Menulis, Memang tidak Mudah (1)

0
2,169 views

SEBUAH tulisan kadang membingungkan. Bahkan kalau tidak hati-hati bisa memicu perselisihan. Seorang calon mertua kaget membaca tulisan status Facebook dari calon menantu perempuan, “Hatiku gembira saat ini dan seandainya  mertuaku di depanku pun aku pasti tidak mau tahu. Saking gembiranya!”  Seketika itu juga, “camer” (calon mertua) mencak-mencak  dan menginformasikan ke keluarga besarnya bahwa “camen”-nya (calon menantu) telah berbuat kurang ajar terhadapnya.

Sebenarnya apa yang dibuat oleh “camen” itu adalah sebuah iseng-iseng belaka, namun ternyata tulisan itu ditanggapi dengan serius. Paradigma tulisan, meminjam istilah Stephen Covey dalam The 7 Habits of Highly Effective Pople , yang dilontarkan sebagai status dari pihak “camen” tentu akan membuat si “camer” kebakaran jenggot.

Menulis sungguh tidak gampang. Maaf kepada Arswendo Atmowiloto yang menulis buku berjudul “Mengarang itu Gampang” sebab dengan menulis kita memusatkan segala energi untuk membesut kata demi kata sehingga tulisan memiliki makna dan tidak bias. Kees Bertens dalam Moralitas Lentera Peradaban Dunia, mengisahkan bagaimana ia hidup sebagai pengarang.

Tulisnya, “Mungkin tahap yang paling berat adalah permulaannya, yaitu menghadap kertas kosong yang perlu diisi. Untuk penulis yang hanya memakai komputer, keadaanya pasti sama: bagi mereka tahap yang paling sulit adalah menghadap layar monitor yang kosong. Sering dikatakan, untuk bisa menulis seorang pengarang membutuhkan inspirasi.”

Dan lagi, menulis tidak bisa dikerjakan dalam ingar-bingar keramaian, namun di tempat yang tenang.  Menurut Mochtar Pabottingi, salah satu penerima gelar Lima Cendekiawan Berdedikasi  (Kompas, 27 Juni 2012) mengisahkan bahwa tulisan-tulisan yang ia lahirkan itu perlu perjuangan ketenangan yang mendalam. Ia menunjukkan sebagai suatu askese intelektual. Untuk mencapai tulisan yang berbobot, ia bermati raga  (ascetic) dengan jalan “tapa ngrame”   (bersemadi di tempat yang ramai).  Pada akhirnya, para penulis harus “mengambil jarak” dengan dunia dan ia berhadapan dengan ide-denya sendiri.

Zaman sekarang orang sulit untuk berdiam diri dan mengadakan observasi intelektual.  Budaya instan  telah menguasai mentalitas kaum remaja dan pemuda. Orang tidak betah untuk berlama-lama menekuni (menulis atau membaca) sebuah artikel ilmiah. Ini karena sejak Sekolah Dasar, mereka sudah dibiasakan untuk ujian gaya multiple choice dan kurang adanya pelajaran mengarang.

Bahkan akhir-akhir ini, para dosen mengeluh dengan hasil ujian para mahasiswa yang gaya tulisannya seperti menulis SMS. Mereka tidak bisa lagi membedakan antara: subyek, predikat, obyek dan keterangan.  Menulis ternyata bukan perkara mudah. Maka tidak mengherankan jika pernah ramai dibicarakan tentang plagiarism. Untuk membuat skripsi, tesis bahkan disertasi, mereka berani menjiplak karya orang lain. Para calon sarjana, master dan dokter enggan untuk menulis dan mengadakan penelitian.

Dalam dunia penulisan di media massa pun ada sebuah istilah ghost writer yang berarti penulis siluman.  L. Wilardjo menulis, “Ibu negara Romania, istri diktator Caescescu yang kemudian ditembak mati oleh pengadilan rakyat, bahkan mengupah selusin ghost writer  (penulis siluman).

Tugas mereka membikinkan makalah-makalah untuk dipublikasikan di jurnal ilmiah dengan nama sang ibu negara sebagai penulisnya (Kompas, 23 Juni 2012). Semua ini hendak menunjukkan bahwa menulis itu tidak gampang.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here