Di Griya Gus Dur bersama Prof. Sumanto Al Qurtuby dan Anita Wahid: Merawat dan Mengelola Kemajemukan Indonesia (1)

0
454 views
Ilustrasi: Kopdar Kebangsaan bersama Prof Sumanto Al Qurtuby dan Anita Wahid di Griya Gus Dur di Jakarta besutan Komunitas Universal dan Komunitas GusDurian dan didukung Bina Swadaya. (Mathias Hariyadi)

ACARA program bina kebangsaan ini mengambil judul Kopdar Kebangsaan dengan tajuk tematis berbunyi “Yuk, Bersatu Bangun Indonesia”.

Program kopi darat untuk menggelorakan semangat kebangsaan ini dibesut bersama oleh Komunitas Universal (KU) bersama mitranya Komunitas GusDurian Jakarta. Ikut mendukung program sinergis ini adalah Bina Swadaya.

Dalam sekali rapat sinergis sehari saja, maka program kebangsaan hasil kerjasama tiga lembaga ini berhasil bergulir dengan lancar. Itu karena semuanya punya komitmen kuat untuk senantiasa merawat kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia.

Kegiatan ini menemukan kepentingannya,  karena kenyataannya kemajukan itu bisa menjadi kekuatan sekaligus titik lemah yang bisa dimanipulasikan untuk memecah-belah persatuan bangsa.

Dua pembicara berkompeten

Program bina kebangsaan ini sengaja mengambil topik diskusi tentang bagaimana kiat merajut kembali semangat kebangsaan, karena usai kontestasi politik Pipres 2019 polarisasi itu masih kental terasa di masyarakat.

Tema ini dibahas dengan menarik oleh dua narasumber masing-masing berkompeten pada bidangnya  yakni Prof. Sumanto Al Qurtubi dan Anita Wahid.

Prof. Sumanto, pengajar anthropologi budaya di Universitas King Fahd of Petroleum and Minerals di Saudi Arabia, meninjau tema besar itu dari perspektif fenomenologi agama dan praktik beragama.

Sementara, Anita Wahid membahasnya dari perspektif pengalaman praksis menangkal paham dan narasi melenceng dari praktik beragama yang juga “salah”.

Pengalaman dan analisis keilmuan

Prof. Sumanto Al Qurtuby punya pengalaman panjang sekaligus dasar keilmuan untuk menerawang bagaimana kemajemukan bangsa Indonesia itu bagaikan dua sisi sekeping mata utang.  

Dengan pengalaman menulis disertasi tentang Konflik Berdarah di Ambon, maka Prof. Sumanto dengan tegas mengatakan bahwa keniscayaan Indonesia sebagai bangsa yang sangat majemuk itu punya dua sisi dikhotomis.

Keberagaman itu bisa menjadi kekuatan, karena kemajukan itu mau tak mau ikut menjadikan Indonesia  lebih “berwarna”. Namun, keberagaman dalam banyak hal itu sekaligus bisa menjadi titik lemah, bila tidak dikelola dan dirawat dengan baik.

Tata kelola dan merawat keberagaman itu menjadi penting dan fundamental, agar “warna-warni” ke-Indonesia-an itu jangan sampai dimanfaatkan oleh anasir-anasir masyarakat yang memang target operasinya menghendaki perpecahan bangsa.

Mengaduk-aduk emosi

Anita Wahid, puteri kandung almarhum Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, melihat keberagaman itu dari perspektif berbeda, yakni dari pengalamannya mengasuh platform medsos penangkal hoaks.

Ini juga penting dan krusial, karena justru di lahan virtual tanpa batas itulah, kemajemukan Indonesia sering kali dinarasikan secara tidak benar untuk mengaduk-aduk emosi masyarakat.

Kegiatan yang tidak baik itu memang sungguh punya maksud dan tujuan menciptakan atmosfir hidup sosial agar satu sama lain senantiasa berkalung rasa curiga, perasaan tidak nyaman karena “berbeda” agar kemudian muncullah atmosfir sosial yang tidak harmonis alias satu sama lain menjadi  tidak rukun. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here