Mrk 9:38-43.45.47-48
Rekan-rekan yang budiman.
Suatu ketika, Yohanes, salah satu dari para murid Yesus, bercerita kepada guru mereka bahwa mereka melihat orang yang mengeluarkan setan demi nama-Nya. (Injil Minggu Biasa XXVI Tahun B, Mrk 9:38-43.45.47-48.) Langsung Yohanes mencoba mencegahnya, kan orang itu bukan salah satu dari pengikut para murid Yesus.
Murid ini berpendapat bahwa siapa saja yang mau menjalankan hal-hal yang baik mestinya bergabung dulu dengan kelompok yang sudah mapan seperti para murid terdekat tadi. Bukan sendiri-sendiri. Yohanes mengatakan “bukan pengikut kita”.
Terasa adanya pendapat bahwa mengikuti Yesus baru dapat dijalani bersama dengan para murid-Nya. Seolah-olah mereka itu satu-satunya agen penyalur. Rupa-rupanya Yohanes berpikir dalam kerangka “keseragaman” dan tidak melihat nilai “keragaman” di antara para pengikut Yesus.
Mengikuti Yesus
Minggu lalu, kita dengar bahwa barangsiapa dapat menghargai “anak kecil”, sama dengan menerima Yesus sendiri, dan sebetulnya juga menerima Bapa-Nya yang mengutus-Nya (Mrk 9:36-37). Diajarkan-Nya bahwa mengikuti-Nya hendaknya tidak dipandang dari sudut besarnya jasa atau banyaknya sumbangan, melainkan dari keluguan.
Dalam petikan hari Minggu ini, pokok mengenai menjadi pengikut Yesus tampil kembali. Apakah mengikut Yesus berarti mesti ikut di dalam kelompok murid-murid-Nya?
Sebuah pertanyaan yang sulit dijawab, apalagi bila kelompok murid Yesus kita samakan dengan Gereja. Pertanyaannya berkembang: apakah mengikuti Yesus mesti terjadi dengan menjadi anggota Gereja? Lalu Gereja mana?
Tidak semua akan dipecahkan di sini, karena persoalan yang ditampilkan dalam Injil hari ini tidak dapat dijabarkan begitu ke keadaan masa kini.
Namun demikian, kita dapat berusaha memahami prinsip-prinsip yang dikemukakan Yesus di sini dan yang diikuti oleh komunitas pertama dulu.
Dalam episode kali ini, kita ikuti bagaimana Yesus meluruskan pendapat Yohanes. Pandangan para murid lainnya dibuka. Mereka diajar-Nya agar tidak melihat diri mereka sebagai kelompok pusat dalam umat.
Janganlah mereka menganggap orang-orang yang belum atau tidak bergabung dengan mereka sebagai yang bukan pengikut Yesus. Dengan kata lain, mereka diajak menyadari bahwa ada orang-orang yang mau menerima Yesus dan mengikuti-Nya, meskipun tidak jelas-jelas bergabung dengan para murid terdekat.
Yang menjadi ukuran bagi pengikut Yesus kiranya bukanlah keseragaman dengan para murid tadi, melainkan keselarasan dengan Yesus dan dengan pengutusan yang dijalani-Nya. Dan keselarasan ini, bisa bermacam-macam ujudnya; bisa memuat keragaman.
Tiga pokok pengajaran
Ada tiga pokok ajaran yang terungkapi dalam ay. 39-42.
Dalam ay. 39 diajak-Nya para murid menumbuhkan kelonggaran hati. Dikatakan-Nya tentang orang yang mengeluarkan setan, tapi bukan pengikut mereka, “Jangan kamu cegah dia, sebab tidak ada seorang pun yang telah mengerjakan mukjizat demi namaku dapat seketika itu juga mengumpat aku.”
Bagi Yesus orang itu jelas-jelas menjadi pengikut-Nya. Para murid Yesus, juga yang paling dekat sekalipun, diminta agar longgar hati menghargai keragaman.
Kemudian dalam ay. 40 dituntunnya para murid supaya sampai pada keyakinan bahwa “Siapa saja yang tidak melawan kita, ia ada di pihak kita.”
Ada soal bahasa yang agak pelik. Tetapi soalnya selesai bila kita mengerti pernyataan itu sebagai ajakan Yesus kepada para murid agar mampu dan berani menegaskan kalimat itu.
Jadi yang dimaksud ialah murid-murid sendiri yang mempertengkarkan perkara tadi.. Mereka diharapkannya bisa bertindak sebagai orang besar yang sejati. Tak usah mereka merasa terancam bila ada orang yang mengerjakan hal serupa walaupun tidak bergabung dengan mereka.
Dengan bahasa zaman kita sekarang, mereka diharap agar berani berkompetisi secara jujur.
Selanjutnya, ada imbauan dalam ay. 41 agar para murid memandangi diri dengan cara yang benar. Mereka sebenarnya memberi banyak kepada siapa saja yang berbuat kebaikan sekecil apa pun kepada mereka.
Tetapi mereka itu mendatangkan pahala bagi orang lain bukan karena diri mereka sendiri. Melainkan karena mereka itu adalah pengikut-Nya. Menjadi pengikut Kristus itulah yang membawakan keselamatan bagi orang lain; bukan menjadi pengikut para murid.
Cocok dengan ajaran agar tidak mencari kedudukan, menginginkan status tinggi dalam umat, tidak menginginkan diri jadi pusat. Ayat ini sebenarnya ungkapan akan apa yang nyata-nyata diyakini umat awal seperti jelas dengan ungkapan “karena kamu adalah pengikut Kristus”.
Yesus sendiri dalam hidup-Nya tidak pernah menyebut diri Kristus atau Mesias; ia memakai sebutan Anak Manusia.
Akhirnya, para murid diminta dalam ay. 42 agar memiliki rasa tanggungjawab yang besar terhadap orang-orang yang hendak mengikuti Yesus secara tulus.
Ayat ini menggambarkan orang-orang itu sebagai “anak kecil” sejalan dengan pemakaian kata itu dalam Mrk 9:36-37 yang ikut dibacakan hari Minggu lalu.
Jangan sampai mereka dibiarkan “berbuat dosa” oleh para murid yang merasa lebih dekat dengan Yesus. Masalah dalam penerapan ayat ini bagi zaman ini tentunya berkisar pada siapa yang merasa murid dekat dan siapa yang menjadi pengikut Yesus pada umumnya itu.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Kitab Suci bagi kehidupan masa kini, sebaiknya dibuat penerapan yang luwes dan tidak kaku. Jadi, “para murid terdekat” tak usah membuat orang ingat akan para pemimpin Gereja, para pastor melulu, dan sebaliknya “anak kecil” tak perlu dibatasi pada umat.
Yang berpihak pada Yesus dan pengutusannya menjadi pengikutnya. Yang ikut memperhatikan kesejahteraan mereka ialah murid terdekat.
Begitulah, Yesus menekankan bahwa siapa saja yang merasa sudah dekat padanya, sudah masuk ke dalam kelompok murid terdekat, hendaklah ia memikirkan kesejahteraan mereka yang masih belajar, masih mencoba menemukan jalan mendekat kepada Kabar Gembira yang dibawakan Yesus.
Inilah kenyataan ikut serta dalam peNGutusan dan pengutusan Yesus. Inilah kekuatan yang menghidukan Gereja.
Integritas pengikut Yesus
Membiarkan orang yang sedang berjalan kepadanya “berdosa” adalah keburukan yang besar. Kata asli yang dipakai di situ harfiahnya berarti “tersandung jatuh”.
Sanksi hukumannya lebih berat daripada orang yang ditenggelamkan ke dalam laut, dengan batu giling yang diikatkan pada lehernya. Dasar laut ialah wilayah kekuatan-kekuatan maut.
Ditenggelamkan ke sana berarti diserahkan pada kuasa maut, tanpa kemungkinan naik karena pada lehernya diikatkan batu giling. Dan keadaan ini dikatakan mendingan daripada murid yang membiarkan orang jatuh tersandung.
Tak usah, Injil hari ini membuat kita-kita yang diserahi mendampingi umat merasa diancam. Sebaliknyalah, kita makin melihat betapa berartinya orang-orang yang telah dipercayakan kepada kita. Bagaimana kita bisa dipercaya begitu besar?
Baiklah kita lihat bagian selanjutnya.
Dalam bagian berikutnya, ay. 43-48, diperdengarkan beberapa petuah keras untuk tidak membiarkan diri sendiri tersandung. Jadi tanggungjawab bukan saja terhadap keadaan orang lain, melainkan juga bagi diri sendiri. Wajar.
Orang yang dapat menjaga diri tentunya dapat menolong orang lain. Cara penyampaiannya amat konkret. Bila lengan menyebabkan diri jatuh dalam tindakan yang merugikan diri, maka lebih baik dipenggal saja; begitu juga kaki, demikian pula mata.
Dikatakan lebih baik hidup dengan satu lengan, berjalan timpang, atau buta sebelah daripada terjerumus ke dalam neraka.
Bagaimana memahami petuah-petuah keras ini? Jelas bukan secara harfiah. Sekali lagi yang penting ialah melihat dasar pemikiran yang dikemukakan di sini.
Para murid diminta menyadari bahwa kehidupan dan Kerajaan Allah patut menjadi pilihan dasar.
Garam dan api
Dalam ay. 49 diberikan sebuah pepatah yang agak aneh: “(Karena) setiap orang akan digarami dengan api.” Digarami biasanya berarti diasinkan sehingga tak hambar atau lebih penting lagi, jadi awet.
Tetapi pengawetan di sini dilakukan dengan api, dengan nyala dan panas yang bakal membersihkan semua yang bersifat campuran sehingga sisanya nanti hanya yang murni.
Apa yang dimurnikan dengan api?
Integritas sebagai murid, kejujuran serta keluguan dalam mengikuti Yesus, akan dimurnikan sehingga nanti yang keluar ialah murid yang tahan uji, dan yang bakal dapat mengasinkan orang banyak.
Bukan yang membiarkan hambar dan tak bertahan lama.
Pada akhir petikan ini ada ajakan agar dalam diri murid selalu ada “garam” tadi. Tentunya yang dimaksud ialah agar mereka senantiasa mampu mengawetkan diri sendiri dan juga orang lain.
Bila demikian, hidup dalam damai satu sama lain akan menjadi kenyataan. Kalimat terakhir dalam petikan ini mengungkapkan hasil dari adanya daya pengawet dalam kehidupan batin para murid.
Tanpa itu, tanpa integritas, akan sulitlah ada hidup damai di antara para murid.
Injil hari ini mulai dengan perkiraan para murid bahwa mengikuti Yesus baru bisa terjadi bila orang mau bergabung dengan mereka. Yesus tidak membenarkan gagasan itu.
Ia malah menegaskan betapa berharganya orang yang menjadi pengikut Yesus, siapa saja, entah para murid dekat entah yang ada di luar kalangan itu.
Mereka yang merasa sudah lebih dekat dengannya dimintanya agar memperhatikan orang-orang yang mau mengikutinya.
Kesetiaan pada tanggungjawab ini tanda kejujuran murid sang Guru dan menjadi ukuran bagi integritas Gereja di dunia ini.
Salam hangat,
A. Gianto