Eksegese Hidup Orang Pedalaman: Yang Mustahil dan Yang Mungkin Luk 1:57-66.80

0
154 views
Ilustrasi: Pertemuan Maria dan Elisabeth (By Emmock)

KATA orang, “Ada anak ada harapan dan tak ada anak tak ada harapan. Mengapa dalam sebuah keluarga, kelahiran anak dihubungkan dengan harapan?

Ada yang bilang, “Adanya anak, maka tradisi dalam kehidupan keluarga akan berlanjut”.

Dengan kata lain, anak adalah generasi penerus yang mewakili sebuah keluarga.

Gambaran adanya generasi penerus ini, menjadi tantangan bagi keluarga Zakharia dan Elisabeth. Sudah lama menikah, tetapi yang diharapkan malah datang terlambat.

Betul kata guru rohani, “Iman seringkali diuji dalam kesabaran, ketenangan dan keteguhan hati.”

Hal ini senada pula dengan apa yang dikatakan Kitab Suci, “Mari, kita mencobainya dengan aniaya dan siksa, agar kita mengenal kelembutannya serta menguji kesabaran hatinya.” (Keb 2:19).

Zakharia dan Elisabeth telah melewati “sekolah” kesabaran, ketenangan dan keteguhan hati dan sekarang, buahnya mereka peroleh di usia yang sudah tidak mungkin. Beritanya, Elisabeth hamil.

Mungkin nggak seorang yang sudah nenek-nenek, bisa hamil? Dulu hal yang seperti ini, pernah menjadi bahan tertawaan atau ledekan bagi Sara istrinya Abraham yang dijanjikan anak oleh Allah di usia yang sudah uzur,” Jadi tertawalah Sara dalam hatinya, katanya: “Akan berahikah aku, setelah aku sudah layu, sedangkan tuanku sudah tua?” (Kej 18:12).

Generasi yang muncul dari Elisabeth dan dinilai sebagai sesuatu yang mustahil ini, mengundang respon dari Zahkaria dan tetangga-tetangganya di saat sudah lahir. Katanya, Zahkaria ragu dan tidak percaya. Sikap keraguan dan ketidakyakinannya, ditanggapi oleh Tuhan dengan mengikat lidahnya supaya dia menjadi orang bisu. Mengapa Tuhan menghukum dia dengan cara seperti itu? Apakah ada sesuatu pesan di balik hukuman itu?

Sangat mungkin, dia dibuat bisu supaya dia bisa belajar diam dan tenang. Dia tidak boleh banyak mengoceh melulu. Dalam keadaan bisu itu, dia bisa belajar duduk, diam, dengar, doa dan renung. Dia mesti taat dan percaya menghidupi sikap seperti itu supaya imannya tumbuh di hadapan Tuhan. Kalau dia tidak dibuat bisu, maka dia akan seperti Ayub, “Aku tidak mendapat ketenangan dan ketenteraman; aku tidak mendapat istirahat, tetapi kegelisahanlah yang timbul.” (Ayb 3:26).

Setelah Elisabeth melahirkan anaknya dan semua tetangga lagi-lagi merenung dan bertanya, “Akan jadi apakah anak ini kelak?” Pertanyaan ini sangat berdasar, sebab anak ini adalah menjadi “tanda mukjizat” bagi Zakharia.

Melalui anaknya, dia mendapatkan lidahnya kembali normal. Mengapa Tuhan menormalkan lidahnya disaat anaknya lahir? Sangat mungkin, supaya dengan lidahnya dia bisa belajar bersyukur, berterimakasih, memuliakan dan memuji keagungan Tuhan.

Dia diajak dan dilatih menjadi seperti Pemazmur, “Aku bersyukur kepada-Mu, sebab Engkau telah menjawab aku dan telah menjadi keselamatanku” (Mzm 118:21), “Allahku Engkau, aku hendak bersyukur kepada-Mu, Allahku, aku hendak meninggikan Engkau” (Mzm 118:28).

Renungan: Apakah setiap peristiwa kemustahilan bisa menyemangati imanku untuk meyakini bahwa tidak ada yang mustaiHl bagi Tuhan?

Tuhan memberkati.

Apau Kayan, 24.06.2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here