Renungan Harian 19 Juni 2020 – Ikhlas

0
552 views
Ilustrasi - Menjadi petani yang setia, rajin bekerja. (Ist)

Hari Raya Hati Yesus Yang Maha Kudus
Bacaan I: Ul. 7: 6-11
Bacaan II: 1Yoh. 4: 7-16
Injil: Mat. 11: 25-30
 

SORE itu aku berkunjung ke rumah salah satu umat di paroki di tempat aku bertugas. Bapak itu dikenal sebagai pedagang hasil bumi yang sukses. Di paroki, beliau menjadi salah satu donator tetap untuk berbagai kegiatan paroki.
 
Saat sampai ke rumahnya, bapak itu sedang memperhatikan karyawan-karyawannya yang sedang memuat hasil bumi ke dalam truk yang besar.

Tampak ada tiga buah truk yang siap memuat hasil bumi dari gudang, yang berada di depan rumah. Melihat kedatangan saya, bapak itu dengan ramah mempersilakan saya untuk masuk.

“Wah banyak sekali ya yang dimuat hari ini. Wah hebat, pak,” ujarku membuka pembicaraan.

“Mo, mo, itu yang sekarang terlihat. Wah mo kalau ingat bagaimana saya memulai usaha, nangis darah rasanya. Ini semua mukjizat bagi hidup saya, berkah yang luar biasa,” jawabnya.
 
Sambil mempersilakan saya minum dan makan singkong goreng yang dihidangkan, ia berkisah.

Mo, dulu saya hidup mapan di Jakarta. Sudah punya kedudukan baik di perusahaan, punya rumah baik, punya kendaraan. Isteri saya juga punya kedudukan yang baik di perusahaannya. Rasanya mimpi kami ketika kuliah  ekarang terpenuhi.
 
Krismon tahun 1998 membuyarkan mimpi kami. Saya dan istri di rumahkan, perusahaan di mana kami bekerja tutup, bos besar pemilik perusahaan hilang entah kemana. Kami berdua berhenti tanpa pesangon seperser pun. Kami limbung, gak ngerti harus bagaimana. Untung, ya kami ngomong begitu, kami belum dikaruniai momongan.
 
Ketika kami bekeluh kesah ke bapak, beliau mengusulkan kami pulang dan cari usaha di kampung. Kami memutuskan menjual rumah dan kendaraan, waktu itu kami jual dengan harga murah banget. Dengan hasil penjualan itu kami pulang ke kampung.
 
Waduh Mo, hati ini sakit banget, tiap malam istri nangis gak tahan. Kami jadi omongan tetangga, kami dicibir macam-macamlah pokoknya. Bapak dan ibu selalu menasehati kami, yang ikhlas, semua harus dijalani dengan rela dan ikhlas lahir batin. Berjuang dan berjuang dengan ikhlas pasti ada jalan. Gusti ora sare. Tiap malam kami berdua berdoa, mohon dan mohon agar bisa ikhlas menjalani semua ini.
 
Saya mulai menggarap tanah bapak, awalnya seperti orang kampung lain saya menanam palawija bergantian dengan padi, tergantung musimnya. Seperti petani lain, kami selalu menjadi korban tengkulak, dan kami tidak bisa berbuat lain.

Tetapi dari situ saya banyak belajar untuk ikhlas. Belajar mengalahkan diri sendiri. Mengalahkan kesombongan saya, berani merendahkan diri, dan tidak mengagung-agungkan harga diri. Itu semua saya jalanin hampir 3 tahun.
 
Suatu hari saat musim panen kacang tanah. entah angin dari mana seorang teman kerja di Jakarta, main ke rumah.  Dia setelah berhenti kerja meneruskan usaha orang tuanya jual beli hasil bumi. Dia menawari saya kerja sama. Saya mengumpulkan hasil bumi di sini dan mengirim ke dia. Sejak saat itu Mo, keadaan ekonomi kami berubah, hingga menjadi seperti ini.
 
Mo, sampai sekarang saya pegang nasehat orang tua kami, yaitu menjalani hidup dengan ikhlas lahir batin. Saat kami sudah bisa ikhlas, Tuhan mengirim malaekat ke kami dalam diri teman saya. Betul Mo, saya selalu merasa bahwa teman itu adalah malaekat yang diutus Tuhan untuk kami,“ bapak itu menutup kisahnya.
 
Kata ikhlas yang dihidupi bapak tadi membantu saya untuk mengerti sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan Matius: “Belajarlah padaKu, karena Aku lemah lembut dan rendah hati. Maka hatimu akan mendapat ketenangan.”
 
Belajar dari pengalaman bapak tadi, betapa berat dan sulit untuk menjadi ikhlas. Akankah aku mampu menjalani hidupku dengan ikhlas?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here