Minggu, 18 Juni 2023
Kel 19: 2- 6a
Mazmur : 100; 2,3,5
Rm.. 5:6-11
Mat. 9: 36 – 10:8
BANYAK sekali manusia yang lupa mengucap syukur kepada Tuhan atas berkat dan penyertaan-Nya kepada mereka.
Ada banyak anugerah yang membentuk kita menjadi manusia yang tangguh dan kuat atas kemurahan Tuhan.
Di sinilah letak misteri tangan Allah, karena Allah membentuk kita melalui aneka macam kisah kehidupan yang kadang pahit dan sulit.
Jangan karena menerima berkat baru kita mengucap syukur kepada Tuhan, saat mengalami penderitaan dan kesusahan justru berbalik dan meninggalkan Tuhan.
Mengucap syukur berarti kita mengakui dan percaya akan kasih serta kemurahan Tuhan hingga kita memuji Tuhan Allah kita.
Kita dapat mengucap syukur lewat doa, melalui kesaksian hidup khususnya melalui tindakan nyata dalam berbuat baik pada sesama.
Orang-orang yang tidak “bisa” mengucap syukur bisa masuk kategori orang yang menolak keberadaan Tuhan sebagai pemberi kehidupan.
Mereka menganggap kehidupan mereka adalah milik mereka, hak pribadi mereka, dan hasil usaha mereka.
Mereka sangat mengandalkan kekuatan manusiawi mereka.
Mereka menyangka bahwa dengan akal budi mereka, mereka mampu menyelesaikan semua masalah hidup mereka, bahkan mereka mampu menggantikan Tuhan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia.
Pemikiran seperti itu bisa menjauhkan kita dari rasa syukur pada Tuhan.
Semua yang kita miliki adalah anugerah Tuhan yang kita terima dengan cuma-cuma.
Kitapun diutus Tuhan untuk berbagi berkat dengan cuma-cuma kepada sesama.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian,
“Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan Surga sudah dekat. Sembuhkanlah orang sakit; bangkitkanlah orang mati; tahirkanlah orang kusta; usirlah setan-setan.
Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma.”
Semangat pancuran menjadi dasar panggilan dan perutusan kita mewartakan Kerajaan Allah.
Kita ini hanyalah jalan rahmat Allah yang dipercaya untuk memgalirkan rahmat keselamatan kepada sesama.
Semakin pancuran itu bersih dan tidak terhalang, makin lancarlah rahmat Allah itu.
Namun nyatanya sering kali pancuran itu terhambat oleh keegoisan kita, nafsu pribadi dan keinginan menahan rahmat untuk kepetingan diri sendiri.
Kerajaan Allah itu diberikan secara cuma-cuma sebagai anugerah dan hendaknya kita menyalurkannya kepada sesama.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku mensyukuri anugerah Tuhan dan menjadi pancuran rahmat bagi sesama?