Saudara Mentari dan Saudari Bulan

0
4,170 views

Santo Fransiskus Asisi | Kapusin.Org

WAKTU menunjukkan setengah dua pagi saatku sampai di garasi rumahku. Seperti biasa, pagi itu aku baru pulang dari kantor. Kulihat seekor kucing dengan bulu oranye sedang meringkuk dikerubuti anak-anaknya yang sudah agak besar di depan pintu rumahku. Siang tadi kucing-kucing ini kulihat bermain di depan halaman rumahku. Sekilas rasa gembira menyelinap dalam hatiku. Aku tak tahu apa sebabnya.

 

Seolah sesuatu yang lama pergi telah kembali lagi padaku. Memang sudah beberapa bulan ini tak ada kucing yang mampir untuk sekedar berteduh di depan rumahku. Beberapa bulan sebelumnya beberapa kucing sempat mampir. Minggu-minggu ini kucing yang aku tak tahu punya siapa teryata mau mampir dan tidur di depan rumahku lagi, persis di depan pintu rumah. Rumahku tak berpagar sehingga kucing pun bisa masuk dan keluar sesukanya di halaman rumah.

Aku memang kangen dengan binatang-binatang ini. Beberapa bulan lalu, aku lupa kapan itu terjadi, ada seekor kucing yang pernah mati di depan pintu rumahku. Sang kucing yang malam sebelumnya sempat tertidur meringkuk di depan pintu rumah kuselimuti dengan kain karena kulihat dia kedinginan, akhirnya mati dalam dinginnya malam. Malang sekali nasib kucing ini. Aku pun menguburnya dengan rasa sedikit sedih.

Sempat pula seekor kucing dengan anak-anaknya yang masih kecil berteduh di atap rumahku, persisnya di kolong bawah genting. Beberapa minggu anak-anak kucing ini berdiam dalam keteduhan karena cuaca yang betul-betul panas waktu itu. Hari berikutnya, kucing-kucing itu mulai pindah ke bawah, di depan pintu.

Dan jauh hari sebelumnya seekor kucing yang mengalami cedera gara-gara berkelahi dengan kucing lain pernah menyambangi rumahku. Istrikulah yang memberinya obat untuk luka ini. Sampai kemudian kabar tak mengenakkan kudengar. Si kucing yang memang suka berkelahi dan beberapa kali selalu berminat untuk masuk ke dalam ruang tamu tapi selalu tak kuijinkan ternyata mati gara-gara berkelahi dengan temannya. Ah…kasihan…kenapa kamu harus berkelahi….

Kucing, meski aku tidak begitu suka dengan binatang satu ini aku merasa senang dengan kedatangan mereka di rumahku. Kedatangan kucing menandakan rumahku adalah tempat yang nyaman untuk siapa pun. Aku gembira dengan tanda ini. Binatang menyenanginya. Binatang merasa teduh berdiam di rumahku. Padahal ada rumah atau tempat lain yang terbuka dan bisa digunakan untuk berteduh. Selain menandakan adanya keteduhan dalam rumahku, aku tidak tahu kenapa kucing-kucing ini mau bertandang ke rumahku. Kenapa tidak ke rumah tetanggaku? Aku sendiri tidak tahu.

ESP

Pagi itu teriakan terkejut istriku begitu mengagetkan, memaksaku membuka mata meski keengganan masih menyusupi ragaku pagi itu. Rupanya seekor tikus yang biasanya menyatroni bagian belakang rumahku sudah tak berdaya dibabat kucing-kucing itu. Sebelum kupindah, tikus yang belum habis dilahap dan dikerubungi lalat tergeletak di taman depan rumah ternyata sudah digondol sang kucing.

“Ah, mungkin ini maksudnya,” pikirku. Minggu sebelumnya aku sempat berkata pada sang tikus,”Sudahlah jangan pernah main-main lagi ke belakang rumah. Aku tak mau,” tapi omonganku tak digubris. Jadinya ya seperti inilah!

Orang mungkin akan bilang ‘gila’ atau sinting karena aku mengajak bicara tikus. “Mana mungkin dia tahu!”  Tapi, bagiku segala sesuatu bisa saja terjadi dan sangat mungkin terjadi. Siapa pun bisa kita ajak bicara, entah itu benda mati apalagi makhluk hidup. Bahasa dalam hal ini tak lagi berarti karena yang bekerja dalam mekanisme komunikasi ini adalah persepsi, persisnya extra sensory perception atau yang sering disebut ESP.

Beragam pengalaman komunikasi dengan binatang atau tumbuhan pun sudah membuktikan hal ini. Satu contoh, temanku pernah mengatakan sumpah serapah karena tingkah tikus yang suka menyatroni tempat kosnya membuat kotor tempat tinggalnya. Esok harinya, sang tikus datang kembali. Kali ini tak sendirian, tetapi mengajak teman-temannya mengobrak-abik pakaian yang kebetulan dia letakkan di almari. Berkali-kali pengalaman serupa dialaminya.

Pamanku pernah bercerita bahwa suatu ketika dia suka memelihara kucing dalam jumlah yang lumayan banyak, lebih dari tiga ekor. Katanya, ada perbedaan antara kucing yang setiap kali diberi kata-kata sayang dengan kucing yang kerap dicaci maki meski keduanya sama-sama diberi makan. “Kucing yang dicaci maki tetap saja kelihatan kurus. Padahal jumlah makan yang diberikan sama saja,” begitu kata pamanku.

Penelitian yang sedikit ilmiah pun sudah dilakukan seorang Masaru Emoto di Jepang atas air. Ada perbedaan bentuk molekul antara air yang diberi kata-kata cinta, terima kasih atau diperdengarkan musik dibanding air yang diberi kata-kata penuh benci, sumpah serapah, bahkan lagu heavy metal. Air yang diberi kata-kata manis, positif, menunjukkan bentuk molekul yang cantik, heksagonal (bentuk molekul kecil sekali yang mampu diserap tubuh dengan mudah sehingga menyehatkan). Semuanya hendak membuktikan bahwa kita bisa berkomunikasi dengan siapa pun juga. Tak hanya dengan manusia.

Tak heran bila mistikus dan orang kudus dari Italia, Fransiskus Asisi dalam tembangnya yang terkenal Gita Sang Surya (The Canticle of the Sun) menyebut matahari sebagai saudara laki-laki dan bulan sebagai saudara perempuan atau “Brother Sun and Sister Moon”. Kepada pohon-pohon pun dia katakan mereka adalah saudara. Itu artinya, segala sesuatu di sekitar dia dinaikkan derajatnya setara dengan kita, manusia.

Apa yang dilakukan Fransiskus ini tidak akan muncul dari refleksi yang dangkal. Ini merupakan bentuk spiritualitas yang mendalam. Filosof asal Kanada, Prof. Dr. Louis Leahy, SJ menyebutkan bahwa alam semesta digambarkan sebagai un pont entre les ames, sebuah jembatan antara jiwa-jiwa.

Karena itu, mereka yang memperlakukan alam ini begitu keji dengan semena-mena mengeksploitasinya, bukan tidak mungkin alam akan membalasnya dengan caranya sendiri. Kasus banjir di Jakarta misalnya. Sangat bodoh dan biadab bila kita menyalahkan Tuhan yang melakukan hal ini dengan mengatakan “Ini cobaan Tuhan”. Kita sendiri perlu melihat diri sendiri dan bertanya “Apa yang telah kita lakukan terhadap lingkungan sehingga banjir terus menerus tak bisa diselesaikan?

Ilegal logging di wilayah-wilayah hutan Kalimantan bakal menyisakan kesenggsaraan. Alam akan menuntut dipenuhinya keseimbagan semesta ini. Filosofi ‘aku bagian dari dunia ini‘ tampaknya perlu dimunculkan kembali dalam kesadaran kita. Manusia Asia sudah sejak lama menyadari hal ini. Lihat saja lukisan-lukisan yang muncul dalam setiap lembar sejarah kesenian. Nyaris tak ada lukisan potret manusia dalam budaya China, Jawa, atau budaya Asia lain. Yang kerap ada justru lukisan alam, gunung, dan pemandangan semesta yang indah. Gambar manusia hanyalah setitik dari keseluruhan keindahan yang tampak di semesta dan tertuang dalam lukisan.

Sementara budaya barat, di negeri-negeri Eropa zaman lampau, potret manusia, sebagai tokoh yang lepas dari semesta kerapkali kita temui. Manusia menganggap alam ini sebagai obyek tinimbang subyek. Manusia menampakkan dirinya berjarak dengan semesta ini. Manusia mulai sadar bahwa alam ini harus dikuasainya bukan dijadikan teman serta sahabat. Maka, rusaklah alam.

Tentu tak heran sikap ini muncul. Filsuf Descartes saja menganggap dirinya sebagai matre et possesseur de la nature (tuan dan pemilik alam semesta). Itu artinya, kata Louis Leahy, ia mengambil risiko mereduksi alam sebagai kumpulan obyek yang kurang ada nilai dan arti pada dirinya.

Karena itulah konsep ‘Back to nature’ pada dasarnya tidak sekedar kita menghijaukan lahan tempat kita tinggal. Lebih dalam dari itu semua, yakni sebuah upaya untuk bisa memahami alam dan hidup bersamanya dalam harmoni.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here