PARA penulis buku Ensiklopedi Suku-Suku Bangsa Indonesia karya Dr. Junus Melalatoa merupakan pribadi-pribadi yang “merayakan” kedalaman local wisdom di satu pihak. Tetapi di lain pihak juga diguyur oleh keprihatinan dan kegelisahan karena gejala-gejala “kedangkalan” kehidupan bangsa dan negara.
“Kedangkalan” memaksudkan kemerosotan-kemerosotan yang terjadi di beberapa aspek kehidupan bersama yang mengindikasikan penyimpangan dari nilai-nilai Kearifan Lokal ~ Pancasila.
Antara lain muncul dalam wujud:
- Penonjolan aspek “institusionalisme” keagamaan sedemikian rupa hingga menafikan citarasa religius dan toleransi kedalaman batin manusia Indonesia;
- Kurangnya penghormatan akan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab di dalam kebijakan-kebijakan publik;
- Kebersamaan dan kebersatuan yang kerap dipromosikan tanpa mengangkat keluhuran martabat manusia;
- Sistem demokrasi yang cenderung direduksi pada konsep menang-kalah, mayoritas-minoritas, putera daerah-orang asing, dan seterusnya.
- Semua di atas itu menjauh dari pesan-pesan hikmat dan kebijaksanaan; ditambah lagi dengan kurangnya keteladanan dari para pemimpin;
- Realitas korupsi dan mentalitas koruptifnya serta pembiaran kebijakan-kebijakan koruptif, manipulatif dan diskriminatif -terutama kepada yang lemah dan atau rakyat pedalaman- sedemikian rupa sehingga “keadilan sosial bagi seluruh rakyat” terjerembab menjadi slogan semata.
Para penulis dengan segala kerendahan hati menyebut diri sebagai para “peziarah” yang berusaha minum dari “air sumur sendiri”, kearifan lokal yang hidup di dalam masyarakat kita. Mereka yang telah memberi kontribusi di dalam buku ini merupakan pecinta-pecinta filsafat sendiri: filsafat Keindonesiaan.
Filsafat “Keindonesiaan” sebagai sebuah sistem (layaknya filsafat India atau filsafat Cina) barangkali masih harus terus-menerus ditemukan. Esai-esai filsafat “Keindonesiaan” ini menjadi salah satu upaya serius ke arah sana.
Filsafat “Keindonesiaan”
Filsafat “Keindonesiaan” saya maksudkan sebagai sebuah “nama” untuk kearifan-kearifan lokal yang terbentang sangat luas di dalam hidup dan sejarah seluruh masyarakat di wilayah Indonesia.
Saya tidak menggunakan terminologi “filsafat Indonesia”, melainkan mengajukan nama “filsafat Keindonesiaan”.
Maksudnya demikian. Nama “filsafat Indonesia” mengandaikan sistemasi, memiliki kerangka rasionalitas, dan berada dalam “klaim-klaim” karakter khas yang cenderung “sudah jadi” (seperti filsafat India atau filsafat Cina).
(Bung Hatta pernah menulis mengenai nama “Indonesia”. Sebagai “nama”, Indonesia mulai dipakai secara lebih sering oleh “Perhimpoenan Indonesia” sebagai ganti dari nama “Hindia-Belanda” sudah sejak tahun 1922. Tetapi sekitar tahun 1924 atau 1925, kaum komunis mengambil alih. Bdk. Mohammad Hatta, Nama Indonesia (Penemuan Komunis?), Jakarta: Yayasan Idayu, 1980, 9).
Sementara nama “filsafat Keindonesiaan” lebih memaksudkan dalam rangka menuju ke sana, ke penemuan sistemasi, penggalian rasionalitas, dan pendefinisian karakter-karakter filosofisnya untuk kemudian diaktualisasikan dalam hidup sehari-hari.
Butir-butir kearifan lokal dalam buku ini dapat menjadi semacam ingredients (bumbu-bumbu) “masakan” sebuah filsafat Indonesia.
Karena merupakan “bumbu-bumbu masak”, kodrat pengertian dari butir-butir kearifan lokal ini ialah “masih harus dimasak” sedemikian rupa sehingga menjadi sajian pemikiran filsafat yang kontributif bagi peradaban rasionalitas.
Di sini yang saya maksud: bahwa “Filsafat Indonesia” pastilah bukan itu sejak tahun 1922 atau sebelumnya.
Jadi apa yang disebut “filsafat Keindonesiaan” ialah apa yang ditemukan dalam butir-butir kebijaksanaan lokal Batak, Manggarai, Aceh, Batak, Lampung, Papua, Bugis, Toraja, Manggarai, Kepulauan Kei, Jawa, Sunda, Minahasa, Madura, Dayak, dan seterusnya.
Nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan Batak atau Dayak –umpamanya– mencerminkan konsep manusia Batak (“Ke-Batak-an”) atau manusia Dayak (“Ke-Dayak-an”).
Namun demikian, baik “Ke-Batak-an” atau “Ke-Dayak-an” seakan-akan menyusun apa yang kita sebut “Ke-Indonesiaan”.
Di sini, dalam penggalian kearifan filosofis “Keindonesiaan”, tidak ada atau tidak berlaku “supremasi” atau “pengunggulan” kearifan wilayah tertentu atau yang berasal dari tradisi kosmologis-religius tertentu.
Artinya, “Ain ni Ain” dari Kepulauan Kei (Maluku Tenggara) yang meskipun memiliki jumlah penduduk yang kurang besar dibanding pulau yang lain, tetap menjadi komponen (ingredient) “Keindonesiaan” seperti kearifan-kearifan dari lokalitas lain.
Berbeda dengan ideologi
Kearifan lokal berbeda dari ideologi. Dalam filsafat politik, ideologi mengatakan sistem rasional yang baku yang menjadi hak paten pesohor atau filosof yang mencetuskannya. Kearifan lokal menjadi milik rakyat setempat.
Ideologi punya karakter koersif politis dan antogonis terhadap ideologi lain (ideologi “A” hampir tak pernah bisa disandingkan dengan ideologi lain).
Kebalikannya, kearifan lokal merupakan “jiwa”, “filsafat”, bahkan “perasaan” yang sedalam-dalamnya yang telah ada dan menyejarah dalam perjalanan hati-diri masyarakat dalam lokalitasnya.
Kearifan lokal memiliki karakter yang “merangkul” sekaligus “menyambut” selaras dengan kodrat kemanusiaan yang dibentuk dalam konteks lokal tertentu.
Jika ideologi membuat manusia “terkurung” dan “terkungkung” dalam sangkar ide-ide tentang kekuasaan (yang koersif menindas), kearifan lokal memungkinkan manusia berdialog dengan kehidupan keseharian secara lebih terbuka.
Dengan demikian, “filsafat Keindonesiaan” memiliki karakter dinamis, seiring dengan dinamisitas peziarahan manusia-manusia Indonesia. (Berlanjut)