- Hari Pesta: 7 Juli.
- Dibeatifikasi: 17 Januari 1995.
- Dinyatakan Mulia: 2 April 1993.
- Dinyatakan Orang Kudus: 19 Oktober 2025.
PETER “Petrus” To Rot lahir pada tahun 1912 di sebuah desa bernama Rakunai, Papua Nugini.
Wilayah tersebut telah beberapa kali dikunjungi oleh para misionaris Kristiani, tetapi ayah Peter, Angelo To Puia, yang merupakan kepala desa, dan ibunya, Maria la Tumul, baru dibaptis sebagai orang dewasa dan termasuk di antara orang Katolik pertama di negeri itu.
Peter adalah salah satu dari enam bersaudara.
Sejak kecil ia sudah menunjukkan minat yang besar terhadap imannya. Karena itu, ia dididik untuk menjadi seorang katekis, yaitu pengajar agama.
Pada usia 18 tahun, Peter menjadi murid di Sekolah Misi Santo Paulus. Ia adalah siswa yang sangat baik dan dalam waktu tiga tahun sudah menjadi seorang katekis — yang termuda di antara semua katekis di Papua Nugini.
Ia melayani umat di Rakunai dan dikenal sebagai pengajar yang sangat baik. Peter selalu membawa Alkitab ke mana pun ia pergi dan hafal banyak bagiannya di luar kepala.
Pada tahun 1936, ia menikah dengan Paula la Varpit, seorang Katolik dari desa tetangga. Mereka dikaruniai tiga anak, tetapi hanya putrinya, Rufina, yang hidup hingga dewasa.
Penjajahan Jepang
Perang Dunia II mengubah kehidupan masyarakat Papua Nugini untuk selamanya. Pasukan Jepang menduduki negeri itu dan semua misionaris ditangkap serta dipenjarakan.
Akibatnya, Peter menjadi satu-satunya pemimpin rohani bagi umat Katolik di wilayah tersebut. Ia memimpin ibadat, memberikan pengajaran iman, membagikan Ekaristi dan Sakramen Baptis, serta membantu orang-orang miskin.
Ia bahkan membangun sebuah gereja sederhana dari ranting pohon – satu-satunya bahan yang tersedia. Ketika orang-orang diliputi ketakutan, Peter selalu mengingatkan mereka bahwa Allah tetap menyertai mereka.
Aturan pemerintah kolonial Jepang
Pada tahun 1942, pemerintah pendudukan Jepang melarang semua bentuk ibadah dan pertemuan keagamaan, bahkan yang dilakukan di rumah. Mereka ingin para kepala suku bekerja sama dengan mereka dan berusaha memaksa masyarakat kembali pada kehidupan pra-Kristen, termasuk praktik poligami.
Kakak Peter mendukung kebijakan itu, tetapi Peter menolak keras. Karena ia secara terbuka menentang dan tetap mengadakan ibadat Katolik secara sembunyi-sembunyi di gua-gua, ia dianggap berbahaya oleh pihak Jepang.
Pada tahun 1945, Peter ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara selama beberapa bulan.
Namun, para pemimpin Jepang sebenarnya tidak berniat membebaskannya, sebab karya kerasulannya dan dukungan umat kepadanya dianggap mengancam kekuasaan mereka.
Suatu ketika, ia mengatakan kepada isterinya dan ibunya yang menjenguk bahwa ada seorang dokter Jepang yang dipanggil untuk memberinya obat, padahal ia tidak sakit.
Ia menyadari bahwa dirinya akan dibunuh. Kepada keluarganya ia berkata bahwa ia siap mati demi Gereja.
Ketika para algojo datang, ia sedang berdoa. Menurut para saksi, Peter diberi minuman dan suntikan, lalu mulutnya dibekap.
Keesokan paginya, pihak berwenang Jepang pura-pura terkejut menemukan Peter To Rot telah meninggal. Namun, tanda-tanda di tubuhnya menunjukkan bahwa ia tidak mati secara alami.
Ia dimakamkan dengan upacara penghormatan kepala suku di pemakaman Katolik, tetapi pemakamannya dilakukan dalam keheningan karena warga takut pada tentara Jepang.
Sejak hari pemakamannya, Peter To Rot dihormati sebagai martir iman Katolik.
Pada 17 Januari 1995, Paus Yohanes Paulus II mengunjungi Papua Nugini untuk memimpin perayaan beatifikasi Peter To Rot.
Baca juga: Petrus To Rot, katekis santo pertama dari PNG (1)