PADA mulanya, ia masih bisa mengucapkan terimakasih. Itu terjadi beberapa bulan yang lalu ketika ia terima sebungkus roti kering dan jajanan pasar yang kuberikan kepadanya.
Orang-orang di desaku memanggilnya Miyah. Itulah namanya. Tak kutahu pasti siapa nama lengkapnya sebenarnya, Rumiyah, Tumiyah, Jumiyah, Parmiyah, Umiyah atau yang lainnya.
Ia tidur di pinggir jalanan desa di tepi sawah. Tenda yang terbuat dari kain dan sisa-sisa plastik telah menjadi rumahnya. Seutas tali yang ditambat di antara dua pohon pinggir jalan sudah cukup menyangga tendanya.
Ketika panas maupun hujan angin, ia tetap tidur di situ. Barangkali bagor bekas menjadi semacam kasur saat ia mendengkur.
Suatu saat, ketika kubawakan pakaian-pakaian bekas yang masih pantas dipakai, ia masih juga bisa mengucapkan terimakasih dan sedikit ngobrol meski tak banyak kata yang bisa nyambung.
Sebuah kaos oblong bergambar Mahatma Gandhi kesukaanku, kuberikan juga kepadanya karena sudah tak cukup kupakai.
Mahatma Gandhi… oh… manusia mulia sahabat duafa yang ikhlas hati meninggalkan harta dan kuasa.
Gambar wajahmu akan tergantung di sekitar tenda di pinggir jalanan desa. Miyah, sang penghuni tenda, suatu kali pasti juga akan memakainya. Masih juga belum terlalu kupercaya bahwa ia adalah perempuan gila seperti kata orang-orang desa.
Itulah sebabnya kusempatkan ngobrol atau sekadar bertanya menelusur masa lalu hidupnya. Meski tak sepenuhnya nyambung, bisa kuraba kira-kira sejarah yang telah dilaluinya.
***
Dulu ia adalah perempuan pedagang nasi bungkus di kereta. Anak lelaki satu-satunya telah berhenti pada kelas tiga dari sebuah sekolah dasar desa. Setiap hari, anak lelakinya selalu bersama-sama berdagang rokok dan Aqua.
Itu dilakukan karena sudah tak ada lagi biaya untuk sekolahnya, meskipun ia terhitung di antara murid juara. Berjualan rokok dan aqua di kereta adalah cara supaya ia bisa membantu ibunya sekaligus menabung dari sedikit sisa yang ada.
Suatu saat, dalam angan-angannya, ia masih ingin melanjutkan sekolah di desa. Setiap pagi kereta api selalu menjadi harapan hidupnya. Gerbong merah yang selalu penuh penumpang adalah ruangnya.
Sekali dalam tiga hari, selalu ada penumpang yang membeli rokoknya satu bungkus penuh. Selebihnya membeli rokok eceran saja.
Tapi itu lebih menguntungkannya karena labanya menjadi sedikit lebih banyak. Sore hari, sebagian uangnya diberikan kepada ibunya. Sisanya disimpan dalam celengan plastik berbentuk ayam.
“Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit,” kata ibunya pelan sambil menghitung uang hasil jualan.
“Kalau sudah banyak, kamu bisa sekolah lagi.”
Bagi Miyah, anak lelaki satu-satunya itu adalah yang paling berharga dalam hidupnya. Ia selalu menjadi pembangkit harapan, yang menyulut kegembiraan. Ia bagaikan nyala yang tak pernah pudar di antara seribu malam.
Kadang-kadang ia menangis sendirian tanpa suara ketika memandangi anaknya tertidur sambil memeluk celengan ayam. Ada harapan dan keinginan besar terpendam dalam tubuh yang meringkuk itu.
Ia sangat ingin agar harapan yang seperti akar itu, suatu saat membesar dan bertumbuh menjadi pohon segar. Ketika memandang pohon itu dalam lamunannya, ia merasakan kegembiraan yang merongga di dalam dadanya.
Tak pernah terkira, hari itu semuanya berubah. Seperti biasa ia dan anaknya bergegas memasuki gerbong kereta memulai hidupnya.
Penumpang yang terlalu padat membuat mereka tak leluasa untuk segera menyusuri lorong kereta. Karena kecil, anaknya bisa lebih dahulu berpindah ke gerbong lainnya.
Tak seperti biasanya pula, hari ini banyak penumpang membeli nasi bungkusnya. Ia bergembira. Pasti nanti akan ada lebih banyak sisa yang bisa disimpan dalam celengan ayam anaknya.
Sampai hari siang, nasi bungkusnya tak lagi tersisa. Ia berjongkok di teras di antara sambungan gerbong. Keringat yang mengalir di belakang telinga, dielapnya dengan selendang gendongan. Seorang penumpang memintanya bergeser karena mau kencing di kakus.
Tiba-tiba gerbongnya bergetar kencang dan oleng tak karuan. Suaranya teramat kacau dan bergemuruh ditimpali jeritan dan kepanikan yang luar biasa.
Ia masih sempat melihat gerbong di depannya terguling dan terseret. Ia menjerit memanggil-mangil nama anaknya. Tetapi semuanya terlalu kacau lalu menjadi gelap.
***
Teramat sakit untuk dirasakan. Kini ia menjadi perempuan yang kehilangan anak karena kereta yang terguling ringsek di sungai. Tak ada yang tersisa. Hanya celengan ayam yang selalu dibawanya ke mana-mana dan menyulutkan amarah kepada entah berantah.
Ia berjalan menuruti langkah kaki, menyusuri rasa sakit dan amarah yang mendalam. Matanya menatap jauh, memandang tanda tanya yang teramat angkuh.
Di pinggiran jalan desa, di tepi sawah, perempuan yang kehilangan anak itu berhenti. Ia berusaha untuk memahami dan mengerti, tetapi selalu saja tak tercermati. Ia tak lagi berjualan nasi. Menyendiri dan sepi. Tak punya apa-apa dan siapa-siapa lagi. Barangkali tak punya juga arti.
Pada mulanya, ia masih bisa mengucapkan terima kasih. Tetapi belakangan ini, ia sudah lebih sering tertawa sendiri dan tak bisa diajak omong-omong lagi.
Kemiskinan dan kehilangan telah membuatnya tak lagi mengerti artinya tertawa. Dan orang-orang desa sudah biasa memangilnya Miyah, si perempuan gila.
Pagi ini, sepulang dari pasar, aku melihatnya duduk sendiri di tenda, menyanding celengan ayam milik anaknya, tertawa sambil mengikatkan seutas kain di kepala, dan mengenakan kaos oblong bergambar Mahatma Gandhi yang aku suka.
Sesampai di rumah, kubaca berita. Orang-orang berdasi yang mewakili rakyat juga tertawa-tawa menerima rapelan tunjangan yang jumlahnya tiada terkira.
Ah….aku tak tahu lagi apa artinya, ketika orang-orang desa menyebut kata gila.