Beda Langkah JKN

0
233 views
Ilustrasi BPJS

JAMINAN Kesehatan Nasional (JKN) penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, sesuai UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Tujuannya adalah tercapainya UHC (Universal Health Coverage), yaitu sebuah kondisi di mana setiap orang dapat menerima layanan kesehatan yang mereka butuhkan, tanpa mengalami kesulitan dalam bidang keuangan.

Apa yang harus disadari?

Peraturan Direktur BPJS Kesehaatan tahun 2018, yaitu no 2 tentang operasi katarak, no 3 tentang persalinan dengan bayi lahir sehat dan no 5 tentang pelayanan rehabilitiasi medik, memicu kontroversi. Meskipun hal tersebut sesuai dengan Pasal 24 ayat 3 UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang menyebutkan bahwa  BPJS Kesehatan wajib mengembangkan sistem pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas, tetapi kebijakan tersebut dinilai telah masuk ke dalam ranah profesi dokter.

Meskipun Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan surat no HK 07.01/I/3557/2018, yang menegaskan agar  PerDir tersebut tidak diberlakukan terlebih dahulu sampai dilakukannya pembahasan dengan Kemenkes, tetapi ternyata tetap diberlakukan oleh BPJS Kesehatan, dengan alasan mencegah kevakuman aturan.

Peserta Program JKN pada 1 Juli 2018 telah mencapai 199.133.927 orang atau 79,6% dari seluruh warga negara Indonesia. Semua peserta JKN dilayani di 27.330 Fasilitas Kesehatan (faskes) provider JKN.

Hasil survei PT Frontier Consulting Grup di tahun 2017, angka kepuasan peserta JKN mencapai 79,5%, sementara indeks kepuasan faskes secara total 75,7%. Namun demikian, tingkat kepuasan kementerian dan dinas kesehatan sebagai regulator, dan para dokter dengan tenaga kesehatan (nakes) profesional lainnya tidak dilaporkan, bahkan diduga semakin rendah.

Perbedaan kepuasan tersebut merupakan hasil akhir dari beda langkah yang ditempuh oleh masing-masing pihak, dalam mencapai UHC. Ketidakpuasan para dokter antara lain disebabkan karena rendahnya tarif INA CBGs, keputusan profesi diintervensi oleh BPJS Kesehatan dan standar layanan sesuai profesi sulit dilakukan, sebagaimana tercermin dalam kontroversi kebijakan pembiayaan tentang operasi katarak, persalinan dengan bayi lahir sehat, dan rehabilitiasi medik di atas.

BPJS Kesehatan mengambil langkah sangat cepat menuju UHC dengan paradigma dominan kendali biaya, di samping kendali mutu. Hal ini disebabkan karena adanya dugaan bahwa selama ini layanan kesehatan telah menghamburkan biaya yang tidak perlu dan semakin mahal.

Misalnya kebiasaan bahwa setiap pasien yang dirawatinap di RS harus diinfus, operasi caesar yang bersifat terencana dialihkan darurat, penambahan vitamin dalam setiap resep dokter, dan pemeriksaan penunjang medik berlebihan. Juga logistik obat dan alkes yang eksesif, penjadwalan tindakan operasi yang longgar, pemberian obat lebih sering parenteral (suntikan), pada hal tersedia yang oral (telan), bahkan peresepan obat antibiotika sering tidak melihat pola kuman.

Sebaliknya, para dokter dan faskes mengambil langkah kurang cepat dan tidak terencana baik dalam menuju UHC, dengan alasan telah memiliki standar layanan (SOP) yang seringkali diadopsi dari asosiasi profesi dokter di luar negeri dan WHO.

Pada Kode Etik Kedokteran Indonesia 2012, Pasal 8 menegaskan bahwa seorang dokter wajib dalam setiap praktik medisnya, memberikan layanan secara kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion), dan penghormatan atas martabat manusia. Bahkan pada Pasal 21 juga menegaskan bahwa setiap dokter wajib senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran. Hal tersebut menjadi dasar dan motivasi dokter untuk memberikan layanan yang bermutu, terbaik, dan tanpa disertai pertimbangan finansial, demi pasien yang dilayani.

Dengan demikian, kebijakan layanan penjaminan menjadi bersifat tarik ulur, sehingga sebenarnya tidak sehat dan kontraproduktif.

Sebagai contoh layanan hemodialisis dan operasi caesar yang semakin sering, diatur dengan penurunan tarif INA CBGs dan penggunaan obat yang berlebihan diregulasi dengan aturan restriksi obat yang lebih diperketat. Selain itu, pemberian obat yang berharga mahal dilakukan re-evaluasi, misalnya obat trastuzumab untuk kanker payudara sejak 1 April 2018 tidak lagi dijamin oleh BPJS Kesehatan, bahkan praktek curang (fraud) dipagari oleh sebuah MoU dengan KPK, karena dikategorikan karupsi. Dampak buruknya adalah mutu layanan kesehatan yang diberikan kepada peserta JKN akan semakin di bawah standar profesi dokter.

Terdapat empat  pihak yang terlibat dalam proses menuju UHC, yaitu Kemenkes sebagai regulator, dokter dan faskes sebagai pelaksana, BPJS Kesehatan sebagai penjamin biaya dan pasien peserta JKN sebagai penerima manfaat.

Untuk itu, Kemenkes dan semua jajaran dinas kesehatan di daerah harus bertindak sebagai pengatur layanan yang pro-aktif dan antisipatif, bukan sekedar reaktif. Dokter dan faskes harus berubah, dari sekedar berkoordinasi menjadi berstruktur komando. Audit SOP secara serial harus dilakukan paripurna, tidak hanya aspek iptek medis tetapi juga dengan mempertimbangan aspek finansial dan kebijakan lokal, sehingga menjadi PPK (Panduan Praktek Klinik) yang mampu laksana.

Keputusan yang diambil oleh PB IDI (Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia) dan PERSI (Persatuan RS Seluruh Indonesia) atau ASKLIN (Asosiasi Klinik) Pusat di Jakarta, harus diketahui dan dilaksanakan secara serentak oleh dokter dan faskes, sebagaimana telah dilakukan oleh BPJS Kesehatan dengan segenap keduputian wilayah dan cabang di seluruh Indonesia.

Paradigma profesi dokter haruslah berubah, dari pasien saya menjadi pasien kita, karena layanan harus terintegrasi secara internal dan lintas unit layanan di faskes. Diagnosis haruslah diutamakan dan terapi haruslah yang paling sesuai (diagnosis first and precision medicine), proses rujukan pasien haruslah berjenjang dengan rujuk balik, untuk tercapainya kendali mutu dan kendali biaya.

Strategi efisiensi juga harus dilakukan faskes, misalnya dengan kajian dan umpan balik kepada para dokter, terutama pasien dengan klaim gagal ataupun selisih bayar negatif, penggunaan sistem dan teknologi informasi, kebijakan pembatasan layanan dokter, baik diagnostik maupun terapi, pemberian insentif dan disinsentif, juga manajeman obat dan alat kesehatan.

Peserta JKN haruslah diedukasi bahwa pada Pasal 19 ayat 2 UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN, menyebutkan bahwa peserta akan memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan saja.

Selain itu, pada Pasal 22 ayat 2 untuk jenis pelayanan yang lain, peserta akan dikenakan urun biaya. Peserta harus disadarkan bahwa progam JKN menggunakan prinsip gotong royong, yaitu kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya dan kewajiban membayar iuran setiap bulannya. Bila ada tetangga yang belum terdaftar sebagai peserta JKN, segeralah mendaftarkan diri, jangan menunggu sakit dahulu baru mendaftar, karena iuran peserta yang sehat akan membantu peserta lain yang sedang sakit.

Menjadi tanggungjawab kita bersama, agar program JKN terus berkelanjutan dan semakin dirasa manfaatnya oleh seluruh warga Indonesia. Selain itu, beda langkah harus disinkronkan, agar UHC dapat tercapai sesuai target.

Sudahkah kita siap?

Hadapi Difteri

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here