In Memoriam Romo Adolf Heuken SJ: “Mereka tidak Tahu Apa-apa tentang Jakarta, Hanya Tahu Teknis Saja.” (5)

0
1,046 views
RIP Romo Adolf Heuken SJ (1929-2019)

RUMAH di Jalan Mohammad Yamin 37, Menteng, Jakarta Pusat itu “terjepit” di antara rumah-rumah gedong berlantai mengkilap dengan pagar tinggi.

Halaman depannya ditanami beragam bunga. Pohon Kamboja dan serumpun bambu kuning tumbuh subur di pojok halaman. Dinaungi sebatang pohon sawo menjulang.

“Bangunan ini masuk golong B jadi luarnya tidak boleh dibongkar, tapi dalamnya boleh,” terang Pastor Adolf J. Heuken,SJ, sang pemilik.

Rumah itu dibangun tahun 1934.

Romo Heuken—begitu disapa—populer di Indonesia, karena buku-buku penting yang ditulisnya seperti Kamus Indonesia-Jerman dan buku-buku mengenai sejarah Jakarta, antara lain Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta, Klenteng-klenteng dan Masyarakat Tionghoa di Jakarta, Mesjid-mesjid Tua di Jakarta, Gereja-gereja Tua di Jakarta dan Historical Sites of Jakarta yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Untuk kalangan Gereja Katolik, ia menulis Ensiklopedia Katolik dan Jungen für Christus: Ein Buben-Buch yang ditulisnya bersama Roman Bleistein.

Bagaimana sampai Anda menekuni dan meneliti bangunan-bangunan tua di Jakarta?

Saya datang ke Indonesia, terutama Jakarta sejak 1963. Sudah hampir 50 tahun.

Dulu saya tinggal di Mangga Besar. Ada banyak gedung tua di sana dan saya ingin tahu latar belakangnya.

Saya bertanya pada orang-orang tetapi jawabannya tidak seragam. Saya berpikir, yang benar yang mana? Misalnya Gereja Sion yang disebut gereja Portugis. Kok disebut Gereja Portugis? Tetapi kok gereja Protestan?

Bukankah kalau Portugis, mereka akan membangun gereja Katolik? Ada yang bilang orang Portugis yang bangun gereja itu. Tapi Portugis tidak pernah berkuasa di Jakarta.

Sejak dulu sampai sekarang gereja itu adalah gereja Protestan. Terus saya telusuri lewat buku dan naskah-naskah yang ada, bagaimana gereja seperti ini bisa tumbuh atau ada di samping Kota Tua.

Ternyata, ceritanya itu Belanda melawan Portugis karena rebutan rempah-rempah. Lalu tawanan orang Portugis dari Indonesia Timur dibawa ke sini dan menjadi budak. Mereka dijanjikan, kalau jadi Protestan akan dibebaskan.

Mereka disebut Mardjikers. Lalu dibangun gereja untuk beribadat dalam bahasa Portugis. Maka, muncul gereja Protestan dalam bahasa Portugis.

Hal lain lagi, yang sekarang menjadi Museum Bahari. Kata orang dulunya adalah Benteng. Hal itu tidak mungkin, karena Benteng ada di sebelah kanan Ciliwung, bagaimana bisa ada di sebelah kiri Ciliwung saat ini?

Atau Stadhuis dibilang sebagai pusat pemerintah VOC. Ini tidak mungkin karena pemerintah VOC pasti berada di benteng, bukan Stadhuis.

Banyak jawaban yang tidak memuaskan saya. Karena itu saya berusaha untuk mengetahui sejarahnya. Inilah awalnya saya mulai mencari latar belakang gedung-gedung tua.

Kemudian lahir buku Historical Sites of Jakarta?

Yang pertama adalah Historical Sites of Jakarta. Mula-mula dalam bahasa Inggris, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Buku ini masih membahas Jakarta pada umumnya. Kemudian saya ingin yang lebih khusus, misalnya tentang Menteng.

Saya waktu itu sudah tinggal 30 tahun di Menteng dan ingin tahu mengapa Menteng berbeda dengan pemukiman lainnya di Jakarta.

Ternyata Menteng ini merupakan “kota taman”pertama yang ada di Indonesia.

Lalu tentang Jakarta atau Batavia. Ada rupa-rupa cerita. Dulu ada Sunda Kelapa. Timbul pertanyaan kenapa dan kapan berubah menjadi Jakarta?

Ada yang bilang bahwa Fatahillah merebut Sunda Kelapa dari Raja Hindu yang ada di Padjajaran, sekarang Bogor, lalu mengalahkan armada Potugis kemudian ini disebut Djayakarta.

Tetapi menurut saya ini dongeng. Tak ada buktinya.

Fatahillah memang datang dan merebut Sunda Kelapa, jadi dia berperang melawan Padjajaran.

Portugis hanya datang dengan dua kapal untuk berdagang. Satu kapal tandas, 30 orang berenang ke pantai dan dibunuh, sementara yang lain pergi. Lalu datang beberapa kapal lagi, tapi tidak diizinkan mendarat.

Ini memang dua kejadian yang penting. Bila berdasarkan kedua peristiwa ini, tidak ada alasan untuk menyebut kota ini sebagai Jakarta.

Sebenarnya, baru 30 tahun sesudahnya nama Jakarta dipakai. Tidak ada bukti sejarah apapun bahwa Fatahillah menamakan kota yang ia rebut itu Djajakarta.

Bukti kapan tahun kelahiran Jakarta pun tidak ada. Hal ini membuat saya mencari sumber sejarah dan saya tuliskan dalam tiga buku.

RIP Romo Adolf Heuken SJ (1929-2019)
  • Buku pertama mencakup periode sebelum Belanda datang.
  • Buku kedua berisi tentang Djayakarta direbut oleh Belanda.
  • Buku ketiga membahas tahun-tahun pertama Djayakarta sampai Sultan Agung mengepung Djayakarta dan akhirnya pulang ke Jawa Tengah.

Ketiga buku ini berisi dokumen asli dalam bahasa Sansekerta, Tionghoa, Belanda, Jerman dan lainnya. Saya menerjemahkannya sehingga pembaca bisa menentukan mana yang benar.

Kesadaran untuk melestarikan bangunan-bangunan kuno masih rendah. Bagaimana perspektif Pastor?

Ya pemerintah dan masyarakat yang harus bertanggungjawab untuk memeliharanya. Tetapi banyak orang berpandangan buat apa bangunan kuno dilestarikan?

Ini pandangan yang berbahaya, karena mereka tidak sadar ada kekayaan budaya yang terdapat dalam gedung-gedung kuno itu, baik sejarah maupun arsitekturnya.

Bangunan-bangunan kuno di Jakarta ini banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Timur Tengah, Tiongkok dan Eropa.

Sekarang memang ada Dinas khusus yang menangani masalah ini, namun mereka tidak memiliki keahlian untuk melakukan pemugaran. Seharusnya dalam memugar sedapat mungkin yang lama yang harus dipertahankan keasliannya.

Saya pernah menjadi anggota Tim Penasehat Arsitektur Kota Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (TPAK P2B) DKI Jakarta. Tapi sekarang sudah lama saya tidak terlibat lagi.

Pusing saya. Pak Fauzi (Fauzi Bowo, Gubernur DKI waktu itu) bilang tolong jaga supaya mereka jangan main bongkar gedung kuno.

Tapi apa yang terjadi? Mereka main bongkar saja. (itu berarti) Mereka tidak tahu apa-apa tentang Jakarta dari segi kebudayaan dan sejarah. Mereka tidak tahu apa-apa. Hanya tahu perhitungan teknik saja.

Tinggal berapa persen bangunan tua di Jakarta yang bisa diselamatkan?

Saya pikir tak ada separuhnya lagi. Semakin sedikit.

Di Menteng yang belum begitu tua pun, yang baru dibangun 1910 juga begitu. Coba lihat Buddha Bar itu dibongkar, dan tinggal sedikit yang asli.

Saya tak melarang orang bikin rumah. Silakan saja kalau Anda mau bikin rumah baru. Tapi harus jaga, misalnya ini kawasan tipe B, maka saya akan mempertahankan bagian luarnya dan bagian dalamnya saya ubah.

Kalau Anda mau bangun sesuatu yang megah silakan ke Tangerang atau luar Jakarta. Jangan di Menteng yang ada akar sejarahnya.

Saya tidak mengerti, orang-orang yang punya duit ini kok norak sekali? Sekarang banyak gedung norak di Menteng.

Bagaimana dengan gereja-gereja tua di Jakarta?

Gereja tua hampir semua hancur. Dulu di daerah Kota ada empat gereja dan semuanya sudah hancur. Tinggal satu yang bertahan, itu pun dibangun di luar kota lama Batavia, Gereja Sion.

Ada juga Gereja Anglikan, Gereja Tugu, Gereja Bundar Immanuel. Mereka ini benar-benar gereja tua dan punya sejarah yang baik. Sejarah gedungnya maupun umat di sekitarnya.

Tahun 1960 itu Gereja Sion mau dibongkar. Mau dibikin pabrik. Mohammad Yamin yang menggagalkannya.

Yamin, yang muslim, bilang tidak boleh. Dia bilang, ini gedung bersejarah.

Gereja Sion ini gedung tertua di Jakarta, yang masih digunakan untuk maksud didirikannya. Didirikan sebagai gereja, masih sebagai gereja. Gereja ini dibangun 1692.

“Apa lagi yang perlu Anda ketahui?” begitu Adolf Heuken setiap ia habis menjawab sebuah pertanyaan. Kemudian mengalir kembali cerita tentang Jakarta tempo dulu.

“Kita memberi tempat pada mitos dan dongeng tentang Jakarta. Tetapi itu bukan sejarah. Karena sejarah harus ada buktinya,” kata Heuken.

Misalnya, ia menyoal beragamnya pandangan orang tentang hari jadi Jakarta yang dianggap jatuh pada 17 Juni 1527.

“Tidak ada dokumennya. Kalau orang mau berdasarkan mitos, silakan. Tapi jangan diwariskan kepada generasi muda sebagai sejarah. Saya tidak mau menceritakan dongeng sebagai sejarah. Maka saya cari fakta sejarah,” ujarnya .

Mencari fakta sejarah. Itulah yang dilakukan Pastor Heuken sejak pertama kali menjejakkan kaki di Indonesia. Ia terusik melihat banyak situs sejarah yang dilupakan bangsanya sendiri.

Buku-buku karya almarhum Romo Adolf Heuken SJ.

“Ini dulu gedung apa? Dulu bagaimana? Kapan dibangun? Orang tidak bisa jawab. Setiap saya tanya sesuatu orang tidak bisa menjawab,” ujar Heuken yang kemudian memutuskan menjadi WNI.

Kecintaannya kepada sejarah, membuatnya tak henti mencari jawaban. Pencarian pun dimulai dengan berburu buku-buku lawas dan arsip-arsip kuno tentang Batavia.

Dokumen itu lalu ia gunakan untuk menyaring sekelumit informasi dari masyarakat sekitar.

Rasa penasaran Adolf atas seluk beluk bangunan tua di Jakarta perlahan terjawab. Lembar demi lembar jawaban pun akhirnya terkumpul dalam jilid buku ‘Historical Sites of Jakarta’.

Karyanya ternyata cukup diminati dan menjadi rujukan para penikmat sejarah. Buku itu terjual lebih 20 ribu eksemplar. Bahkan, dua edisinya diterbitkan Times International Singapura.

“Itu artinya, saya bisa memberikan sumbangsih pengetahuan soal sejarah Ibu Kota ini,” ujarnya.

Sejak menetap di Jakarta, lebih 200 buku ditulis olehnya. Sedikitnya 12 buku bercerita tentang sejarah Jakarta, selebihnya buku-buku tentang filsafat, gereja, dan ensiklopedia.

“Saya sudah menulis 12 buku tentang Jakarta. Bisa sampai 20 sebenarnya. Gampang sekali. Bahannya ada. Tapi ya saya sudah tua begini. Dan waktunya barangkali terbatas. Terus saya susah cari orang yang tepat yang bisa bantu saya, karena bahasa harus diperbaiki, gambar harus dicari, sumber harus dicek betul-betul,” ujarnya.

Romo Adolf Heuken SJ by Reza Tuasikal.

Tapi justru buku-buku tentang sejarah Jakarta yang membuat Anda banyak dikenal orang?

Mula-mula tidak bermaksud begitu. Hanya saja waktu pertama sampai di Jakarta pada 1963 belum ada sama sekali buku berbahasa Indonesia yang bermutu.

Lalu saya bikin Ensiklopedi Gereja Katolik. Kemudian mulai menulis tentang bangunan tua di Jakarta. Saya senang bahwa ternyata banyak yang membacanya. Mula-mula karena kesenangan saya saja terhadap sejarah. Karena tanpa sejarah, sebuah bangsa seakan kehilangan akar dan identitasnya, seperti layang-layang putus.

Sebuah pekerjaan yang awalnya hanya hobi berkembang menjadi pekerjaan serius. Ketekunan Adolf mengungkap sejarah Jakarta mendapat perhatian Pemerintah Jerman. Ia menerima penghargaan Das Bundesverdienstkreuz am Bande (Bintang Penghargaan Republik Federal Jerman) pada tanggal 25 November 2008 atas jasa-jasanya mengembangkan hubungan Jerman-Indonesia.

Penghargaan ini diberikan Duta Besar Jerman untuk Indonesia, Baron Paul von Maltzahn. Penghargaan tertinggi yang dianugerahkan Pemerintah Federal Jerman kepada pribadi-pribadi yang dinilai berjasa terhadap negara Jerman. (Lex)

PS: Wawancara ini saya lakukan sekitar tahun 2012. Tadi malam, hari Kamis (25/7/2019), Pastor Adolf Heuken berpulang dengan tenang di RS Carolus Jakarta dalam usia 90 tahun. RIP .

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here