DI tengah kemajuan teknologi yang semakin pesat, kita dihadapkan pada sebuah fenomena yang patut direnungkan: semakin maju perkembangan teknologi, semakin dalam jurang pemisah antara keahlian teknis dan refleksi filosofis.
Keterpisahan ini bukanlah sekadar polemik akademis, melainkan mencerminkan tantangan fundamental dalam cara kita mengembangkan dan menerapkan pengetahuan untuk menghadapi persoalan kompleks abad ke-21.
Keahlian teknis: fondasi yang tak tergantikan
Mari kita pahami sejak awal: keahlian teknis dan sains empiris tetap merupakan fondasi yang tak tergantikan dalam kemajuan peradaban.
- Tanpa pemahaman mendalam tentang Fisika Kuantum, kita tidak akan memiliki teknologi semikonduktor.
- Tanpa keahlian rekayasa perangkat lunak yang canggih, internet tidak akan menjadi infrastruktur global yang mengubah cara manusia berinteraksi.
- Tanpa ketepatan metodologis ilmu medis, kita tidak akan menikmati peningkatan dramatis dalam kualitas dan harapan hidup.
Kemampuan untuk membangun model matematis yang akurat, melakukan eksperimen terkontrol, menganalisis data secara presisi, dan mengembangkan solusi teknis yang efisien—semua ini merupakan capaian luar biasa dari pendekatan saintifik modern.
Capaian-capaian ini tidak boleh dikerdilkan atau dianggap sekunder dalam upaya kita menjembatani kesenjangan antara sains dan filsafat.
Seorang ahli AI yang menguasai secara mendalam neural networks (jaringan saraf tiruan), algoritma pembelajaran, dan arsitektur komputasi akan selalu menjadi aset berharga dalam pengembangan teknologi kecerdasan buatan.
Seorang ilmuwan iklim yang memahami dengan presisi dinamika atmosfer, siklus karbon, dan pemodelan sistem kompleks akan selalu diperlukan dalam usaha kita memahami dan mengatasi perubahan iklim.

Keterbatasan pendekatan teknis semata
Namun, sebagaimana diakui oleh banyak praktisi dan ilmuwan teoritis terdepan dalam bidang mereka sendiri, keahlian teknis semata memiliki keterbatasan inheren.
Fisikawan teoritis Richard Feynman pernah mengatakan, “Sains adalah cara untuk tidak menipu diri sendiri.”
Tapi ia juga mengakui, “Saya pikir penting untuk menyadari bahwa kita tidak tahu apa yang kita lakukan. Kita memiliki sejumlah gagasan, sejumlah cara merumuskan hal-hal, dan sejumlah jawaban. Namun ilmu pengetahuan seringkali merupakan pencarian dalam kegelapan” [2].
Pencarian dalam kegelapan ini memerlukan lebih dari sekadar alat analitis. Ia memerlukan kemampuan untuk mempertanyakan asumsi dasar, memikirkan implikasi etis, dan memahami konteks sosial-budaya tempat pengetahuan tersebut diterapkan.

Lihatlah krisis-krisis kompleks saat ini
Perubahan iklim adalah masalah teknis yang memerlukan inovasi energi terbarukan dan rekayasa karbon—tetapi juga masalah etis tentang keadilan intergenerasional dan tanggungjawab terhadap biosfer.
Pengembangan AI adalah masalah komputasional yang memerlukan algoritma canggih—tetapi juga masalah filosofis tentang apa artinya menjadi manusia dan bagaimana kita mendefinisikan kecerdasan dan kesadaran.
Pandemi global adalah masalah epidemiologis yang memerlukan vaksin dan protokol kesehatan publik—tetapi juga masalah sosial-politik tentang keseimbangan antara kebebasan individu dan kebaikan bersama.
Keterbatasan pendekatan murni teknis menjadi semakin jelas ketika kita menghadapi “wicked problems” (masalah-masalah pelik)—masalah-masalah yang tidak memiliki formulasi definitif, tidak memiliki kriteria “berhenti” yang jelas, dan solusinya tidak dapat dikategorikan sebagai benar atau salah, tetapi hanya lebih baik atau lebih buruk.
Sebagaimana disoroti oleh Messeri dan Crockett, AI modern bahkan dapat menciptakan “ilusi pemahaman” yang membuat kita percaya kita memahami lebih banyak daripada yang sebenarnya [6]. (Berlanjut)