Unjuk Kasih Seminari Mertoyudan

2
2,010 views

[media-credit name=”Panitia” align=”alignleft” width=”300″][/media-credit]KASIH memang sebaiknya tak boleh hanya berhenti di ujung bibir. Kalau hanya sampai di situ, maka tak ubahnya “tong kosong berbunyi nyaring”.

Nah, hajatan bakti kasih bertajuk “Pengobatan Massal” akhirnya berhasil terlaksana di kompleks asrama Seminari Mertoyudan, Minggu tanggal 3 Juli 2011 lalu. Hajatan bakti kasih ini digelar dalam rangka menyongsong Pesta Peringatan 100 Tahun Seminari Mertoyudan yang resminya akan berlangsung tanggal 30 Mei 2012.

Kasih memang lebih baik diwujudnyatakan daripada diperbincangkan. Di acara bakti kasih berupa kegiatan pengobatan massal itulah terjadilah sebuah “perbincangan” tentang bagaimana sebaiknya kasih itu dipresentasikan.

Ibu muda dengan satu bayi
“Di tengah ramainya para dokter dan perawat sukarelawan melayani para pasien dadakan yang menyesaki ruang-ruang kelas di kompleks Seminari Mertoyudan, tiba-tiba datang menyeruak masuk seorang ibu muda. Sekilas ibu muda ini tengah dirundung oleh sebuah keraguan besar. Tak jelas mengapa ibu muda dengan satu bayi mungil dalam gendongannya itu selalu menampakkan kegelisahannya.”

“Ibu muda dengan bayi kecilnya ini berpenampilan sangat lusuh, pun pula bayi kecil yang dia gendong dengan selendang lusuhnya. Ia memberanikan diri maju ke depan mendaftarkan diri kepada panitia di barisan depan yang melayani kedatangan pasien-
pasien dadakan.”

“Ketika tiba gilirannya maju ke bilik pemeriksaan, tiba-tiba saja si ibu muda dengan satu bayi mungil ini secara demonstrative lalu memperlihatkan keraguannya secara spontan. Toleh kanan-kiri, maju-mundur, dia juga tak segera bangkit dari bangku dan kemudian masuk ke bilik pemeriksaan merespon panggilan”

“Semua tak menyangka kalau tiba-tiba saja si ibu muda ini malah beranjak pergi meninggalkan bangku antri. Dia lalu memilih selonjor duduk di tanah rerumputan, sembari tanpa henti menenangkan bayinya yang mulai rewel menahan teriknya panas matahari”.

“Saya lusuh”
Semua terhenyak. Mendadak sontak, semua perhatian orang tertuju kepada si ibu muda bersama bayinya ini. Alih-alih maju ke depan menemui perawat dan dokter di bilik pemeriksaan, ibu muda dengan satu bayi ini malah “menjauhi” lokasi dengan duduk selonjor di atas tanah rerumputan.

Kaget dan sedikit grogi, akhirnya salah satu panitia menghampiri ibu muda dan dengan sedikit ngarih-arih (membujuk halus) panitia bertanya mengapa dia tidak segera masuk ke bilik pemeriksaan. Jawabannya tak kalah mengagetkan, karena kepada panitia dia mengatakan: “Saya ini lusuh… tidak pantas masuk ke bilik pemeriksaan,” katanya memelas.

Beberapa menit kemudian, panitia terpaksa mengambil jalan “paksa” dengan tetap meminta ibu muda ini duduk di bangku antrian yang sudah disediakan. “Ampun, Pak. Saya ini tidak pantas duduk di bangku itu…Kami ini kotor, lusuh…kami sangat kotor…kasihan orang lain yang duduk di bangku itu kalau kami ikut duduk di sana,” jeritnya lirih.

Belajar antri
Di negara-negara modern dengan peradaban tinggi, budaya antri sudah diakrabi oleh masyarakatnya. Di Indonesia….jangan tanya! Semakin merasa diri tinggi di masyarakat, maka semakin lalai pula menyikapi diri mau sedikit bersabar untuk rela antri.

Nukilan kisah di atas membersitkan kita pada suatu hal remeh-temeh namun penting yakni sabar menunggu giliran antri. Sikap demonstrative ibu muda yang merasa diri lusuh dan kemudian mempersilahkan orang lain “menikmati jatahnya” dalam antrian itu mengajari kita akan pentingnya sebuah pengorbanan dalam tatanan hidup bersama.

Banyak orang berebut waktu dan tempat untuk bisa dilayani dengan cepat.

Di tengah keributan orang yang berebut minta untuk dilayani lebih dahulu, ibu ini juga memilih menanti waktu gilirannya dengan sabar. Dalam kelemahan ekonomi dan penampilannya yang teramat lusuh, ibu muda ini harus “menggusur” dirinya sendiri berhadapan dengan tatanan masyarakat yang cenderung mendahulukan kepentingan mereka yang “tampil gemerlap”. Masyarakat kebanyakan memang biasa lebih suka melihat yang gilap-gemerlap dibanding yang lusuh-kotor.

Sekarang ini sudah saatnya kita bisa mewujudkan kasih tanpa pandang bulu.

Mathias Hariyadi, alumnus Seminari Mertoyudan angkatan tahun 1978.
Sumber: Refleksi pribadi Ari Hisri, alumnus Seminari Mertoyudan tahun 1979.
Photo credit: Dokumentasi Panitia.

2 COMMENTS

  1. Murah atau mahal itu dipandang dari sudut perbandingan. Barang tidak bermutu, dengan harga berapa pun akan terhitung mahal. Sebaliknya kualitas tinggi memang menuntut banyak biaya. Mungkin lebih tepat bukan murah dan mahal, tapi butuh banyak biaya aau sedikit.

    Salam Sesawi.

  2. Raphael Hery Bimo eks. 87…Bicara soal Panggilan Illahi setiap manusia tidak pernah membutuhkan biaya karena itu adalah tanggapan Pribadi akan PanggilanNya dan bagaimana sang pribadi berusaha membina relasi dan menanggapi hubungan dengan yang Illahi dan menaggapi apa yang di kehendakinya..sangat menyedihkan bilamana semua itu harus sekarang di batasi dan terhambat karena uang sebagai ciptaan manusia seolah Kualitas Karya Illahi tak pernah menjadi yang terdepan dan Prioritas…..Semoga uang tak pernah akan menghambat pertumbuhan Roh didalam pribadi calon gembala 2kita……salam sesawi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here