Mengasihi Orangtua dan Mertua tanpa Perbedaan

0
372 views
Ilustrasi - Sakit. (Ist)

BAPERAN – BAcaan PERmenungan hariAN

Selasa, 7 September 2021.

Tema: Tetap mengasihi.

  • Bacaan Kol. 2: 6-15.
  • Luk. 6: 12-19.

TALI kasih perkawinan tidak hanya menyatukan dua pribadi, pria dan wanita menjadi satu. Tetapi juga menyatukan dua keluarga yang berbeda. Tentu dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Penerimaan yang tulus dan ikhlas atas kekurangan dan keterbatasan keluarga adalah cara terbaik saling menyempurnakan.

Samalah kedudukan orangtua dan mertua. Mereka,sama-sama menjadi orangtua yang menyatukan. Tidak baiklah bila dibedakan, setelah perkawinan.

Satu hal yang pasti yang menjadi tanda syukur dan ucapan terimakasih mereka adalah menghormati, menyayangi dan berlaku adil baik terhadap orangtua maupun mertua.

Membedakan, memprioritaskan salah satunya berarti memberi celah pada keributan yang tidak mendewasakan. Bahkan tidak menguduskan.

Tidak jarang perlakuan membedakan itu menyebabkan pereganggan hubungan. Berawal dari ketidaksenangan terhadap mertua. Hal itu bisa dimulai dengan tindakan yang kurang menperhatian, tidak saling menyapa, membanding-bandingkan, kata-kata yang memperendah dan sikap-sikap yang terkesan tak terpuji.

Sikap individualisme kadang menghambat kekerabatan antar keluarga. Bahkan yang sering terjadi adalah ah ketidak-dewasaan “me-manage” ekonomi rumah tangga yang berdampak pada ketidak-seimbangan memberi “sesuatu” sebagai tanda kasih antara orangtua dan mertua.

Celakanya lagi, kalau setelah menikah, pasangan muda ini melupakan kasih dan pengorbanan, susah payah dan duka orangtua yang telah melahirkan, membesarkan bahkan membiayai perkawinan mereka. Mereka berjarak, tidak hanya pada orangtua, apalagi mertua.

Perhatian dan ungkapan kasih menghilang. Alasan yang sering terdengar, “untuk kita saja, tidak cukup. Aneh-aneh aja. Sok pahlawan. Dasar anak mami. Silahkan pilih mamamu atau aku. Awas aja kalau berani.” dll.

Santo Paulus menyadarkan dengan sangat baik, “Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur.” ay 7

Kasus istimewa

“Kok saya tidak bisa melupakan ya, Mo. Kangen banget,” katanya sekali waktu.

“Melupakan apa?” tanyaku kepo.

“Mertua saya Mo. Mertua baru meninggal meninggal 1,5 tahun lalu. Kalau Mama sih sudah tidak ada.

Saya ingat terus. mamalah yang menyiapkan segalanya bagi perkawinan saya. Ketika saya mohon persetujuan mama atas pilihan saya. Mama menasihati kami berdua, apa yang penting dalam keluarga.”

“Masih ingatkah pesan mama?”

“Mama hanya bilang begini. Lewat perkawinan kalian, mama dan besan adalah orangtua. Tidak boleh dibedakan. Mama juga tidak mau diistimewakan. Mama adalah perempuan. Besan mama juga perempuan. Hati kami adalah hati wanita yang mengasihi anak-anak; bahkan membela anak bila perlu. Ingatlah kalian, tidak boleh membedakan  antara mama dan besan. Mama dan besan seperti saudara sendiri.

Mama dipanggil Tuhan, setahun sebelum kami berumah tangga, Mo.”

“Lalu bagaimana dengan mertuamu?”

“Awalnya mertua tinggal di tempat ipar. Suatu saat, mertua diajak suami tinggal di rumah kami beberapa saat.

Saya memperlakukan mertua seperti mama sendiri. Demikian sebaliknya. Mertua tidak menggangap saya sebagai menantu, tetapi puterinya sendiri. Suami sangat sayang mamanya. No problem bagi saya.

Pernah suatu ketika mertua dirawat.  Kebetulan saya yang lebih banyak menunggu dan melayani mertua. Mulai dari menyuapin, memberi obat bahkan kalau mama BAB. Saya membersihkan dengan senang hati. Tanpa menunjukkan ketidaksabaran, kejengkelan atau ketidaksenangan.

Saya ingat perintah kasih Yesus. Anak-anaknya yang lain hanya datang menjenguk dan pergi.”

“Tidak adakah waktu untuk lebih lama menemani mama?”

“Agak repot. Nggak bisa. Banyak pekerjaan. Sikecil rewel. Pulang dulu ya Ma. Dah… dah… Ma… Cepat sehat ya Ma,” begitu alasan mereka untuk menolak merawat mamanya sendiri.

Mereka pulang, mama sedih dan menangis.

“Kan ada kami, Ma. Saya akan merawat mama. Mama tinggal bersama kami, ya,” kataku.

“Saya bersyukur boleh merawat mertua selama dua tahun. Ia meninggal dengan tenang dan tersenyum. Saya kehilangan. Sedih. Hampa. Tuhan, semoga mama dan mertuaku bersama lagi dalam kemuliaan-Mu.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here