Upaya Tanggulangi dan Atasi Perbudakan dan Perdagangan Manusia di Era Modern

0
188 views
Tiga narasumber yang aktif terlibat dalam advokasi memberantas tindak pidana perdagangan orang Sr. Kristina Fransiska CP, Romo Paschal Pr, dan Sr. Laurentina SDP. (Br. Kasta)

PRAKTIK perdagangan manusia  di Indonesia itu ada dan sunguh nyata. Terjadi hampir di seluruh wilayah tanahair. Tidak sedikit orang -termasuk golongan rentan, dewasa maupun  anak-anak, baik lelaki maupun perempuan- menjadi sasaran tindak perdagangan dan perbudakan manusia ini.

Para korban diperdagangkan di dalam negara atau antar negara. Mereka dikirim keluar negeri untuk dijual tenaga kerjanya. Sebagian besar korban biasa dikirim ke Timur Tengah dan kawasan Asia-Pasifik.

Berbagai faktor penyeban

Salah satu penyebabnya suburnya praktik perdagangan manusia dan perbudakan modern adalah kondisi kemampuan finansial. Keluarga dengan keadaan ekonomi  tidak memadai -tambah lagi tidak tersedianya lapangan pekerjaan di daerah atau wilayahnya- “mengizinkan” anaknya baru tamat SLTA untuk berangkat bekerja; baik di dalam maupun di luar negeri.

Bahkan ibu rumahtangga juga rela meninggalkan suami dan anak-anaknya untuk maksud bisa mengatasi kemiskinan keluarga. Apalagi dengan iming-iming syarat ringan dan gaji besar dari  para perekrut tenaga kerja.

Perekrut biasanya  sudah dikenal oleh keluarga sasaran. Hal itu pulalah yang menguatkan para korban untuk berangkat demi pekerjaan. Selain faktor ekonomi, pendidikan rendah, faktor sosial serta minimnya akses informasi menjadi pemicu maraknya tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

Yang menjadikan lebih miris adalah bahwa karena majikan mereka merasa sudah mengeluarkan biaya tidak sedikit, maka para korban tidak jarang diperlakukan layaknya seorang budak. Mereka menerima banyak tekanan; bahkan sebagian korban harus mengalami siksaan fisik dan mentalnya.

Pelecehan atas martabat kemanusiaan seperti eksploitasi pekerjaan, eksploitasi seksual dan penjualan organ tubuh- sering juga dilakukan oleh para perekrut tenaga kerja migran. Semuanya demi uang.

Kasus perdagangan dan perbudakan manusia dengan akibat-akibat yang menyertainya sungguh menciderai, melecehkan harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan yang secitra dengan Allah Pencipta.

Gereja melawan praktik perdagangan Orang.

Demikian judul presentasi Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus Pr dalam sebuah pertemuan yang diadakan oleh Info JPIC Indonesia tanggal 19-25 Agustus 2023 lalu. Pertemuan ini berlangsung di Wisma Immaculata, Pontianak, Kalimantan Barat.

Hadir pada pertemuan tahunan JPIC Fransiskan Indonesia ini sebanyak 84 orang. Terdiri dari para  biarawan-biarawati dari berbagai Kongregasi Fransiskan seluruh Indonesia. Sebagian peserta merupakan utusan dari ordo Fransiskan awam dari Pontianak.

Para peserta berasal dari Regio Kalimantan (Pontianak, Singkawang, Sanggau, Sintang, Putussibau); Regio Jawa (Semarang, Jakarta, Yogjakarta); Regio Sumatera (Medan, Sibolga).

Pada kesempatan ini, panitia pelaksana pertemuan menghadirkan Staf KKPPMP KWI (Komisi Keadilan-Perdamaian dan Pastoral Perantau KWI). Mereka adalah:

  • Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus Pr, Staf Ahli TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) dan Ketua KKPPMP Regio Sumatra.
  • Sr. Laurentina Soeharsih SDP yang membidangi Pastoral Migran.
  • Sr. Kristina Fransiska CP yang bergerak di bidang Animasi dan Pendidikan Keadilan Perdamaian.

Dalam salah satu paparannya, Romo Paschal, demikian nama akrab imam diosean Keuskupan Pangkalpinang di Batam, mengajak peserta pertemuan memfokuskan pada pendalaman Studi TPPO.  

Ada empat hal yang perlu dicermati dalam tindak TPPO, yaitu:

  1. Gambaran umum tindak perdagangan orang.
  2. Tantangan dan perjuangan melawan praktik perdagangan orang.
  3. Keterampilan menangani dan mendampingi korban TPPO.
  4. Action plan (usaha pencegahan dan intervensi Gereja).

Romo memberi catatan penting dalam memahami TPPO. “Perdagangan orang adalah luka terbuka dalam masyarakat masa kini; luka terbuka dalam tubuh Kristus.” Demikian kata Paus Fransiskus).

“Perdagangan orang itu adalah luka kemanusiaan dalam diri para korban dan keluarga mereka. Luka terbuka pada hati nurani kita.”

Luka-luka inilah yang semestinya menjadi perhatian kita dalam beriman. Membuka mata melihat, membuka telinga yang peka dan dan tangan serta hati yang siap membantu.

Untuk kisah para korban dan luka mereka, entah yang hendak berangkat atau pulang dengan luka di tubuh dan jiwanya; walau masih bernyawa, atau mereka yang pulang tanpa nyawa atau mereka yang pulang dengan sejumlah uang di rekening, tapi dengan mental budak dari negeri seberang.

Lebih lanjut, ditekankan bahwa aktifitas keberpihakan kepada para korban:

  • Harus membawa kita bertemu dengan Allah, sebagaimana mewujud pada diri Kristus yang menjadi rapuh dan teluka untuk manusia. Allah turut menderita bersama manusia.
  • Sebagai bentuk tanggungjawab yang tak terelakkan untuk masuk dan belajar tentang kerentanan manusia, memahami penyebabnya. Juga sebagai upaya mencari kehendak Allah mengenai kerapuhan itu; berjuang bersama korban untuk misi Allah bagi keselamatan.
  • Harus terlibat bersama Allah, melawan dan melucuti kuasa jahat. Bekerja dalam jaringan  untuk kemuliaan jiwa manusia yang tidak boleh diperdagangkan.

“Bukalah pintu, jangan menutup diri, bantulah sedapat mungkin sesuai kemampuan,” demikian pesan Romo Paschal kepada peserta pertemuan dari salah seorang peserta pertemuan: apa yang dapat diperbuat?

Kategori kasus TPPO

Romo Paschal menyebut para pekerja migran sebagai orang-orang yang berani. Mereka meninggalkan keluarga, anak, isteri atau suami, orangtua.

Dilakukan untuk memperbaiki ekonomi keluarga  atau sekadar untuk mempertahankan hidup, membayar hutang, mencari biaya untuk sekolah bagi  anak-anak mereka.

Namun niat suci dan mulia ini kadang kala harus berujung akhir malah menjadi malapetaka. Dokumen perjalanan yang tidak lengkap, keserakahan perekrut tenaga, serta menganggap  enteng segala urusan akhirnya malah menjerumuskan para korban dalam masalah-masalah yang rumit dan ruwet.

Masalah rumit ini dapat saja mengarah menjadi tindakan TPPO. Romo Paschal memberi rambu kategori tindak TPPO; dengan mengacu pada UU.No.21/2007, pasal 1, 2.

Ada tiga elemen penting yang memungkinkan  terjadinya TPPO. Yaitu tindakan, cara, dan ancaman. Apabila dirumuskan secara formal seperti berikut:

“Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat -walaupun memperoleh persetujuan orang yang memegang kendali atas orang lain- untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun.” (Pasal 2 (1).

Ki-ka: Sr. Kristina Fransiska CP, Romo Pachal Pr, Sr. Laurentina SDP. (Br. Kasta MTB)

Gerakan aktif tanpa kekerasan.

Sr. Kristina Fransiska CP, salah satu tim KKPPMP yang membidangi Pastoral Migran dan Pendidikan Keadilan Perdamaian, mengajak para peserta pertemuan untuk berjuang membela martabat dan harkat sesama manusia dengan tindakan-tindakan aktif tanpa kekerasan.

Dengan belajar dari motu proprio Paus Fransiskus dalam Vos Estis Lux Mundi, Sr. Kristin menjelaskan tentang kekerasan sebagai berikut: ’Kekerasan merupakan pikiran, kehendak, kekuatan dan tidakan secara fisik, baik verbal maupun non verbal yang menhancurkan kualitas kehidupan, mengabaikan HAM dan merusak lingkungan.”

Sedangkan bentuk kekerasan meliputi antara lain, pemaksaan, penganiayaan, perampasan, diskriminasi, intimidasi sampai pada pembunuhan, sehingga mengakibatkan penderitaan manusia secara fisik, psikis, materi  atau kematian.

Sr. Kristin CP juga menjelaskan maksud aktif tanpa kekerasan, yaitu daya kesadaran personal dan sosial, berdasarkan kasih dan kebenaran yang dipromosikan untuk membangun keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan.

Dengan cara mengalahkan kejahatan melalui kebaikan sebagai bentuk dari penebusan dan kesembuhan.

Fakta dan realita tindak pidana perdagangan orang

Perekrutan tenaga kerja non prosedural di Indonesia, semakin meningkat dari waktu ke waktu. Semakin banyak  negara penerima tenaga non prosedural PMI (Pekerja Migran Indonesia)

Romo Paschal memaparkan, TPPO unprocedural PMI yang semula hanya dikirim ke Malaysia atau Timur Tengah saat ini telah merambah ke Kamboja, Filipina, Vietnam, Myanmar, atau Polandia. Perekrutan tenaga kerja ini telah berubah menjadi lahan bisnis.

Pengiriman menjadi lancar karena pengurusan dokumen surat keterangan, seperti cukup menggunakan visa kunjungan. Juga terlebih karena dibekingi oleh oknum aparat atau petugas negara yang seharusnya melindungi masyarakat.

Para peserta kegiatan penyadaran tindak tangkal praktik perdagangan orang. (Br. Kasta MTB)
Para peserta pertemuan nfo JPIC Indonesia di Pontianak dengan tema upaya cegah tangkal praktik perdagangan manusia. (Br. Kasta MTB)

Bahkan kecelakaan kapal yang banyak menelan korban -termasuk anak-anak- di perairan lalu lintas kapal pengangkut PMI seperti terjadi di Nongsa dan Kabil itu merupakan rentetan kasus TPPO. Hal tersebut dapat terjadi mungkin juga karena kelalaian oknum petugas pelabuhan.

Romo Paschal tahu seluk-beluk dan mengalami secara langsung bagaimana perlakuan petugas dan nasib para PMI dalam sebuah kapal pengangkut. Karena itu, ia mengatakan amat sulit mengurai permasalahan PMI.

Mulai dari rumitnya menembus keterkaitan antara calon pekerja yang sangat menutup diri dan rapinya jaringan perekrut serta aparat yang ada di sekeliling jaringan.

“Menurut data BP2MI tercatat sejak tahun 2020–2022 telah dipulangkan 4436 PMI. 95% proses penempatannya dilakukan secara non prosedur atau ilegal. Sekitar 1.400 di antaranya telah dipulangkan dalam keadaan meninggal dunia.”

Langkah penyadaran masyarakat

Daerah-daerah dengan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang miskin biasanya menjadi kantong-kantong pencari kerja migran. Tempat-tempat itu pula yang menjadi incaran para perekrut tenaga kerja migran.

Masyarakat di wilayah-wilayah dan orang per orang rentan harus diberi pemahaman bagaimana  menentukan pilihan yang tepat dan bijaksana: apakah memilih berangkat atau tidak menjadi tenaga migran di negara tertentu.

Sr. Laurentina SDP yang bergerak di bidang Pastoral Migran dan pendamping TPPO membagi pengalamannya dalam mendampingi mereka. Yakni kelompok masyarakat yang tinggal di kantong-kantong migran. Seperti yang baru saja dia lakukan hari Minggu 14 September 2023 lalu.

Sebagai Koordinator Pelayanan Kargo El Tari Kupang, Sr. Laurentina SDP selalu berkolaborasi dengan Tim Kerja Rumpun PSE-KKPMP dan Caritas. Yang biasa dilakukannya adalah memberi pendampingan kepada Umat Paroki Rinha Rosari Siolais, Kecamatan Kuanfatu, Kabupaten Timur Tengah Selatan, Timor, NTT. Juga sering-sering berdiskusi bersama mengenai masalah-masalah Migran Perantau.

Untuk menuju tempat ini, perlu waktu kurang lebih empat jam perjalanan dari Kupang. Masih ditambah dua jam lebih dari Kupang ke Soe; dilanjutkan lagi kurang lebih dua jam lagi sampai ke Siolais -salah satu kantong migran di wilayah ini. “Medan lapangan sangat berat; naik-turun gunung; Kanan-kiri kiri ada jurang,” ungkap Sr. Laurentina SDP.

Para pendamping masyarakat ini sadar bahwa yang berhak menentukan sesorang mau berangkat menjadi tenaga kerja migran atau tidak adalah mereka sendiri. Tugas pendamping adalah memberi gambaran yang jelas, persyaratan yang harus dipenuhi dan akibat-akibat yang akan menyertainya setelah sesorang menjadi tenaga migran.

Atau bagi mereka yang tetap akan tinggal di kampung halamannya, memberi tahu apa yang harus dilakukan dalam menjalani hidup yang penuh tantangan ini.

Sr. Laurentina SDP ini pernah memperoleh penghargaan Penabur Harapan dari program acara Kick Andy. Saat kami kontak beberapa waktu lalu, ia sedang dalam perjalanan menuju Bandara El Tari Kupang untuk menjemput pemulangan jenazah tenaga kerja migran.

Media Barat menyebut dia Suster Kargo, karena kegiatannya menjemput pemulangan jenazah pekerja migran di area kargo bandara.

“Selama lima tahun terakhir ini telah terjadi lebih dari 5.000 peti jenazah PMi non prosedural yang tiba kembali di Bandara El Tari Kupang,” jelasnya.

“Dari bulan Januari-September 2023, kami sudah terima 108 peti jenazah PMI asal NTT yang meninggal di Malaysia sebagai pekerja migran,” tambahnya.

Pada akhir makalahnya, ia menulis hal ini: ”Kami hanya melakukan kerja kecil kemanusiaan… Kami kadang tidak mengerti… Tapi hati kami tetap melawan, jika kami hanya berdiam diri.”

Ketua Info JPIC Indonesia Pastor Yansianus Firdus Derang OFM juga hadir dalam pertemuan ini. Bisa berlangsung lancer berkat kerjasama baik dari panitia JPIC Kalimantan Barat dengan ketuanya Pastor Pionisius Hendi OFMCap.

Misa pembukaan dilalukan Uskup Mgr. Agustinus Agus. Sedangkan misa penutup dipimpin oleh Pastor Mikael Peruhe OFM – Minister Propinsial OFM Indonesia sebagai selebran utama dan para pastor pertemuan tersebut konselebran.

Baca juga: Munas ke-14 UNIO Indonesia Bicara tentang Berpastoral di Tengah Arus Migrasi (3)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here