambu.

Tahun ketiga dan keempat lewat,dan bambunya tetap tidak kelihatan. Tetapi Aku tidak berhenti berharap pada bambu.

Pada tahun kelima, ada tunas kecil keluar dari tanah.

Dibandingkan dengan pakis, nampaknya tunas itu tak berarti apa-apa. Tapi dalam tempo enam bulan, bambu itu sudah tumbuh tiga meter.

Bambu itu memakai waktu lima tahun untuk menumbuhkan akar. Dan akar itu membuatnya kuat dan mampu bertahan dan tumbuh.

Aku tak pernah memberi tiap ciptaan-Ku tantangan yang tak dapat dihadapinya,” kata Tuhan kepadaku.

“Apakah kamu sadar bahwa selama ini kamu dalam perjuanganmu, sebenarnya kamu sedang menumbuhkan akarmu?

Aku tak pernah berhenti berharap pada bambu itu dan Aku tak pernah berhenti berharap padamu.

Jangan bandingkan dirimu dengan orang lain. Bambu punya tujuan lain dari pakis.

Tetapi keduanya membuat hutan ini indah.

Saatmu akan tiba, kamu akan tumbuh tinggi.”

Ilustrasi: Pohon bambu. (Ist)

Saya bertanya: “Berapa tinggi saya akan tumbuh?”

Tuhan balik bertanya: “Berapa tinggi bambu akan tumbuh?”

“Setinggi dia mampu?” jawab saya.

“Ya,” jawab Tuhan.

“Muliakan lah Aku dengan tumbuh setinggi mungkin.” (Ref: Unknown: Undecided to Quit)

Kita dapat memilih menjadi seperti orang Nasaret dan bangsa Israel yang memaksakan kehendak dan menolak Dia. Atau, pilih sikap menjadi seperti Yesaya dan Paulus yang menemukan diri dipercaya, ditumbuhkan dan diharapkan oleh Tuhan Yesus.

Mungkin kita adalah pakis-pakis yang hanya mampu menjalar di taman dan merambat di batang pohon lain.

Mungkin kita bambu yang lambat tetapi akan tumbuh tinggi.

Tetapi apa pun diri ini, kita dapat memilih berpusat pada keinginan kita atau berpusat pada rencana dan kehendak Tuhan Yesus.

Semoga hari ini, kita berani memilih untuk lebih setia kepadaNya dan tumbuh bersama Dia. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here