Sabtu, 21 Juni 2025
Mat, 6: 24-34
DALAM perjalanan hidup ini, pastilah kita pernah merasa lelah. Bukan hanya lelah secara fisik, tetapi juga secara batin, sebuah kelelahan yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan tidur panjang atau liburan.
Kadang kita tidak menyadari bahwa yang membuat kita letih bukanlah panjangnya perjalanan, tetapi beratnya “ransel batin” yang kita bawa.
Bayangkan kita sedang berjalan jauh, mendaki gunung kehidupan, namun di punggung kita tergantung sebuah ransel yang terus kita isi: kenangan pahit masa lalu, penyesalan yang tak kunjung selesai, luka yang belum sembuh, serta kekhawatiran akan masa depan yang belum tentu terjadi.
Ransel itu semakin berat, dan tanpa sadar, membuat langkah kita semakin lambat, nafas kita terengah, dan hati kita kehilangan sukacita.
Cobalah berhenti sejenak. Duduk dan buka ransel batin itu. Lihatlah isinya. Adakah hal-hal yang bisa dibuang? Ternyata ada. Dan banyak.
Kita tidak perlu terus-menerus membawa semua beban itu. Masa lalu yang sudah lewat tidak bisa kita ubah. Kekhawatiran akan masa depan pun belum tentu terjadi. Namun keduanya sering kali menguasai hati dan pikiran kita.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?”
Yesus, dengan lembut namun tegas, mengingatkan kita untuk kembali melihat hal yang lebih penting. Ia tidak berkata bahwa makanan atau pakaian itu tidak penting.
Tetapi Ia menegaskan bahwa hidup dan tubuh, pemberian Tuhan yang agung, jauh lebih penting. Artinya, jika Tuhan sudah memberikan kepada kita hidup dan tubuh, mengapa kita meragukan bahwa Ia juga akan mencukupi kebutuhan kita yang lainnya?
Yesus mengajak kita untuk memercayai penyelenggaraan ilahi Tuhan. Ia memberi contoh burung-burung di udara yang tidak menabur atau menuai, namun tetap dipelihara oleh Bapa. Betapa jauh lebih berharganya kita di mata-Nya!
Tentu, hidup bukan berarti kita bersikap pasif dan tidak merencanakan apa-apa. Tapi yang Tuhan ajarkan adalah untuk tidak membiarkan kekhawatiran menguasai kita.
Sebab kekhawatiran itu seperti kabut tebal, mengaburkan pandangan kita akan kebaikan Tuhan yang setia.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah ada hal-hal yang bisa aku buang dalam perjalanan hidupku?