DALAM dunia pendidikan yang kian padat oleh target, administrasi, dan kompetisi, pendidik sering kali kehilangan kesempatan untuk berhenti sejenak dan mendengarkan suara hatinya. Jadwal ketat dan tuntutan kinerja membuat banyak guru hidup dalam kelelahan rohani yang tidak disadari.
Pentingnya keheningan
Padahal, sebagaimana diajarkan Nikitas Stithatos dalam Philokalia, jiwa manusia membutuhkan ruang hening untuk kembali pada sumber kekuatannya, yaitu Tuhan sendiri (Stithatos, dalam Palmer, Sherrard, & Ware, 1983). Keheningan menjadi ruang di mana pendidik tidak lagi sekadar mengajar, tetapi membiarkan dirinya diajar oleh Sang Guru Sejati melalui kehadiran-Nya yang sunyi.
Keheningan bukanlah bentuk pelarian dari tanggungjawab duniawi, melainkan jalan menuju kedalaman makna hidup. Nikitas menulis: “If you want spiritually to taste the sweetness and delight of things spiritual you must renounce all mundane sense-experience, and in your aspiration for the blessings held in store for the saints you must devote yourself to the contemplation of the inner reality of created beings” (Stithatos, Philokalia, IV, §34).
Formatio diri
Siapa pun yang ingin “merasakan manisnya hal-hal rohani” baiknya meninggalkan pengalaman-pengalaman indrawi dan memusatkan perhatian pada realitas batin ciptaan. Dalam konteks ini, guru yang hidup dalam doa dan kontemplasi justru sedang melaksanakan bentuk tertinggi dari pendidikan, yakni formatio diri. Ia menata batinnya agar menjadi tempat tinggal hikmat dan kasih – dua unsur tak terpisahkan dari profesi pendidik.
Ketika keheningan dipelihara, pengajaran tidak lagi sekadar penyampaian pengetahuan, tetapi menjadi partisipasi dalam kebijaksanaan ilahi. Nikitas menyebut: “Assimilation to God, conferred upon us through intense purification and deep love for God, can be maintained only through an unceasing aspiration towards Him on the part of the contemplative intellect” (Stithatos, Philokalia, IV, §35).
Mampu atur dan kendalikan diri
Dengan kata lain, mau dikatakan bahwa asimilasi dengan Tuhan dianugerahkan melalui pemurnian intens dan cinta mendalam kepada-Nya, yang dipelihara melalui doa tak henti-hentinya dan pengendalian diri total. Seorang pendidik yang melatih dirinya dalam pengendalian emosi dan kesabaran di ruang kelas sebenarnya sedang menapaki jalan spiritual yang sama dengan para kontemplatif kuno – yakni jalan yang mengubah rutinitas menjadi doa, dan kesibukan menjadi persembahan.
Dalam dunia pendidikan modern, meditasi dan doa sering dianggap sebagai hal privat yang tidak berkaitan langsung dengan kinerja. Namun, justru dalam kesunyian batin itulah sumber kreativitas dan kebijaksanaan seorang guru lahir. Seperti yang ditegaskan Nikitas, aspirasi yang terus-menerus kepada Tuhan menghasilkan “ketenangan yang diperoleh melalui kebajikan” (Stithatos, Philokalia, IV, §35).
Dengan demikian, guru hening bukanlah guru pasif, melainkan guru yang terarah – yang tindakannya lahir dari kesadaran mendalam, bukan sekadar reaksi terhadap tekanan eksternal.
Keheningan diri
Philokalia juga menekankan pentingnya memperoleh “kerinduan akan ketenangan rohani” (Stithatos, Philokalia, IV, §36). Dalam konteks pendidikan, hal ini berarti menumbuhkan hasrat untuk menghadirkan kedamaian dalam proses belajar-mengajar. Guru yang damai akan menularkan kedamaian tersebut kepada para murid. Ia menjadi saksi hidup bahwa pengetahuan sejati tidak hanya mengasah intelek, tetapi juga mengobati hati. Dalam diam, embun ilahi yang dikatakan Nikitas “menyembuhkan dan menyegarkan hati terluka oleh api surgawi” menemukan tempatnya di ruang kelas yang dipenuhi kasih.
Bila jiwa pendidik terluka oleh tekanan atau kekecewaan, keheningan menjadi sarana penyembuhan. Nikitas menulis bahwa “jiwa yang terluka oleh kerinduan ilahi” akan terus naik menuju Tuhan dan semakin dilahap oleh api cinta kasih-Nya (Stithatos, Philokalia, IV, §37).
Dalam pengalaman seorang guru, ini bisa berarti menemukan makna baru dalam tugasnya—bahwa mengajar bukan sekadar pekerjaan, tetapi pelayanan yang mempersatukan dirinya dengan kehendak ilahi. Melalui doa dan refleksi, setiap perjumpaan dengan murid menjadi bagian dari ziarah spiritual menuju kebahagiaan kekal.

Pentingnya bina diri
Banyak pendidik yang berusaha keras mencapai keberhasilan murid secara akademis, tetapi lupa membina diri mereka sendiri. Padahal, Nikitas menunjukkan bahwa “aspirasi yang tak henti-hentinya kepada Tuhan” melahirkan ketenangan dan sukacita batin yang menular (Stithatos, Philokalia, IV, §35). Dalam kerangka teologis, ini sejalan dengan ajaran Rasul Paulus bahwa “kasih Allah dicurahkan ke dalam hati kita oleh Roh Kudus” (Rm 5:5). Guru yang hatinya dipenuhi kasih menjadi saluran rahmat bagi orang lain tanpa harus banyak bicara.
Stithatos menggambarkan keadaan mistik di mana seseorang yang berpartisipasi dalam Roh Kudus mengalami “keharuman tak terlukiskan” di dalam dirinya, bahkan hingga melampaui kebutuhan jasmani seperti makan dan tidur (Stithatos, Philokalia, IV, §38).
Tentu, bagi pendidik modern, gambaran ini bersifat simbolis: ia menunjukkan bagaimana kasih dan semangat pelayanan dapat mengatasi keletihan fisik. Guru yang mengajar dengan cinta tidak lagi sekadar memenuhi tugas administratif, tetapi menemukan makna spiritual di balik setiap proses belajar.
Dalam keheningan penuh doa, pendidik belajar mendengarkan dua hal sekaligus: suara Tuhan dan suara murid. Dengan mendengar secara mendalam, ia mampu menuntun tanpa menggurui, mengoreksi tanpa melukai, dan menginspirasi tanpa paksaan. Seperti dikatakan Thomas Merton (1955), keheningan adalah “bahasa Allah,” dan dalam bahasa itu setiap tindakan manusia menjadi respons terhadap kasih ilahi. Maka, dalam setiap pelajaran yang disampaikan dengan hati hening, guru sebenarnya sedang berbicara dalam bahasa surga.
Kehidupan rohani pendidik yang berakar pada meditasi juga memperluas visi pendidik terhadap dunia. Ia tidak lagi melihat murid hanya sebagai penerima ilmu, tetapi sebagai sesama peziarah yang berjalan menuju kebenaran.
Dalam perspektif Ignasian, contemplatio in actione berarti menemukan Tuhan dalam segala hal, termasuk dalam proses belajar yang tampaknya biasa (Loyola, 1548/1991). Di sinilah keheningan menjadi kekuatan moral yang menuntun pendidik untuk mengabdi dengan rendah hati, tanpa kehilangan arah dan makna.
Ketika keheningan telah menjadi habitus batin, pendidik tidak mudah terguncang oleh kegagalan atau ketidakpastian. Ia memahami bahwa buah pendidikan tidak selalu tampak segera, sebagaimana doa yang tidak selalu dijawab dengan cara yang diharapkan. Dalam ketenangan itu, guru menghidupi apa yang dikatakan Nikitas bahwa “semakin tinggi jiwa naik melalui Roh, semakin ia dilahap oleh api hasrat” (Stithatos, Philokalia, IV, §37). Hasrat itu bukan lagi ambisi pribadi, melainkan cinta murni kepada Tuhan yang menghidupkan seluruh karyanya.
Pada akhirnya, keheningan bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana menghidupi syukur. Guru yang hidup dalam keheningan menemukan bahwa setiap tugas, betapapun kecilnya, adalah kesempatan bersyukur dan mengasihi. Di tengah dunia yang riuh dan penuh persaingan, ia memelihara damai batin seperti embun surgawi yang menyejukkan hati.
Seperti ditulis Nikitas Stithatos, “dalam cahaya api kudus, jiwa menyelesaikan pekerjaan rohani dan menikmati buah-buah abadi dari firdaus noetik” (Stithatos, Philokalia, IV, §38).
Dalam firdaus batin inilah seorang pendidik sejati berdiam—mengajar, berdoa, dan bersyukur dalam satu napas yang sama.