Senin, 27 Mei 2024
1Ptr 1:3-9;
Mzm 111:1-2.5-6.9.10c;
Mrk 10:17-27
PADA umumnya orang berpendapat bahwa pelit adalah karakter yang negatif, dan pribadi yang pelit biasanya tidak disukai. Orang yang pelit tidak suka berbagi kepunyaan dengan orang lain. Bahkan, seseorang bisa bersikap pelit terhadap dirinya sendiri. Misalnya merasa sayang menggunakan uang untuk diri sendiri.
Orang pelit cenderung tidak peduli, jika ada yang membutuhkan bantuan. Lebih baik mereka berbohong daripada harus mengeluarkan uang.
Alasan mereka adalah, “Saya sendiri berkekurangan. Jadi mengapa saya harus memberi kepada sesama?” Orang seperti itu menyamakan kikir dengan hemat dan bahwa dengan melakukannya, mereka akan kaya.
Nyatanya? Tidak juga.
Memang, jika kita memberikan sesuatu berarti mengorbankan sesuatu, tetapi Tuhan mengajarkan kita untuk tidak khawatir akan hari esok. Bersikap pelit tidak menjamin keamanan finansial seseorang akan bertambah berlimpah ruah, karena Tuhanlah yang berkuasa atas jalan hidup kita.
“Saya selalu berdebat dengan isteri saya, karena setiap kali menyimpan makanan di kulkas dan setelah itu dilupakan hingga basi,” kata seorang bapak.
“Saya sering minta pada isteriku untuk membagi makanan yang lebih kepada orang lain. Tetapi selalu saja dengan alasan macam-macam dia simpan di kulkas, hingga kulkas penuh dengan makanan. Makanan menjadi basi dan kadaluwarsa.
Makanan yang tidak dimakan setelah dia hari biasanya akan terlupakan dan tidak pernah bisa dimakan lagi karena basi. Padahal masih banyak orang yang butuh makanan setiap hari. Masih banyak orang yang merindukan berkat dari sesamanya,” paparnya .
Dalam bacaan Injil hari ini, kita dengar demikian, “Tetapi Yesus memandang dia dan menaruh kasih kepadanya, lalu berkata kepadanya: “Hanya satu lagi kekuranganmu: pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.”
Kesulitan untuk meninggalkan harta adalah sikap batin manusia yang cenderung melihat bahwa tujuan hidup adalah harta benda yang dimilikinya. Kita bisa yakin bahwa Yesus pasti tidak marah bila kita memiliki harta. Dengan kata lain, Yesus tidak pernah memusuhi orang kaya, yang memanfaatkan kekayaannya bagi keselamatan orang. Namun ketika kita terikat dengannya dan tidak mau berbagi, maka problem akan muncul di sana.
Bagi pemuda kaya dalam Injil tadi, harta kekayaan jauh lebih berharga daripada harta di surga yang belum kelihatan. Dia merasa telah bersusah payah untuk mendapatkan harta sebanyak itu. Lalu bagaimana mungkin ia harus membagikannya begitu saja kepada orang lain, meski mereka miskin? Lagi pula bagaimana ia dapat hidup selanjutnya?
Pemuda kaya itu, telah menyandarkan hidupnya kepada hartanya. Penolakannya untuk berpisah dari hartanya memperlihatkan bahwa ia telah menjadikan harta sebagai berhala. Kekayaannya telah membuat dia menolak hidup kekal.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku menggunakan harta kekayaan untuk membantu sesamaku?