21 Tahun Kepergian Romo Mangun Pr: 10 Februari 2020, Romo Mangun Mudik ke-21 dari Grigak

0
977 views
Sembayang di pusara maka Romo Mangun, 10 Februari 2020 (Ist)

LAIN di Kedung Ombo, lain pula di Grigak. “Air sumber kehidupan,” seru Masyarakat Grigak. Alam tidak memberi mereka cukup air untuk bisa hidup. Maka kerja keras menjadi kunci utama.

Di batas antara daratan dan lautan terdapat sumber air. Mungkin ini menjadi sebuah catatan alam, bahwa di tempat yang terjal berkarang dan penuh hantaman debur ombak laut selatan terdapat sumber air bersih.

Mungkin alam ingin mengatakan bahwa kehidupan itu harus didapat dengan kerja keras.

Tetapi wahai pembangunan, dapatkah engkau menjangkau mereka. Tidak ubahnya bagian lain di negeri ini. Grigak terdapat juga manusia lengkap dengan proses reproduksi sosial-budaya yang butuh sentuhan-sentuhan peradaban manusiawi.

Walaupun alam telah mengajari mereka untuk berbisik dalam hati, “jangan ajari kami dalam hal kerja keras, dan hidup prihatin…” (Catatan di Rumah Romo Mangun)

Ketika berkunjung ke Dinamika Edukasi Dasar (DED) Desember 2019 kemarin, aku menemukan catatan itu pada sebuah prasasti yang dipajang di Rumah Romo Mangun itu.

Kala itu, aku dan teman-teman Komunitas Relawan Grigak berniat untuk berbagi kisah dengan Romo Edy Wiyanto Pr tentang kisah Relawan Grigak dalam Bimbingan Belajar bersama adik-adik Pedukuhan Karang.

Ada yang menarik di ruangan itu.

Kreasi aneka warna terang menempel di beberapa sisi utara. Di sisi timur, terpajang rapi foto-foto Romo Mangun bersama beberapa tokoh nasional dan tokoh agama serta beberapa dokumentasi di Kali Code, Kedung Ombo, dan Pantai Grigak.

Di sisi tenggara masih ada karikatur wajah Romo Mangun, kemudian di sisi selatan terdapat sebuah lukisan besar yang berisi pohon kurikulum Romo Mangun.

Pada sisi itu, ada juga sebuah kolam inspirasi dengan beberapa bunga tertata rapi di tepi-tepinya.

Akhirnya pada sisi barat dan barat laut, ada semacam perpustakaan mini dengan sebuah lemari berpintu kaca dan sebuah rak berisikan buku-buku karya Romo Mangun.

Mendengar filosofi ruangan berbagi kisah itu, aku tersanjung. Romo Edy (panggilan Romo Edy Wiyanto Pr) mengungkapkan bahwa ruangan itu dikenal dengan nama ‘Ruang B3’ (Belajar, Berbagi, dan Bersaudara).

“Sudah setahun saya di sini.” Demikianlah sepenggal kisah Romo Mangun ketika dikunjungi dan diwawancarai dua wartawan Majalah Matra, April 1988, di Dinamika Edukasi Dasar, Yogyakarta. (Mangunwijaya, 1999:17)

“Ombak Segara (Laut) Kidul menebas pantai terjal berkarang itu tak henti-hentinya. Langit kabus. Hari seperti malas beranjak. Di bawah renyai hujan, pondok di lereng itu menghadang angin dari laut terbuka. Batas kaki langit makin tak jelas.” (Mangunwijaya, 1999: 17)

Ketika Romo Mangun mencari wilayah pengabdian baru, seorang siswi magang dari SMK Tarakanita (Wasmi) mengantarkan Romo Mangun kepada Grigak. Sebuah pantai “angker” di selatan Gunung Kidul.

Siang itu baru pukul 10.40. Aku baru saja tiba di tenggara Makam Romo Mangun (Almarhum Romo YB Mangunwijaya, Pr.) setelah membeli sebotol Pocari Sweet di sebuah warung kecil di depan Semanari Tinggi Kentungan, Sanata Dharma.

Aku tak sendiri. Aku bersama Magdalena. Di deretan parkir motor itu, aku bertemu dengan Bapak Emanuel Bele. Bapak ini sedang sibuk mengetik dan membaca tulisannya pada ponsel pintarnya.

Aku pikir mungkin Bapak Bele (panggilan akrab Emanuel Bele) sedang menanyakan Relawan Grigak yang belum datang ke Makam Romo Mangun. Sebelum sempat aku dan Magdalena menyalaminya, beliau terlebih dahulu berkisah dan berkeluh-kesah.

“Romo Wir, panggilan Romo P. Wiryono SJ, bilang kamu yang beli bunga untuk nyekar nanti. Tapi nggak apa-apalah, saya juga sudah belikan. Tapi kita butuh lilin untuk nanti bakar di Makam Romo Mangun. Apakah ada teman-teman Relawan Grigak yang bisa tolong belikan? Nanti saya kembalikan uangnya.”

Demikianlah pola komunikasi dan kerjasama pendamping Relawan Grigak dengan para anggota Relawan Grigak. Kemudian, aku memastikan bahwa akan ada Relawan Grigak yang membelikan lilin. Dan terjadilah demikian.

Di bawah rindangnya pohon-pohon mahoni yang menjulang di timur Makam Romo Mangun itu, ada Romo P. Wiryono SJ yang sedang melintasi jalanan bertanah setengah basah.  Di antara deretan pohon mahoni rindang itu, aku, Magdalena, dan Bapak Bele bersalaman dengan Romo P. Wiryono SJ.

Memang beberapa hari lalu, Minggu, 9 Februari 2020, kami baru saja merayakan Syukuran Hari Ulang Tahun Kedua Komunitas Relawan Grigak di Pondok Baru Romo Mangun, di Pantai Grigak. Tetapi apakah yang salah pada salaman di setiap perjumpaan?

Demikianlah aku selalu ingat cara Romo P. Wiryono SJ menyambut sesama.

“Mari… Mari…  Mari…,” panggil Romo P. Wiryono SJ.

Belajar, Berbagi, dan Bersaudara di Rumah Romo Mangun.

Novena Pembangunan Ec-Camp “Mangun Karsa” Grigak

Kami bersalaman sembari mendiskusikan tentang teknis sembayang di depan Makam Romo Mangun. Rupanya kami akan sembayang menggunakan Novena Pembangunan Ec-Camp “Mangun Karsa” Grigak.

Relawan Grigak lupa membawakan teks Novena itu. Akhirnya, solusi ditemukan setelah kesadaran akan manfaat media sosial (email) sebagai pengirim pesan teks elektronik menggugah pikiran kami.

Romo P. Wiryono SJ mengirim teks Novena ke email saya, kemudian saya unduh sebelum akhirnya dibagikan ke group media sosial.

Di tengah persiapan sembayang itu, aku menemukan segelintr orang yang sedang bercengkeraman di sudut timur pendopo itu. Mereka bertato dan berpenampilan seperti preman. Mereka ‘mungkin’ datang dari Kampung Code.

Dahulu Romo Mangun dekat dengan kaum marginal di Kampung Code. Hipotesis saya dari premis-premis pernyataan itu adalah merekalah para sahabat dan para pengagum Romo Mangun.

Selain segelintir orang yang ‘mungkin’ sedang berkisah tentang kasih Romo Mangun di sudut timur pendopo itu, aku menemukan lagi seseorang berbadan agak gemuk menggunakan celana jeans pendek dan kaos oblong hitam.

Beberapa tato terukir di betis kirinya dan di lengan kanannya.

Makam Romo Mangun

Terlepas dari penampilannya, aku tersanjung ketika dia berjalan menyusuri beberapa makam sebelum tiba di depan Makam Romo Mangun. Dia membawa setangkai mawar merah di tangan kanannya.

Kuamati dengan seksama laki-laki berwajah tegak itu. Akhirnya aku menemukan setelah dia meletakkan setangkai mawar merah itu, dia tertunduk, menyilangkan semua jari tangannya membentuk sikap doa, sebelum mendaraskan beberapa untaian doa.

Aku tak menemukan laki-laki itu membuat tanda salib. Aku tak pernah dengar laki-laki itu berdoa? Mungkin karena aku tidak bisa mencapai jangkauannya. Aku pun tak melihat gerakan di bibirnya membisikkan sebait doa. Namun aku percaya dia sungguh-sungguh berdoa melalui perantara Romo Mangunwijaya.

Sekain menit meninggalkan kisah. Makam Romo Mangun dan laki-laki itu pun pisah. Sepenggal pemandangan itu, terjadi begitu cepat. Pastilah hubungan mereka begitu erat. Laki-laki itu kembali ke titik kumpul segelintir orang itu, kemudian bergegas pergi meninggalkan pendopo dan Makam Romo Mangun.

Sekitar pukul 11.20, Relawan Grigak telah berkumpul di pendopo dekat Makam Romo Mangun. Sembilan Relwan Grigak mengemban tugas sebagai pembaca doa novena mulai dari hari pertama hingga hari kesembilan. Romo P. Wiryono SJ menegaskan bahwa setiap Relawan Grigak hanya akan membacakan doa permohonan.

Sederhananya, pembaca doa permohonan pada hari kesembilan saj yang akan mengajak semua peserta sembayang di Makam Romo Mangun untuk mendaraskan doa Bapa Kami, Salam Maria, Kemuliaan, dan Romo Mangun Doakanlah Kami.

Tepat pukul 11.30, Sembayang Komunitas Relwan Grigak di depan Makam Romo Mangun dimulai. Romo P. Wiryono SJ memimpin prosesi sembayang siang itu.

Setelah doa pembuka oleh Romo P. Wiryono SJ setiap Relawan Grigak yang bertugas membacakan permohonan dalam Novena Pembangunan Eco-Camp “Mangun Karsa” Grigak menjalankan tugasnya dengan baik.

Setiap permohonan dalam novena ini, disampaikan bersama dan melalui perantaraan Romo YB Mangunwijaya Pr.

Sembayang di pusara Romo Mangun yang di tahun 2020 sudah 21 tahun meninggalkan kita.

Hari pertama memanjatkan permohonan:

“Semoga ketersediaan air bisa disyukuri sebagai anugerah utama kemurahan hati Allah bagi kehidupan bersama masyarakat.”

Permohonan ini terkait Pantai Grigak yang menjadi saksi bisu perjuangan kemanusiaan Romo Mangun. Mungkinkah dilupakan bahkan dibiarkan menjadi hutan belantara? Apa yang pernah menjadi cita-cita Romo Mangun di Pantai Grigak?

Jawabnya tentu saja ketersediaan air bagi masyarakat.

Hari kedua memanjatkan permohonan:

“Semoga Allah membalas budi baik umat dan para penderma dan semoga panitia serta masyarakat setempat karena terdorong oleh rasa syukur mampu melanjutkan pekerjaan sampai selesai.”

Permohonan ini sebagai ucapan Syukur atas kehadiran Allah dalam diri Romo Mangun yang saat ini hadir dan berkarya juga di hati para donatur.

Mereka telah menyumbangkan dana dalam jumlah besar ketika Panitia Persiapan Pembangunan Eco-Camp “Mangun Karsa” Grigak dibentuk dan banyak dukungan dinyatakan dari berbagai Perguruan Tinggi Khatolik Indonesia bahkan restu dari pimpinan Keuskupan Agung Semarang.

Hari ketiga memanjatkan permohonan:

“Semoga air dari sumber Pantai Grigak bisa membawa kesejukan, kedamaian, dan kesejahteraan bagi kehidupan bersama masyarakat.”

Permohonan ini menegaskan betapa sentralnya kebutuhan air bagi semua makhluk hidup. Hewan dan tumbuhan adalah contoh makhluk hidup yang juga sangat membutuhan ketercukupan air demi kelangsungan kehidupan.

Oleh karena itu, pemeliharaan dan perawatan sumber air di Pantai Grigak begitu penting melalui konservasi vegetasi wilayah tangkapan hujan.

Hari keempat memanjatkan permohonan:

“Semoga kesepakatan masyarakat Pedukuhan Karang untuk menghadirkan Eco-Camp ‘Mangun Karsa’ bisa menjadi penyalur rahmat kemurahan hati Allah bagi masyarakat yang lebih luas yaknik seluruh masyarakat Gunung Kidul.”

Permohonan ini berkaitan dengan kesepatan warga Pedukuhan Karang bersama Panitia Persiapan Eco-Camp “Mangun Karsa” dalam menghadirkan Eco-Camp di Pantai Grigak. Filosofi pemberiaan nama “Mangun Karsa” mempunyai tiga tafsiran.

  • Pertama; nama itu mengisyaratkan kehendak Romo Mangun.
  • Kedua; nama itu mengisyaratkan keinginan masyarakat sendiri untuk membangun cita-cita besar melalui pembangunan sebuah Eco-Camp.
  • Ketiga: nama itu mengingatkan kepemimpinan Ki Hajar Dewantara, yakni: “Ing Madya Mbangun Karsa” artinya; Usaha Masyarakat Pedukuhan Karang membangun sebuah Eco-Camp diharapkan melahirkan keinginan-keinginan serupa di tengah masyarakat Gunung Kidul.

Hari kelima memanjatkan permohonan:

“Semoga Gereja bisa mengenal lebih dalam bagaimana Allah berkarya melalui Almarhum Romo Mangun dan berkenan menjadikan tokoh ini sebagai perantara doa-doa umat.”

Permohonan ini khusus memberikan gambaran tentang Romo Mangun sebagai tulang punggung Gereja Nusantara dalam menghadirkan keselamatan ilahi di tengah masyarakat.

Sebagai tokoh nasional Bangsa Indonesia Romo Mangun adalah pejuang kemerdekaan Negeri Republik Indonesia terhadap kebodohan, kekerdilan, kelaliman, kedangkalan, kesewenang-wenangan, dan aneka macam belenggu lainnya.

Hari keenam memanjatkan permohonan:

“Semoga Gereja bisa hadir sebagai Gereja Inklusif di tengah Masyarakat Indonesia.”

Permohonan ini menegaskan gambaran Gereja Inklusif oleh Paus Fransiskus bahwa Gereja yang mau berjerih-payah, bernapas-napas, berkotor tangan, dan berbau keringat orang jalanan karena kepedulian yang dicurahkan lebih kepada keselamatan masyarakat dunia daripada keselamatan sendiri.

Gereja yang sungguh peka terhadap penderitaan sesamanya yang terpinggirkan dan senantiasa berjuang menciptakan kedamaian di tengah masyarakat. Sederhananya, Gereje inklusif seperti seorang anak yang anak merangkul semua orang di jalan peziarahan bersama menuju Rumah Bapa.

Hari ketujuh memanjatkan permohonan:

“Semoga melalui kehadiran iman Gereja Inklusif, Indonesia bisa mendapatkan anugerah berlimpah berupa semangat kerukunan, kesetiakawanan, saling menghormati, solidaritas, toleransi, dan nilai-nilai kebersamaan lain yang semakin meresap ke kedalaman hati seluruh komponen bangsa.”

Permohonan ini adalah bentuk narasi panjang tentang Gereja Inklusif yang diumpamakan seperti ragi yang meresap ke adonan roti.

Pusara Romo Mangun Pr.

Gereja Inklusif harus bisa meresapi masyarakat dan menghasilkan kehadiran buah-buah Roh seperti semangat kerukunan, kesetiakawanan, saling menghormati, solidaritas, toleransi, dan nilai-nilai kebersamaan lainnya.

Dan aneka resapan semangat dan nilai-nilai di tengah masyarakat ini dapat menyebar ke berbagai organ tubuh bangsa ini.

Hari kedelapan memanjatkan permohonan:

“Semoga semakin banyak orang muda Indonesia yang tergerak hatinya untuk mengarahkan hidupnya bagi kepentingan besar bangsanya sesuai dengan panggilan masing-masing.”

Permohonan ini menyuarakan harapan besar kepada kaum muda Bangsa Indonesia. Negeri Indonesia semakin terbang tinggi dengan mengepakkan sayapnya yang kekar.

Kerjasama dan sumbangan-sumbangan pemikiran di bidang kemanusiaan untuk mencapai kemartabatan ini membutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang tidak sedikit dicurahkan.

Kaum muda adalah pembawa api perjuangan demi mengobarkan kepentingan-kepentingan besar Bangsa Indonesia.

Hari kesembilan memanjatkan permohonan:

“Semoga usaha bersama menghadirkan Eco-Camp Mangun Karsa meningkatkan semangat penghayatan serta pengobaran kembali nilai-nilai pancasila.”

Permohonan ini mau mengungkapkan bahwa Bangsa Indonesia mempunyai nilai-nilai religiositas, kemanusiaan dan kebangsaan melalui Pancasila.

Usaha menghadirkan Eco-Camp di Pantai Grigak yang kering dan tandus adalah cara menghadirkan kesetiakawanan dalam bingkai Pancasila yang ditunjukkan melalui dukungan dan keterlibatan banyak pihak: masyarakat dan tokoh-tokoh Pedukuhan Karang, unsur-unsur sivitas akademika penguruan tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, pejabat pemerintah, pengusaha, dan penderma.

Selain itu, rasa kebersamaan ini diharapkan akan menimbulkan getaran religiositas sejati dalam upaya mendekatkan diri kepada Sang Pencipata.

Demikianlah doa Novena Pembangunan Eco-Camp Mangun Karsa Grigak melalui perantaraan Almarhum Romo YB Mangunwijaya Pr.

Sembilan hari permohon itu ditutup dengan mendaraskan doa Bapa Kami, Salam Maria, Kemuliaan, dan Romo Mangun Doakanlah Kami. Amin.

Sembayang siang itu tidak terasa teriknya matahari pukul 12.00. Kami melanjutkan ziarah siang itu dengan menyekar (menaburkankan lapisan-lapisan kuntum mawar merah, pink, dan putih), membakar lilin, dan foto bersama.

Di sela kegiatan itu, beberapa Relawan Grigak memadahkan sebait doa dalam hati melalui perantaraan Romo Mangun. Yang tidak kalah kesibukannya juga ada aktivitas mendokumentasi deretan peristiwa dan jepretan momen yang berlalu.

Begitulah semaraknya peringatan 21 Tahun Romo Mangunwijaya meninggalkan dunia.

Adalah Ibu Kusuma yang sejak pukul 11.00 sudah mengantarkan nasi kotak untuk makan siang Romo P. Wiryono SJ dan anggota Komunitas Relawan Grigak.

Kami tidak mengenal Ibu Kusuma. Bagi kami, Ibu Kusuma adalah orang baik yang menginternalisasikan contoh Romo Mangun berbagi kepada sesama.

Makan siang di bawah pohon-pohon mahoni yang rindang. Begitu nikmat dan syahdu. Syahdu adalah negasi dari candu di setiap canda Relawan Grigak. Nikmati rahmat makanan dan syahdu syukur atas kemurahan Sang Pencipta.

Sungguh sebuah rangkaian acara peringatan 21 Tahun Romo Mangunwijaya meninggalkan dunia yang dirancang seperti sebuah orkestra. Memadukan Relawan Grigak yang majemuk dengan budaya-sosial yang jamak.

Acara Didesain dengan kondisional demi hasil yang maksimal. Walaupun berhasil, tetaplah belajar demi bekal. Sederhana dipandang, namun jiwa kami membahana bak di tengah padang.

Biar kami mengambil sakti demi kasatria di depan bangsa. Romo Mangun teguhkan kami, agar kukuh di tengah sesama.

Kami Relawan Grigak beragam latar belakang sosial-budaya. Namun bara semanagat Romo Mangun senantiasa bernyala. Dalam naungan Tuhan Yang Maha Esa. Kami mau selalu menjaga asa.

Demi Relawan Grigak yang “Bhinneka Tunggal Ika”.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here