Artikel Politik: “Secarius” di Abad Informasi

0
197 views
Secarius.

PENYERANGAN dan penusukan terhadap Menko Polhukam Wiranto oleh tersangka teroris di Pandenglang, Banten, beberapa hari silam, menegaskan sekurang-kurangnya dua hal penting.

Pertama, bahwa terorisme masih ada dan nyata di negeri ini. Meskipun, usaha pemberantasannya terus-menerus dilakukan; dan sudah demikian banyak tersangka teroris yang ditangkap, diadili, dan dipenjara.

Kedua, penyerangan dan penusukan itu telah menyingkap topeng-topeng kepalsuan yang selama ini menjadi pelidung begitu banyak wajah. Ada yang selama ini berwajah ksatria, padahal raksasa.

Ada yang selama ini berparas dewi-dewi, padahal sesungguhnya raseksi. Ada lagi yang dikenal berwajah santun, saleh, teduh, pemaaf, dan bersaudara tenyata setelah tersingkap topengnya, sebenarnya penjahat, pendendam, pendengki, dan pengobar permusuhan.

Akan tetapi tulisan ini tidak hendak menjelaskan hal itu. Tulisan ini lebih ingin mengingatkan sekaligus menegaskan bahwa ancaman terorisme tetap begitu nyata di negeri ini. Ancaman itu ada di mana-mana, dan dalam bentuk beraneka rupa, serta melaksanakan keinginannya dengan segala macam cara.

Taktik Lama
Penyerang Wiranto menggunakan taktik lama. Taktik semacam itu sudah digunakan sejak awal tahun 48. Ketika itu sekte Yahudi yang disebut Zealot mengkampanyekan aksi terorisme untuk membangkitkan perlawanan terhadap pemerintahan penjajah Romawi di Yudea.

Zealot ini dikenal sebagai sekte yang sangat keras menentang dan tidak kenal kompromi terhadap pejajah Romawi yang dianggap kafir. Bahkan mereka membentuk partai politik yang sangat agresif dan peduli terhadap kehidupan nasional dan keagamaan.

Mereka membenci orang-orang Yahudi yang dianggap kurang saleh dan menjalin hubungan serta mengusahakan perdamaian dan rekonsiliasi dengan pemerintah Romawi.

Saat itulah muncul teror atas nama agama, yang sering disebut teror suci. Terorisme agama dianggap oleh para pelakunya sebagai sebuah tindakan transendental. Tindakan itu, mengutip pendapat Gérard Chaliand dan Arnaud Blind, ed, (2007) dibenarkan oleh otoritas agama, dan diyakini menjadi instrumen ilahi.

Bagi mereka, jumlah dan identitas korban tidaklah penting.

Fenomena historis ini terjadi pada abad pertama yang dilakukan oleh kaum Zealot Yahudi. Mereka merupakan—yang kemudian disebut kaum secarii–kelompok teroris pertama yang melakukan teror secara sistematis, seperti dijelaskan oleh sejarawan Flavius Josephus dalam Jewish Antiquities (93-94 Masehi). Di Yudea, para teroris itu mengobarkan perlawanan yang antara lain dengan membunuh.

Flavius Josephus inilah yang pertama kali menggunakan kata secarius (secarii, kalau jamak).

Kata secarius adalah bahasa Latin yang berarti pembunuh yang melakukan perbuatannya secara diam-diam dengan pisau belati. Para pembunuh bersenjatakan pisau belati. Ini sebenarnya merupakan teror atas nama agama. Meskipun Josephus menyebut mereka sebagai bandit

Pada masa itu, Rex A Hudson (1999) dan Robert A Pape (2005) menjelaskan, para secarii ini menyusup ke kota-kota yang dikuasai Romawi. Mereka membunuh orang-orang Romawi dan mereka yang dianggap berkolaborasi Romawi.

Selain membunuh, mereka juga menculik para penjaga tempat ibadah untuk menuntut tebusan, atau menggunakan racun dengan jumlah yang besar dengan tujuan banyak orang yang mati keracunan. .

Di zaman lain, menurut Gérard Chaliand dan Arnaud Blind, muncul teroris serupa secarii dari Sekte Ismaʻili yang disebut Assassin di Persia dan Suriah pada abad 11–13.

Mereka membunuh para tokoh politik. Sama dengan para secarii, para assassin, membunuh para korbannya dengan pisau belati di pasar-pasar dan masjid-masjid. Para assassin ini masih beroperasi di zaman Perang Salib berkobar.

Menurut Robert A Pape, kaum Zealot dan Secarii ini menerapkan strategi serangan kekerasan untuk memancing pecahnya pergolakan besar di antara penduduk Yahudi melawan pemerintah penjajah Romawi.

Taktik ini berhasil mengobarkan pemberontakan yakni dengan pecahnya Perang Yahudi (66) yang berujung dengan dihancurkannya Kenizah Jerusalem (70); dan pembuangan orang-orang Yahudi.

Sementara sejumlah anggota kaum Zealot dan Secarii di bawah pimpinan Eleazar memilih mati bersama-sama di Benteng Masada (73).

Abad Informasi
Di awal abad pertama, sasaran para secarii adalah para pejabat pemerintah penjajah Romawi dan kaum kolaborator (sasaran kaum assassin, tak jauh berbeda).

Sejak awal didirikan, menurut Gérard Chaliand dan Arnaud Blind, organisasi Zealot memiliki dua tujuan. Sebagai organisasi keagamaan, mereka berusaha, seringkali dengan kekuatan, untuk memaksakan praktik beragama yang keras dan kaku.

Misalnya, mereka menyerang orang Yahudi lain yang dianggap tidak cukup menunjukkan kesalehan hidup secara sungguh-sungguh.

Sebagai organisasi politik, Zealot berusaha membebaskan Yudea dari penjajahan Romawi. Tetapi, tujuan keagamaan partai tidak dapat dipisahkan dari tujuan politiknya.

Oleh karena itu, mudah untuk menjawab pertanyaan mengapa jalan menjadi teroris dipilih? Akan tetapi, sekarang tidak mudah menjawab pertanyan mengapa orang meninggalkan lingkungan masyarakat umum, wajar, dan memilih menjadi teroris.

Sebab, kini terorisme selalu merupakan hasil dari sejumlah faktor penyebab. Artinya, tidak hanya karena alasan psikologis tetapi juga ekonomi, politik, agama, dan sosiologis.

Dengan kata lain, terorisme terjadi karena banyak sebab, dan oleh karenanya tidak bisa begitu saja dijelaskan dengan satu sebab saja.

Namun, dalam praktiknya selama ini yang paling menonjol adalah para teroris, termasuk teroris internasional, berusaha untuk mengirim pesan ideologis atau agama dengan meneror masyarakat umum.

Melalui pilihan target mereka, yang seringkali simbolis atau mewakili negara yang dituju, teroris berusaha untuk menimbulkan dampak yang sangat menonjol, sangat nyata pada publik atau musuh yang menjadi target tindakan kekerasan mereka.

Di era informasi dan komunikasi massa sekarang ini, yang sangat penting bukan hanya skala kekerasan teroris bersenjata (apa pun senjatanya) dan korban manusia dan materialnya langsung, akibat tindakan mereka.

Tetapi tindakan mereka akan menimbulkan destabilisasi terhadap keamanan nasional, internasional, menebar ketakutan pada publik. Dan, yang tidak kalah penting adalah tindakan teror itu mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi situasi politik.

Kesan itu, sekurang-kurangnya, yang ingin disampaikan oleh dua penyerang dan penusuk Wiranto di Pandeglang.

Dengan menyerang Wiranto, mereka ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa korban (siapa pun dari kalangan pemerintah bisa jadi korban) memiliki pandangan atau kebijakan yang bertentangan dengan pandangan, kebijakan mereka.

Pesan itu secara cepat disebarluaskan oleh media, terutama media sosial. Dan, itu harus ditangkal, bahkan dibersihkan.

PS: Artikel ini sudah dimuat di Harian Kompas, Selasa (15/10), hlm. 6.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here