Home EDUKASI Pada Stadium IV, Makin Sulit Pertahankan Ikatan Perkawinan

Pada Stadium IV, Makin Sulit Pertahankan Ikatan Perkawinan

1

DALAM stadium 4 ini, perkawinan sudah sangat sulit dipertahankan. Ibarat kanker, operasi atau amputasi menjadi jalan terakhir, setelah semua usaha dilakukan. Masalah yang menjadi sumber konflik, secara kualitatif, sudah jauh menggerus inti dan cita-cita perkawinan.

Perselingkuhan yang  terlalu sulit ditinggalkan kerap menjadi pokok persoalan, meski ada juga yang terjadi karena terlalu asyiknya salah satu pihak dengan hoby dan/atau pekerjaannya sehingga melupakan tugas dan kewajibannya di rumah. Dengan kata lain, sumber konfliknya telah menjadi pola hidup yang sulit sekali diubah, atau kalau diterjemahkan dalam waktu menjadi butuh waktu yang sangat panjang.

Secara subyektif, penderitaan itu terlalu berat ditanggung, bahkan mungkin mengancam kehidupan dari pihak yang dirugikan, atau bisa juga kedua-belah pihak. Ciri-ciri psikis dan fisik seperti disebutkan dalam stadium III bisa tampak dalam skala yang lebih intensif dan besar. Harapan akan adanya perbaikan terlalu kecil. Selain itu, dampak negatifnya pada anak-anak, bila ada, juga akan besar. Karena itu, secara kuantitatif, cirinya adalah bahwa konflik itu terlalu sering berulang dan berkepanjangan.

Menghadapi permasalahan stadium IV ini, sikap yang diambil adalah memilih menyelamatkan hidup; baik hidup masing-masing pihak maupun hidup anak-anak. Hidup yang dimaksudkan disini adalah hidup dalam arti luas, bukan hanya secara fisik.

Jika ternyata berbagai cara telah ditempuh, terutama ketika masih dalam stadium II dan III, dan perkembangan terus memburuk, perpisahan menjadi satu-satunya pilihan. Meski begitu, bila masih mungkin, tetap ditempuh perpisahan ranjang atau pisah rumah lebih dahulu (seperti dalam stadium III), sebelum menempuh jalur hukum.

Perlindungan hukum

Jika pada akhirnya harapan benar-benar telah padam dan setidaknya salah satu pihak butuh perlindungan hukum, jalur yuridis baru ditempuh. Yang dimaksud adalah perceraian secara sipil melalui pengadilan. Biasanya pengadilan negeri tidak mempermasalahkan apakah ada surat keterangan dari Gereja atau tidak.

Meski begitu, perlu diketahui bahwa cerai sipil, meski sudah diputuskan pengadilan, dari kacamata Gereja, yang dilakukan pasangan Katolik yang dulu menikah secara sah di Gereja tidak mempunyai kekuatan hukum. Artinya, Gereja tetap menganggap kedua pihak tetap terikat oleh perkawinan.  Dengan kata lain, pasangan Katolik yang bercerai sipil saja dalam pandangan Gereja hanya berpisah rumah atau pisah ranjang, sehingga diharapkan bisa kembali bersatu lagi.

Status pisah rumah/ranjang seperti itu tidak mempunyai efek yuridis secara kanonik (hukum Katolik). Karena itu, pasangan yang bercerai sipil saja tetap boleh menerima sakramen. Tidak ada larangan bagi mereka yang berpisah rumah atau pisah ranjang untuk menerima sakramen. Kemudian, karena hanya bercerai secara sipil, kedua belah pihak tidak bisa menikah lagi dengan pihak lain secara Katolik.

Jika mau menikah lagi, perlu memohon pembatalan perkawinan pertama pada Gereja, melalui Pengadilan Gereja (tribunal) yang ada di tiap keuskupan.

Proses pembatalan perkawinan atau biasa disebut anulasi perkawinan adalah proses meninjau apakah dasar perkawinan yang dulu dibuat sudah sesuai dengan kriteria Gereja, antara lain prosedur dan bobot kesepakatannya. Pembatalan berbeda dengan perceraian, meski ‘hasil’nya, yaitu perpisahan ikatan suami-isteri, sama.

Perceraian lebih menitik-beratkan kejadian-kejadian terakhir, sedang pembatalan pada kejadian-kejadian di awal perkawinan, bahkan sebelum perkawinan. Untuk proses ini, biasanya ditempuh proses pertama-tama melalui pastor paroki untuk berkonsultasi, lalu membuat surat permohonan kepada pengadilan Gereja, dan kemudian menunggu panggilan untuk diproses oleh Pengadilan Gereja (tribunal).

Tentu saja tidak setiap permohonan bisa dikabulkan, karena untuk pembatalan ini butuh proses yang cukup lama dan dasar yang kuat dengan bukti-buktinya. Lalu, jika permohonan pembatalan dikabulkan, barulah kedua-belah pihak dinyatakan bebas dan bisa menikah lagi secara Katolik.

Jika belum memohon atau tidak dikabulkan tetapi nekad menikah lagi, entah hanya melalui catatan sipil atau melalui agama lain, jelas perkawinan itu tidak sah di mata Gereja. Karena itu, pasangan seperti ini tidak diperkenankan menerima sakramen-sakramen, kecuali dalam bahaya mati dan sesudah mengaku dosa.

Perlu dicatat bahwa mereka yang menempuh jalan ini tetap boleh mengikuti kegiatan dan kehidupan menggereja, kecuali sakramen.

Penutup

Perlulah disini sekali lagi dikatakan bahwa sikap yang benar terhadap perkawinan adalah langkah pertama yang menentukan bagaimana masalah bisa diatasi. Meski begitu, memang tidak semua masalah akan bisa diatasi secara memuaskan. Oleh karena itu, masa persiapan yang cukup juga akan menentukan. Yang dimaksud adalah masa pacaran sebagai upaya saling mengenal dengan lebih baik. Tanpa hal ini masalah akan terasa lebih berat karena belum sungguh saling mengenal.

Selain itu, berhadapan masalah, penyelesaian secara hukum adalah alternatif yang terakhir. Yang lebih penting sebenarnya adalah usaha setiap pihak untuk mau berkomunikasi dan berkompromi. Tentu saja dengan pengandaian bahwa perkawinan adalah sebuah nilai yang patut dipertahankan. Jika tidak ada kemauan untuk berkomunikasi dan berkompromi, sulit dibayangkan langgengnya perkawinan.

Dengan berkomunikasi masing-masing pihak mau mengungkapkan keluhan dan harapannya, dan terlebih mau mendengarkan pihak lain. Dengan saling mendengarkan, diharapkan ada upaya pembicaraan untuk mencari titik tengah. Di sinilah diperlukan kompromi.

Akhirnya, penting pula ditekankan bahwa perkawinan adalah sebuah perjuangan yang tidak selalu menyenangkan, tetapi justru dalam perjuangan itu nantinya ditemukan kebahagiaan. Perjuangan berdua akan menentukan keberhasilan, dan salah satu kuncinya adalah senantiasa mempertahankan nyala harapan, sekecil apa pun itu.

Dengan kata lain: tidak mudah menyerah adalah salah satu kunci.

1 COMMENT

  1. saya menikah awal januari 2016..saya dan pasangan sama2 katolik..namun pernikahan yang saya langsungkan membuat saya tertekan setelahnya..saya sempat ingin membatalkan semua H-1 namun terbersit wajah bahagia kedua orangtua saya..mereka sangat mendambakan saya dapat menikah..selama menikah 1 bulan saya merasa semakin tertekan,bahkan disaat tidur saya tidak pernah tidur dengan tenang dan takut suami saya menyentuh saya..saya merasa seperti akan diperkosa..saya tidak mau melakukan hubungan selayaknya..
    Sebelum menikah memang saya berselingkuh tanpa status dengan pria beragama katolik juga namun lebih muda dari saya..saya merasa telah membohongi suami saya dan keluarga besar saya..hubungan saya dengan pria tersebut juga telah usai..tetapi saya tetap merasa tertekan karna saya membohongi orangtua dan suami saya dengan semua yang telah saya lakukan..saat ini,saya dan keluarga akan mendatangi keluarga suami karna dari feb- sekarang,saya tidak tinggal serumah dengan suami saya..dan dia juga tidak berusaha untuk mencari tahu dimana keberadaan saya..memang awalnya saya bilang kepada suami saya kalau saya tidak dapat meneruskan hubungan ini dengan keadaan saya yang masih seperti ini..lambat laun perasaan sayapun hilang dan berubah menjadi kekecewaan..mungkin suami saya terlebih dahulu kecewa dengan keputusan saya..tetapi setidaknya ada usaha untuk memperbaiki dengan mencoba mencuri perhatian saya…
    Contohnya: saat orangtua saya(ayah) masuk rs..disitu saya meminta suami saya tuk datang berkunjung,karna ayah sakit juga karna kepikiran hubungan saya dan suami(saat itu saya tidak mengatakan ada masalah dalam hubungan saya,karna saya tidak mau beliau khawatir)..tetapi suami saya tidak pernah datang, bahkan untuk membalas atau mengangkat telepon dari ayah,ibu dan saya pun tidak diindahkannya..
    Mungkin besar kekecewaan suami saya terhadap saya..tetapi saya juga kecewa dengan perlakuannya terhadap kedua orangtua saya..
    Contoh kedua: suami saya selalu bilang dimana etika ketika berhadapan dengan orangtua,semarah-marahnya saya dan sekecewanya saya dengan suami saya..saya tetap bersikap hormat kepada ibundanya,membalas pesannya dengan baik..tidak seperti yang suami saya lakukan kepada kedua orangtua saya
    Contoh ketiga: walau saya tidak tinggal serumah,saat itu saya selalu mengabarkan akan kemana saya pergi dan dengan siapa…hal itu tidak dilakukan olehnya..ketika suami saya berada di tempat kerabatnya di magelang, saya hanya mengetahui dari sepupunya yang bertanya”mengapa saya tidak ikut?”saya semoat kaget..berarti suami saya di magelang saat itu dan dia tidak mengabari saya
    Lanjutnya..saat ibundanya mengirim pesan kepada saya,ya ibundanya menjadi pekerja di bahrain,beliau wanita yang sangat baik dan lembut..beliau juga menanyakan permasalahan saya dengan lembut sampai beliau meminta maaf kepada saya,dan saya menjawab”mama ndak salah,yang salah adalah saya dan ada waktunya disaat saya akan menjelaskan semua”..selanjutnya mama memohon saya untuk dapat hadir dalam pernikahan seorang kerabat..sekitar bulan mei tetapi tepatnya kurang tahu…saat itu saya juga menanyakan hal itu kepada suami saya kapankah kerabatnya akan menikah?tapi kali ini suami saya pun tidak menjawab pesan saya
    Contoh lainnya: eyang meninggal,saya memikirkan bila suami saya masih menganggap dan menghargai saya setidaknya mengabari saya atau menanyakan saya apakah saya bisa ikut??..saya bukan orang yang tidak punya perasaaan..walau saya tidak sempat bertemu dengan eyang,tetapi eyang sudah menjadi eyang saya..tetapi itu tidak suami saya lakukan..
    Mungkin besar kekecewaan suami saya terhadap saya sampai suami sayapun sudah tidak mau berkomunikasi dengan saya..
    Komunikasi saya awalnya baik..setiap saya berkomunikasi (walau hanya saya sendiri,karna suami hanya membaca tanpa membalas)..saya selalu meminta maaf atas sikap saya,atas keputusan saya,atas kekecewaan yang saya buat…suami saya adalah orang yang sangat sabar,dan baik…
    Dengan semua peristiwa yang terjadi mulai dari pernikahan hingga saat ini dimana kami telah tidak berkomunikasi dengan baik(bisa dibilang tidak ada komunikasi antara kami) dan dengan kekecewaan yang saya dan suami rasakan..
    Saya ingin menanyakan apakah saya bisa memohon anulasi/pembatalan pernikahan???dan bila suatu saat suami atau saya menemukan pasangan hidup katolik apakah suami/saya bisa menikah secara katolik di gereja katolik…karna dengan keputusan yang saya buat dan disetujui oleh suami saya…saya/suami tidak mau untuk berpindah keyakinan..dan tetap masing2 nantinya ingin menikah secara katolik di gereja katolik…jangan biarkan kami hilang seperti anak domba yang hilang…

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version