Romo Pertapa Martin Suhartono: Raib Jadi Rahib, Kejutan di Akhir Novisiat SJ (2)

0
4,120 views
Penampakan tahun-tahun dulu Biara Pertapaan Trappist Santa Maria Rawaseneng di Temaanggung, Jateng. (Ist)

Kejutan di akhir Novisiat SJ (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Raib Jadi Rahib, Lie Cha Lie Chu Lie Chung Yen (1)

DI tahun pertama saya tertarik oleh promosi tamu Yesuit dari Roma mengenai misi SY di China; niat saya menyediakan diri untuk hCina cuma ditanggapi dengan humor oleh Romo Provinsial waktu itu: Rm. Suradibrata SJ. Menjelang akhir tahun kedua (September 1976), saya mengalami goncangan batin setelah ikut grup dinamika yang mengolah rasa-perasa. Ego terasa hancur luluh. Sambil menjerit dalam hati mohon pertolongan Tuhan, saya buka Kitab Suci secara acak. (Baca:  Romo Pertapa Martin Suhartono: Dari Kaul Privat ke Kaul Publik Menjadi Eremit Diosesan KAS (1)

Terbukalah halaman yang memuat Kitab Ratapan dan mata langsung tertancap pada ayat-ayat yang berbunyi: “Adalah baik menanti dengan diam pertolongan TUHAN. Adalah baik bagi seorang pria memikul kuk pada masa mudanya. Biarlah ia duduk sendirian dan berdiam diri kalau TUHAN membebankannya.” (3:26-28).

Mendadak muncul dalam “layar batin”: gambaran diri saya tafakur sendirian dalam gua; saya segera menangkap petunjuk bahwa Tuhan menghendaki saya menjadi pertapa. Penuh air mata saya pun menerima panggilan ini dengan bahagia.

Atas izin Pembimbing Novis (alm. Rm. Ignatius Haryata SJ ), saya meninjau Pertapaan Trappist Rawaseneng; namun begitu memasuki kompleks pertapaan, muncul keyakinan kuat bahwa bukan itulah tempat saya. Pemimpin Pertapaan (Romo Abbas, Frans Harjawiyata, OCSO) menolak saya, karena pengalaman ini terlalu mendadak dan heran bahwa saya menyimpulkan panggilan pertapa dari Ratapan 3:26-28. Secara rasional saya tak menyimpulkan apa pun; semua muncul begitu saja.

Atas nasehat Rm. Antonius Sunarka SJ (kakak kandung Uskup Agung Jakarta Mgr. Leo Soekoto SJ), yang mendampingi retret delapan hari, saya menghubungi Rm. Yohanes Indrakusuma O’Carm dan Rm. Verbeek O’Carm, yang baru tiga bulan membuka Pertapaan Karmel di Jawa Timur; Rm. Yohanes mengundang saya tinggal satu dua minggu.

Sebelum ke Jatim, pada tanggal 29 Desember 1976 (HUT ke 21), di kapel Novisiat disaksikan teman-teman novis, di hadapan Tuhan lewat Rm. Haryata, saya mengikrarkan kaul pribadi yang bersifat devotif (bukan resmi gerejani). Saya berkaul untuk hidup miskin, murni dan sebagai pertapa. Kata “selama-lamanya” yang tadinya ingin saya ikrarkan diubah oleh Rm. Haryata SJ menjadi “untuk selama satu tahun”.

Kejutan terlunta-lunta
Tahun 1977 saya isi dengan berziarah terus menerus, sebagian besar dengan berjalan kaki sambil mengemis makanan dan penginapan: dari Jakarta ke Pertapaan Karmel di desa Ngroto (Pujon), kemudian ke Pertapaan Trappist Rawaseneng (Temanggung) dan Bandung.

Jalan kaki Jakarta-Ngroto lebih merupakan tindakan penuh keputus-asaan daripada dorongan kesucian berlaku-tapa. Papi dengan keras menentang niat saya untuk jadi pertapa, yang dianggapnya tanpa guna bagi masyarakat. Hari-hari saya tinggal di rumah, sebelum berangkat ke Jawa Timur, penuh diskusi panas dengan Papi mengenai niat saya ini.

Mami dengan sabar mengatakan bahwa akan berdoa bagi saya apa pun yang saya lakukan agar saya menemukan apa yang menjadi panggilan Tuhan. Karena itulah saya nekad memutuskan bahwa seandainya pun kedua Karmelit itu tidak mau menerima saya, saya akan terus berjalan ke arah timur pulau Jawa/Indonesia sampai menemukan tempat untuk mendirikan pertapaan.

Berangkat dari Jakarta tanggal 3 Februari 1977 saya sampai di Ngroto tanggal 11 Maret 1977. Setelah saya tinggal dua minggu, kedua Romo pertapa mengizinkan saya hidup bersama mereka, entah berapa lama pun saya mau, meskipun belum jelas apakah saya akan resmi bergabung.

Selang beberapa bulan, Rm. Yohanes berencana ke Jepang untuk belajar meditasi Zen dan berniat mengajak saya; sudah ditemukan pula donatur yang bersedia membiayai saya. Tapi, dalam suatu perayaan Ekaristi, saya mengalami kejelasan batin bahwa ikut Rm. Yohanes bukan merupakan jalan Tuhan bagi saya.

Kebetulan pada hari itu juga datang Romo Abbas Trappist dan Rm. Sunarya SJ ke pertapaan. Rm. Yohanes menanyakan pada Romo Abbas apakah saya boleh tinggal di Rawaseneng sementara menegaskan panggilan Tuhan. Berkat jaminan Rm. Yohanes, Romo Abbas menerima saya tinggal dalam biara, hidup dan bekerja bersama para rahib, meskipun tanpa niat menjadi Trappist.

Enam bulan saya tinggal di Pertapaan Karmel (Maret-Agustus 1977), dibina dalam pengalaman keheningan dengan praktik Doa Yesus dan studi kerohanian Karmelit (lewat karya St. Yohanes Salib dan St. Theresia Avila). Dari dusun Ngroto itu saya beralih ke Rawaseneng dan tinggal hampir tiga bulan di Pertapaan Trappist (Agustus-Oktober 1977). Di situ saya bertemu lagi dengan Rm. Sunarya SJ yang menganjurkan saya studi teologi di Bandung sebagai dasar hidup pertapa.

Saya pun mengikuti nasehat Rm. Sunarya SJ dan pindah ke Bandung. Di Bandung saya menyewa kamar di perkampungan Karees/Gatot Subroto dan diterima bekerja oleh Sr. Margaretha, PI di perpustakaan SMA Trinitas dan kemudian diterima pula oleh Sr. Ursula OSU sebagai penjaga toko koperasi sekolah di SD Angela karena letak Angela lebih dekat ke Sekolah Tinggi Filsafat & Teologi. Rencana saya adalah kuliah teologi di STFT Jalan Nias itu sambil bekerja sore hari sebagai pembersih laboratorium SMA Angela.

Di Bandung saya berjumpa kembali dengan Rm. Sunarya SJ yang menganjurkan saya mengadakan evaluasi atas perjalanan selama setahun itu. Dari pihak saya, memang saya sudah meninggalkan Serikat Yesus, namun Rm. Haryata SJ masih membuka kemungkinan bahwa selama setahun itu saya boleh kembali tanpa harus mengulang novisiat lagi. Atas undangan Rm. Haryata SJ, saya pun segera ke Girisonta untuk retret delapan hari.

Saya rasakan dalam retret itu bahwa langkah ke depan sebagai pertapa terasa gelap. Karena inspirasi dari Atas terasa kurang jelas dan saya takut melangkah lebih jauh, padahal saya merasa krasan hidup dalam SY di samping menyadari bahwa panggilan religius akan lebih terjaga dalam SY daripada kalau saya mengembara sendirian, maka saya putuskan untuk kembali ke SY.

Pada tanggal 24 Desember 1977 Provinsial SJ (Rm. Suradibrata) menerima saya kembali dan mengizinkan saya mengikrarkan Kaul Pertama pada tanggal 1 Januari 1978 bersama para novis adik kelas saya. Kaul pribadi saya sebagai pertapa, yang tidak diperbaharui setelah setahun, habis masa berlakunya; begitu pikir saya. (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Raib Jadi Rahib, Kejutan Tertunda-tunda (3)

288 views
0

 

Kredit foto: Ilustrasi (Ist)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here