In Memoriam Romo Willy Wagener CSsR: Mencuri Makan, Itu Dosa yang Harus Saya Akui (2)

0
880 views
RIP Romo Willy Wagener CSsR

ESSEN di Jerman semasa Perang Dunia II juga tidak pernah imun dari perang dan serangan pemboman. Karena itu, kami harus segera cepat-cepat masuk ke dalam bungker, perlindungan bawah tanah.

Ini sepenggal kisah yang diungkapkan oleh almarhum Romo Willy Wagener CSsR (87) –salah perintis misi Katolik di Pulau Sumba oleh para imam misionaris Redemptoris dari Jerman saat itu.

Waktu itu, belum ada Keuskupan Weetebula seperti sekarang. Yang ada hanyalah Vikariat Apostolik Weetebula.

Yang menarik, Pemimpin Vikariat Apostolik Weetebula adalah seorang imam Jesuit dari Jawa yakni Mgr H. Hari Pranata SJ.

Foto mendiang Mgr. H. Hari Pranata SJ hingga sekarang masih menempel di salah satu dinding Rumah Induk Biara CSsR di Weetebula, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT.

Mengungsi ke Austria

Karena Perang Dunia II, Willy yang masih muda beliau harus mengungsi ke Austria. Ia menghabiskan dua tahun sekolah di sebuah SMP lokal di Austria.

Zaman itu, sebagai anak-anak, dia juga tidak luput dari model pendidikan spartan yang sangat keras dan menjunjung kedisiplinan tinggi model Nazisme oleh Diktator Prussia Adolf Hitler.

“Kami dididik di sekolah itu dengan model sangat keras. Kami, anak-anak Katolik pada waktu malah tidak dilarang pergi masuk gereja. Setiap kali ada misa, maka yang banyak datang memenuhi gereja-gereja di Austria pada waktu itu adalah anak-anak,” papar mendiang Romo Willy Wagener CSsR sebagaimana ditirukanoleh Provinsial CSsR saat berkisah sejarah hidupnya ketika pesta HUT sederhana 87 tahun.

Hukuman disiplin

Nah, tapi jangan cerita kalau terlambat masuk kelas.

“Siapa yang datang telat dan mereka yang suka masuk kelas telat-telat, maka hukuman dari guru sudah menanti di depan mata. Hukumannya sangat spartan alias keras.Tiap malam dibangunkan dan harus berbaring di permukaan tanah bersalju dengan hawa sangat dingin pada waktu malam hari,” paparnya Romo Willy Wagener CSsR.

“Para murid yang suka telat itu juga harus menyikat lantai sekolah dengan sikat-sikat gigi bekas. Pokoknya sangat keras,” terangnya kemudian.

Perang Dunia II akhirnya selesai dengan drama kekalahan Jerman atas Sekutu.

“Bersama anak-anak lain, kami semua kembali ke Jerman. Perjalanan pulang ke Jerman juga tidak sangat lancar karena akses rel KA banyak yang rusak sebagai imbas pemboman Sekutu. Selalu saja menunggu dan terus menunggu,” lanjutnya.

Singkat cerita, perjalanan “pulang kampung” itu berlangsung selama 2,5 bulan.

Tanpa makan-minum

“Di tempat-tempat yang sangat dingin kami sering tidak diberi makan. Saya sangat memaklumi kondisi pasca Perang Dunia II itu, ketika semua anak-anak Jerman tidak memperoleh simpati dari orang-orang Austria,” paparnya.

“Kami sendiri sangat minim dengan pasokan ransum makanan. Malam-malam terpaksa keluar dari kamp dan mencuri makan. Anak-anak curi-curi jagung. Saya dengan gampang mau mengaku hal ini dengan jujur saja. Satu-satunya perbuatan mencuri yang pernah saya lakukan sepanjang hidup saya,” kenangnya.

Alasannya, kelaparan memaksanya melakukan hal itu.

Yang lucunya, ketika kami sampai di Jerman, dan karena usai kalah dalam Perang Dunia II, para Uskup Jerman memperbolehkan kami mencuri. “Ini tentu saja berdosa dan saya harus mengakuinya ikut melakukannya juga,” kenangnya.

Setiba di Jerman, Romo Willy mengaku tidak tahu lagi apakah kedua orangtuanya itu masih hidup atau tidak. “Ayah saya terkena wajib militer,” papar Romo Willy.

Akhirnya dia bisa melanjutkan sekolah lagi dan tiga bulan pasca Perang Dunia II akhirnya sekolah-sekolah bisa dimulai lagi. “Kami membangun lagi gedung sekolah sendiri dengan batu-batu sisa reruntuhan. Coba-coba memperbaiki yang rusak sama sekali.”

Ia menghabiskan tiga bulan sekolah dan suatu hari, sepulang dari sekolah, ibu saya lalu menanyani saya dengan hal-hal ini:

“Willy kau mau jadi apa nanti?,” tanya ibu saya.

“Saya kaget. Secara spontan saya jawab. Saya mau jadi imam.”

Mama heran. “Saya pun juga heran, asal bunyi saja dan tidak pernah merefleksikan hal itu.”

“Betul, kamu mau jadi imam?”

“Saya tegas menjawab lagi. Ya,  saya mau jadi imam. Sejak itu saya tidak pernah ragu untuk menjadi imam.”

RIP Romo Wagener CSsR

Mama bilang ada sekolah khusus untuk calon imam. “Om saya, Bolting, kebetulan saat menjadi direktur sekolah itu. Mama suruh tulis surat apakah boleh masuk.”

“Om saya menjawab, ‘saya senang kamu mau jadi imam… tapi ini untuk Redemptoris.”

“Saya menjawab: apa pun, yang penting saya bisa menjadi imam. Dan dua pekan kemudian  saya ke sana. Masuk SMP kelas 2 sampai SMA di situ.”

Tamat, lalu diminta apakah masuk Novisiat Redemptoris.

“Saya sudah berniat mantap dan tidak keberatan sama sekali. Saya masuk novisiat satu tahun. Setelah itu, saya memulai studi filsafat dan teologi di Geistingen.” (Berlanjut)

PS: Bahan kisah ini disediakan oleh Pater Provinsial CSsR kepada Sesawi.Net pada hari Minggu malam tanggal 12 April 2020.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here